Oleh Siti Aminah, S. Pd.
(Pegiat Literasi)
Pesta demokrasi dalam sistem kapitalis memang sangat membutuhkan modal besar. Jauh-jauh hari banyak calon sudah bergelut dengan kampanye demi meraih kemenangan. Ini akan berakibat pada mahalnya biaya politik dan membuat para calon pemimpin rela berutang. Mereka rela mencari pinjaman demi mencapai hasrat kekuasaan. Tak jarang dijumpai setelah terpilih jadi pemimpin atau wakil rakyat, masih bergelut dengan utang.
Sebagaimana yang dilansir dari sultrakini (26/8/2023), bupati dan wakil bupati Wakatobi, Haliana dan Ilmiati Daud diberikan somasi untuk kedua kali oleh La Ode Nane selaku mantan ketua tim kampanyenya pada pilkada 2020 lalu, melalui kuasa hukum Izra Jinga Saeani. Somasi tersebut menyusul somasi pertama pada 2 Agustus 2023 yang tidak diindahkan oleh bupati dan wakilnya. Surat somasi itu diserahkan di rumah jabatan bupati Wakatobi Haliana dan wakil bupati Ilmiati Daud pada 23 Agustus 2023. Haliana dan Ilmiati Daud harusnya mengembalikan uang yang telah dipinjam, karena kliennya juga memberikan mereka uang dengan niat membantu
Inilah potret politik dalam sistem kapitalisme demokrasi. Rela berutang demi tercapainya tujuan mereka menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Maka adanya utang adalah suatu keniscayaan. Karena mereka memiliki prinsip dan mereka yakin jika telah menjabat nanti, pastinya utang-utang tersebut akan terlunasi. Mengingat begitu banyak proyek pemerintahan yang akan dimintai feenya.
Hal ini biasa terjadi pada sistem saat ini, karena standar kehidupan masyarakat berputar pada materi semata dan tidak ada hal yang dapat menahan mereka, mengingat sistem kapitalisme sekular menjadikan agama terpisahkan dari kehidupan. Sehingga agama tidak menjadi sandaran dalam melakukan sesuatu. Selama ada manfaat yang didapatkan, tidak mengapa melanggar aturan Tuhan. Tidak heran sistem pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan masyarakat hanya sebatas janji kampanye. Pembangunan berjalan apa adanya karena dipangkasnya anggaran demi melunasi utang.
Maka, simbol yang digaungkan oleh sistem kapitalisme demokrasi, hanya nyaring terdengar namun tak berwujud. Misalnya saja, simbol demokrasi yang digembar-gemborkan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Faktanya hanyalah yang memiliki modal banyak baru bisa berkuasa dan menjadi penentu kebijakan. Sedangkan urusan rakyat dikesampingkan.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Jika sistem Islam diterapkan, pemilihan pemimpin (khalifah) tidak membutuhkan biaya yang besar dan proses yang berbelit-belit, memenuhi syarat dan tidak melanggar syariat. Di antara syarat menjadi pemimpin atau khalifah adalah laki-laki, Muslim, dewasa, adil, berakal, mampu, dan merdeka. Jika tidak memenuhi ini, maka tidaklah pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi, berutang demi mencapai kedudukan atau kekuasaan.
Jadi merdeka adalah salah satu syarat untuk menjadi pemimpin dalam sistem Islam. Merdeka artinya tidak terjajah dengan apapun termaksud utang. Karena utang adalah salah satu cara atau alat untuk menjajah sebuah negara. Jika ada utangnya penguasa, maka munculah pemimpin yang hanya fokus pada utangnya, dan mengabaikan kepentingan rakyat. Akhirnya berakibat pada kelalaian mengurusi urusan rakyat.
Oleh karena itu, dalam sistem Islam tidak dibenarkan seorang pun berkuasa atau menduduki kekuasaan kecuali syarat yang disebutkan sebelum telah dipenuhi. Selain itu syarat menjadi khalifah juga antara lain merupakan seorang mujtahid, sehingga tidak akan mungkin melakukan tindakan yang melanggar syariat.
Dalam sistem Islam juga, para pemimpin atau penguasa ada rasa takut untuk mengemban amanah sebagai pemimpin. Karena tanggung jawabnya berat, bukan hanya tanggung jawab di dunia melainkan juga di akhirat. Jadi, ketika hidup dalam sistem Islam tidak ditemukan orang yang berlomba-lomba untuk menjadi penguasa.
Wallahu a'lam bishawab