> Menyoal Minimnya Mitigasi Kekeringan - NusantaraNews

Latest News

Menyoal Minimnya Mitigasi Kekeringan

 



Oleh: Rehni Yenawati, S.ST., Bdn. 


Berdasarkan prakiraan cuaca Maret lalu, BMKG menyebutkan bahwa awal musim kemarau 2023 ini akan terjadi pada April—Juni 2023. Sedangkan puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pada Juli—Agustus 2023. Kepala BMKG menyebutkan bahwa wilayah daerah yang akan mengalami musim kemarau lebih awal (April) meliputi Sumatera bagian Selatan, diikuti Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Papua bagian Selatan. 


Seiring masuknya musim kemarau, sekitar Juni 2023, Indonesia juga diprediksi mengalami fenomena El Nino. Fenomena El Nino merupakan fenomena akibat pemanasan suhu muka laut (SML) di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. Hal ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk Indonesia. Kepala BMKG menyebut fenomena El Nino makin menguat dengan adanya Indian ocean dipole (IOD) yang menuju positif. IOD sendiri adalah perbedaan suhu permukaan laut antara wilayah timur dan barat Samudra Hindia.


Fenomena-fenomena ini berpotensi mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi lebih kering. Oleh karenanya, pemerintah harus sudah bersiap mengantisipasi berbagai kondisi yang mungkin terjadi sebagai akibat.


Dampak El Nino

Di antara dampak El Nino adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB memaparkan, selama 2—3 bulan terakhir, terjadi 131 kali karhutla. Di Kalimantan Selatan, hingga Rabu (30-6-2023), ada total 2.521 titik api yang menyebar dan mencapai 205,5 hektare.


Kekeringan juga merupakan hal yang sulit dihindari. Kekeringan yang terus meluas berakibat puluhan ribu masyarakat mengalami kesulitan mendapat air bersih. BPBD Provinsi DIY menyatakan 20 kecamatan di empat kabupaten di provinsi tersebut sudah berstatus siaga kekeringan meteorologis. Ribuan masyarakat di sana sudah mengandalkan pemenuhan air bersihnya dari bantuan pemerintah.


Begitu pula Jawa Timur, termasuk daerah yang terdampak besar setiap musim kemarau. Gubernur Jawa Timur menyatakan kekeringan tahun ini diperkirakan berpotensi melanda 27 kabupaten/kota, di antaranya 500 desa kering kritis, 253 kering langka, dan 91 desa kering langka terbatas. Diestimasi, jumlah penduduk yang terdampak bencana kekeringan ini mencapai 1.6664.433 jiwa atau 655.277 keluarga. Hingga saat ini, sekalipun belum memasuki puncak musim kemarau, sejumlah daerah di Madura, Banyuwangi, Probolinggo, Jember, Malang, Gresik, Mojokerto, Lumajang, dan sekitarnya telah mengalami kesulitan air bersih.


Hal yang sama dialami sebagian besar daerah di Jawa Tengah. Pemda telah menetapkan mayoritas daerahnya berstatus siaga kekeringan. BPBD Jawa Tengah juga telah memberikan bantuan 854.500 liter air bersih ke 12 kabupaten/kota yang mengalami kesulitan air bersih. Di Kabupaten Cilacap, krisis air bersih ini berdampak pada 7.739 jiwa dari 2.613 kepala keluarga.

 

Jawa Barat juga mengalami krisis air bersih di berbagai kabupaten/kota sejak Mei lalu. Mulai dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Purwakarta, beberapa kabupaten di Pantura, hingga ke Garut dan kabupaten lainnya.


Sedangkan untuk wilayah Nusa Tenggara, sudah sejak lama ada peringatan dini kekeringan meteorologis. BMKG Stasiun NTB menyatakan enam kecamatan di NTB masuk di level awas. Keenam kecamatan tersebut tersebar di Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Bima, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Sumbawa. Sedangkan 15 kecamatan dalam status siaga dan tiga kecamatan pada level waspada. Begitu pula sebagian wilayah NTT, akan mengalami hari tanpa hujan (HTH) panjang akibat tidak diguyur hujan selama lebih dari 60 hari.


Kekeringan ini pun berisiko pada ketahanan pangan. Kesulitan air untuk bertani menyebabkan sebagian daerah menunda masa tanam hingga masuknya musim hujan. Kementerian Pertanian mengeluarkan peta risiko kekeringan yang mungkin terjadi selama musim kemarau kali ini yang mencapai 410.675 hektare, walaupun dalam kategori sedang.


Krisis Air Bertambah Parah

Kekeringan akibat bencana hidrometeorologi memang bagian dari fenomena alam. Namun, minimnya langkah antisipasi dan mitigasi menyebabkan makin parahnya akibat yang dirasakan masyarakat, khususnya krisis mendapatkan air bersih. Krisis air bersih bukan terjadi kali ini saja dan bukan hanya disebabkan musim kemarau, melainkan merupakan problem tahunan yang berulang. Saat ini, bencana kekeringan menimbulkan akibat yang makin parah.


Kesulitan mendapatkan air bersih dan aman memang merupakan masalah kronis. Bukan hanya dialami masyarakat yang tinggal pedesaan atau daerah 3T, tetapi juga menjadi problem masyarakat perkotaan. Data BPS pada 2021 menyebut sebanyak 83.843 desa masih belum mendapatkan layanan air minum bersih. Dari jumlah itu, tercatat 47.915 desa/kelurahan di antaranya bahkan belum memiliki akses air minum bersih.


