Oleh: Nasiroh
Aktivis Muslimah
Dari tahun ke tahun angka perceraian mengalami
kenaikan dari angka 447 ribu naik menjadi 516 ribu. Dirjen Bimas Islam
Kementerian Agama Prof Dr Kamarudin mengatakan ada 516 ribu pasangan yang
bercerai setiap tahunnya, sedangkan angka pernikahan justru menurun dari 2 juta
setiap tahunnya menjadi 1,8 juta.
Banyak yang menjadi penyebab terjadinya perceraian. Juru
bicara pengadilan agama Karawang Hakim Asep Asyuyuti mengatakan yang menjadi
faktor meningkatnya angka perceraian adalah perselisihan, pertengkaran,
perselingkuhan, faktor ekonomi dan kecanduan judi online.
Sedangkan di Sulawesi Selatan Gubernur Bahtiar
Baharudin mengatakan tingginya angka perceraian disebabkan kemiskinan ekstrem
dan tingginya angka stunting, sehingga masyarakat tidak mampu membeli susu,
ikan dan sayur yang cukup untuk kebutuhan anak (Pedoman Media, Kamis 21/09/2023).
Mirisnya lagi. Kakanwil Kemenag Aceh, Drs Azhari
mengatakan bahwa perceraian bukan hanya disebabkan karena materi atau KDRT
melainkan karena suami penyuka sesama jenis atau homoseksual (Serambinews.com,
Jum'at 25.08.2023).
Untuk mengurangi masalah perceraian Dirjen Bimas Islam
Kemenag membuat program bimbingan berkawinan pra nikah bagi calon pengantin
(Bimwincatin) untuk memberikan edukasi kepada mereka yang akan menikah. Karena
mereka yang ingin menikah tidak semuanya siap menjadi suami dan istri, belum paham
manejemen keuangan dan kesehatan reproduksi sehingga berpotensi menambah angka stunting
dan berpotensi mengalami perceraian.
Dari berbagai sebab pemicu tingginya angka perceraian
tak cukup hanya membuat program bimbingan perkawinan pra nikah, karena faktor
perceraian bukan hanya dari internal berupa kesiapan menikah, melainkan ada
faktor ekternal seperti masalah ekonomi, kemiskinan hingga homoseksual. Ditambah
rapuhnya bangunan keluarga karena visi keluarga saat ini berorientasi kepada
duniawi saja tidak memiliki visi akhirat.
Hal ini disebabkan karena pengaruh buruk sistem sekularisme
saat ini yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga materialisme
yang menjadi kriteria ketika hendak mencari pasangan. Banyaknya harta,
keseimbangan kedudukan dan status sosial, semua diukur berdasarkan materi
sedangkan berdasarkan agama tidak diperhatikan secara serius.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, kriteria
pasangan diukur berdasarkan kualitas iman dan takwa serta akhlak yang baik,
bukan berdasarkan materi atau status sosial. Sebab Allah memandang derajat
seseorang itu sama, baik Arab maupun non Arab, baik miskin atau kaya tidak ada
perbedaan derajat, yang membedakan adalah derajat ketakwaannya. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 yang artinya, “Sesungguhnya
Allah menciptakan seorang laki-laki dan perempuan, kemudian dijadikan-Nya
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, namun sungguh yang
paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
Oleh karenanya, keluarga Muslim seharusnya memiliki
visi dan misi kelurga yang dilandaskan kepada Islam. Sebagaimana Allah jelaskan,
“Di antara tanda-tanda kebesaran Allah, ialah Allah menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram dan Allah menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang (QS ar-Rum 30:
Ayat 21).
Begitu juga hadits Nabi SAW mengatakan, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara
kalian yang sudah mampu menanggung beban nafkah, hendaknya dia menikah. Karena
menikah itu lebih mampu menundukkan pandangan dan mampu menjaga kemaluan. Dan jika belum mampu
menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa menjadi tameng syahwat baginya”
(HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, negara membentuk keluarga Muslim
agar memiliki visi dan misi akhirat sebab negara yang memiliki peran dengan
berbagai mekanisme untk mewujudkannya. Negara berupaya memahamkan nilai-nilai Islam
dan membantu warganya untuk senantiasa taat kepada syariat Allah, sehingga
ketika tertimpa masalah dalam rumah tangganya mereka mampu menyelesaikannya
dengan pemahaman syariat Islam.
Dalam Islam perceraian dibolehkan namun jika yang
menjadi alasan bercerai jika suami atau isteri tidak lagi mengamalkan syariat
Allah, sebagaimana firman Allah, "Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali.
(Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang zalim” (QS al-Baqarah: 229).
Artinya jika keduanya sudah tidak bisa melaksanakan
syariat Allah maka boleh melakukan perceraian akan tetapi dibolehkan rujuk atau
menikah lagi apabila keduanya sudah melaksanakan syariat Allah. Sebagaimana
yang disebutkan dalam surah yang sama lanjutan ayat di atas bahwasanya
"Jika kemudian dia (suami) menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan” (QS al-Baqarah: 230).
Maka dalam Islam tujuan dari pernikahan agar suami dan
istri melaksanakan syariat Islam dalam rumah tangganya, sehingga mampu
menciptakan keluarga yang tenteram, bahagia lahir dan batin. Negara dalam Islam
wajib menerapkan aturan Islam secara keseluruhan baik dalam urusan rumah tangga
maupun dalam urusan negara atau politik dengan demikian negara mampu mewujudkan
lingkungan yang tenteram, damai, aman dan sejahtera untuk warga negaranya.[]