Membahas sebuah Kasus perundungan atau (bullying) terus merebak, seakan tidak ada akhirnya banyak sekali kejadian hampir diberbagai kota terjadi kasus perundungan, pelakunya pun ironis makin muda dan tindakannya makin brutal.
Baru-baru ini, seorang remaja putri di Wakatobi dikeroyok tujuh orang remaja lainnya hingga dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal.
Bahkan yang lebih miris
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas siswa yang mengalami perundungan, atau yang sering disebut sebagai bullying, di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, sementara siswa perempuan mencapai 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26,8 persen.
Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 8 SMP pada siswa laki-laki mencapai 32,22 persen, yang merupakan angka tertinggi diantara semua kategori kelas dan jenis kelamin. Sementara siswa perempuan mencapai 19,97 persen, dan secara nasional mencapai 26,32 persen.
"Untuk mengatasi masalah serius ini, perlu ada peran lebih dari sekadar guru dan orang tua. Kepemimpinan pelajar dalam upaya mengatasi kasus bullying di sekolah dan madrasah sangat penting untuk meminimalkan bahkan menghentikan kejadian bullying," ujar Assoc. Prof. Dr. Susanto, Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk periode 2017-2022, dalam pernyataan resminya, Jumat (20/10/2023).
Sebagai wujud keterpanggilan sebagai warga negara, Prof Susanto telah meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Gerakan ini akan diselenggarakan oleh Sang Juara.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus perundungan di satuan pendidikan sepanjang Januari—September 2023 telah mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus itu, dua di antaranya meninggal. Satu siswa SDN di Sukabumi meninggal setelah mendapat kekerasan fisik dari teman sebaya, satu lagi santri MTs di Blitar. (Kompas, 4-10-2023).
Sungguh ironi yang mengerikan di mana akal sehat dan nalurinya memang. Wajar jika situasi ini mengundang banyak pihak untuk mencari solusinya.
Tapi dengan solusi yang pemerintah bikin saat ini tidak ada efek jeranya bagi para pelaku.
Melalui Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar menyatakan pola pengasuhan yang positif dan komunikasi terbuka dengan anak menjadi kunci dalam mencegah anak terpapar perilaku negatif.
Ia lalu mengingatkan orang tua agar selalu memperhatikan perilaku anak serta lingkungan pertemanannya sehingga dapat dengan mudah mendeteksi adanya ketimpangan pada anak. Kemen PPPA juga mendorong masyarakat yang menemukan kasus kekerasan untuk segera melaporkannya kepada Layanan SAPA 129 Kemen PPPA. (Antara News, 4-10-2023).
Adapun
Upaya lainnya untuk mengurangi bullying adalah pembentukan satgas di sekolah, pembentukan sekolah ramah anak, sampai penerbitan aturan Permendikbud Antikekerasan di sekolah. Akan tetapi, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menilai Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) dianggap belum efektif. (Republika, 3-10-2023).
Mari kita telitih upaya tersebut tidak membuahkan hasil, bahkan makin merajalela, baik di sekolah umum maupun di pondok pesantren. Lebih menyedihkan lagi, tindakan ini dilakukan kepada teman sebaya.
Tidak dimungkiri pula, berulangnya kasus perundungan ini menyimpan tanya, mengapa sangat sulit untuk membendungnya? Terlebih terkait dengan generasi bangsa.
Jika sejak awal generasi muda ini sudah memiliki kepribadian buruk, bagaimana nasib bangsa ini pada masa depan nantinya?
Mengurai kasus perundungan, mengapa makin marak?
Yaitu tidak terbantah benar bahwa keluarga dan lingkungan masyarakat berpengaruh besar bagi maraknya kasus perundungan yang dilakukan anak. Orang tua sibuk bekerja sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya dengan sempurna, juga mudahnya anak mengakses informasi lewat internet, berperan atas terjadinya kasus perundungan.
Akan tetapi sesungguhnya ini semua hanyalah dampak. Karena akar masalahnya adalah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Asas sekularisme telah mencabut nilai-nilai moral dan agama. Asas ini akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku sehingga aturan agama makin terpinggirkan.
Ditambah pula dengan Sekolah sebagai institusi pendidikan, alih-alih mampu mencetak peserta didik yang berkualitas, kurikulum sekuler kapitalisme yang diterapkan—tanpa memperhatikan aspek spiritual atau agama—justru melahirkan remaja yang banyak masalah. Belum lagi aturan dan kebijakan penguasa yang kental dengan liberalisme, tidak memperhatikan nilai-nilai agama memberi andil besar makin maraknya kasus ini.
Sudah Jelaslah bahwa persoalan mendasar penyebab perundungan adalah persoalan yang bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan.