Sementara itu, pada 2035 nanti, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia diperkirakan hanya akan tersisa 181.498 meter kubik yang berkurang jauh dibanding 2010 (265.420 meter kubik). Dengan penurunan ini, tentu makin besar jumlah penduduk yang bertambah sulit mendapat air bersih. Begitu pula pemenuhan akses air bersih melalui perpipaan yang saat ini baru terwujud sebesar 22%, menyebabkan ketimpangan masyarakat perkotaan mendapat air bersih.


Sayangnya, belum terlihat langkah serius dan signifikan untuk mengatasi krisis air bersih ini. Hal ini terlihat dari terus berulangnya krisis, bahkan dengan intensitas yang lebih luas dan parah. Pemerintah lebih mengandalkan pada langkah kebijakan kuratif, seperti distribusi dan dropping air bersih pada daerah yang terkena kekeringan. 


Akar Masalah

Indonesia merupakan negara terkaya ke-5 dalam ketersediaan air tawar, yaitu mencapai 2,83 triliun meter kubik per tahun. Dari jumlah besar ini, kuantitas air yang dimanfaatkan baru sekitar satu per tiganya, yaitu 222,6 miliar meter kubik dari 691 miliar meter kubik per tahun. 


Untuk memanfaatkan potensi tersebut, diperlukan konsep pengelolaan yang benar serta pembangunan infrastruktur dengan teknologi terbaik. Sayang sekali, buruknya konsep tata kelola sumber daya air dan lingkungan menyebabkan sumber yang berlimpah ini tidak memberikan manfaat besar bagi rakyat sehingga jutaan rakyat harus merasakan krisis air bersih setiap tahunnya.


Berbagai hasil penelitian menunjukkan masifnya laju deforestasi bertanggung jawab terhadap ketidakseimbangan dan perubahan iklim sehingga terjadi kerusakan keseimbangan siklus hidrologi yang pada akhirnya berkonsekuensi pada krisis air bersih yang makin parah. Deforestasi terjadi utamanya karena pola bisnis kapitalistik yang tidak berpihak pada lingkungan.


Pengelolaan air bersih ala kapitalisme juga menimbulkan ketimpangan akses. Contohnya, pembangunan instalasi air bersih di daerah Labuan Bajo NTT yang dilakukan untuk mendukung korporasi kapitalis yang akan mengelola kawasan tersebut sebagai destinasi pariwisata super premium. Sedangkan mayoritas masyarakat NTT yang sudah puluhan tahunan dilanda krisis air bersih tidak mendorong pemerintah untuk serius mengatasinya. 


Begitu pula dengan krisis air bersih yang dialami masyarakat di Bali, DIY, maupun DKI Jakarta, juga karena ketimpangan akses. Korporasi swasta yang mengelola perhotelan, gedung perkantoran, atau tempat wisata memperoleh keistimewaan akses terhadap air bersih dibandingkan masyarakat menengah ke bawah.


Solusi

Penerapan sistem kapitalisme neoliberal sudah nyata menyebabkan berbagai krisis yang makin intens, termasuk krisis air bersih. Bahkan, dunia telah diprediksi akan menghadapi krisis yang makin buruk dan kesulitan air bersih pada masa mendatang. Oleh karenanya, tidak ada harapan akan berakhirnya krisis air bersih selama negara masih menggunakan konsep kapitalistik neoliberal. Solusi hakiki yang bisa rakyat harapkan hanyalah solusi yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah saw., yakni syariat Islam. 


Penyelesaian krisis air bersih ini hanya akan teratasi dengan konsep Islam yang tampak dalam kebijakan politik dan ekonominya. Secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus/penanggung jawab dan pelindung umat. 


Rasulullah saw. bersabda,

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Untuk itu, pemerintahlah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh kesulitan mereka. Tanggung jawab ini meniscayakan negara melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air, mulai dari membiayai risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya untuk mengatasi masalah. Tanggung jawab ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain.


Pemerintah Islam juga akan menghentikan segala tindakan perusakan lingkungan. Aktivitas sekelas proyek strategis nasional sekalipun harus dijamin agar seminimal mungkin memberikan efek buruk bagi lingkungan. Dalam Islam, pembangunan harus berpijak pada landasan berikut:


«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

“Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni)


Pemerintah Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam secara kafah termasuk dalam pengelolaan harta. Islam menetapkan bahwa air termasuk harta milik publik sebagaimana halnya energi, hutan, laut, sungai, dan sebagainya. Harta tersebut adalah milik seluruh rakyat dan negara wajib bertindak sebagai pengelolanya supaya harta tersebut bisa dinikmati rakyat. Prinsip pengelolaan ini semata-mata untuk pelayanan bukan berbisnis sehingga negara tidak diperbolehkan menyerahkan  kepemilikannya kepada pihak swasta.


Di sisi lain, pemerintah mendorong riset inovatif yang ekstensif untuk mengatasi kelangkaan air di berbagai daerah. Riset-riset ini, misalnya, bisa diarahkan ke teknologi daur ulang air hingga diperoleh air layak minum, riset terkait hujan buatan, riset terkait teknologi pemetaan aliran air bawah tanah beserta siklus airnya, atau bahkan riset teknologi terkait modifikasi cuaca jika diperlukan. Dengan banyaknya riset yang dikembangkan, alternatif solusi teknis untuk kekurangan air menjadi beragam sehingga meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi kekeringan atau kekurangan air. 


Dengan menggunakan paradigma dan prinsip pengelolaan sumber daya air dan lingkungan sesuai Islam, ditambah peran politik negara yang sahih, sumber daya air berlimpah yang dianugerahkan Allah akan termanfaatkan secara optimal dan kebutuhan rakyat pun akan terpenuhi. Wallahualam.

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.