Telah nyata bahwa sistem sekuler kapitalisme merupakan sistem rusak dan merusak, menggiring manusia pada keburukan dan kenestapaan tanpa pandang bulu. Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak, semua menjadi korbannya.
Sudah seharusnya kita membabat habis sistem rusak seperti ini dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem kehidupan yang datang dari Allah Taala, tidak lain adalah sistem Islam.
Sistem Islam adalah sistem yang mulia. Karena akan menjadikan akidah Islam sebagai asas yang memiliki aturan sangat terperinci dan sempurna. Islam telah menetapkan bahwa selamatnya anak dari segala bentuk kezaliman ataupun terlibatnya mereka dalam perundungan bukan hanya tanggung jawab keluarga dan lingkungan masyarakat. Negara juga memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, termasuk perundungan.
Benar bahwa Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga anak tamyiz, juga kewajiban pendidikan anak kepada ayah ibunya. Akan tetapi, hal ini tidak cukup. Terwujudnya lingkungan kondusif di tengah masyarakat menjadi hal penting bagi keberlangsungan kehidupan anak.
Lingkungan masyarakat yang baik akan menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Tidak kalah penting adalah adanya peran negara. Negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat. Umat pun mendapat jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh.
Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan solusi bullying atau perundungan hanya akan terwujud dengan tiga pilar sebagai berikut,
Pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Hal ini akan mendorong setiap individu untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga juga dituntut untuk menerapkan aturan Islam di dalamnya. Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dengan bekal ketakwaannya.
Kedua, kontrol dari masyarakat. Hal ini akan menguatkan hal yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga. Kontrol ini sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai tindakan brutal dan kejahatan yang dilakukan anak-anak. Budaya beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, serta tidak memberikan fasilitas sedikit pun dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, akan menentukan sehat tidaknya sebuah masyarakat sehingga semua tindakan kriminalitas apapun dapat diminimalkan.
Ketiga, peran negara. Negara Islam wajib menjamin kehidupan yang bersih bagi rakyatnya dari berbagai kemungkinan berbuat dosa, termasuk perundungan. Caranya dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim dan maksiat lainnya. Negara pun harus menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan cuma-cuma.
Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti peredaran minuman keras, narkoba, termasuk berbagai tayangan yang merusak di televisi atau media sosial.
Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang secara sempurna dapat melindungi anak dan yang mampu mengatasi persoalan perundungan. Ini semua hanya akan terealisasi jika aturan Islam diterapkan secara totalitas dalam sebuah institusi negara, yaitu Khilafah Islamiah.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Terus bagaimana sanksi bagi anak-anak pelaku perundungan?
Negara Islam sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat Islam, berwenang untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Lalu, bagaimana sanksi dari negara Islam kepada pelaku perundungan?
Anak dibawah umur yang melakukan perbuatan kriminal (jarimah), misalnya mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), perundungan secara fisik, dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf, sedangkan syarat mukalaf adalah akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).
Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat dihukum adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud). Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. Perlu diketahui juga dalam pandangan syariat, anak di bawah umur adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig sebagaimana ditetapkan syariat, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. Sanksi yang dijatuhkan bagi orang yang menyakiti organ tubuh atau tulang manusia.
Kembali terhadap
kasus perundungan terus terjadi, bahkan pelakunya adalah anak-anak dan tindakannya pun makin brutal. Sudah seyogianya negara ini dan masyarakat untuk belajar, berulangnya kasus serupa membuktikan bahwa sistem yang saat ini diterapkan (kapitalisme sekularisme) telah gagal membentuk generasi berkepribadian mulia. Sudah saatnya untuk mencampakkannya dan menggantinya dengan sistem yang telah terbukti menghasilkan generasi berkualitas, yaitu sistem Islam.
Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah perundungan ini adalah dengan menerapkan aturan Islam secara kafah mengharuskan semua pihak yang bertanggung jawab terhadap anak—keluarga, masyarakat, dan negara—untuk bekerja bersama, termasuk dengan menjatuhkan sanksi bagi para pelaku.
Semua itu harus segera dilakukan dengan perubahan secara mendasar pada aspek-aspek yang menjadi pemicunya. Jika terus dibiarkan, boleh jadi akan muncul terus kasus-kasus serupa dengan motif yang berulang.
Maka dari itu marilah bersama sama untuk menegakan kembali sistem Islam dibumi ini supaya semua persoalan kehidupan terpecahkan dengan sempurna, dan Islam Rahmatan lil 'alamiin akan terwujud ditengah-tengah umat.
Wallahu bi alam' bi ash shawab []