Member AMK dan Pegiat Literasi
Saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan darurat bencana kekeringan dari dampak El Nino. El Nino merupakan fenomena cuaca yang terjadi akibat adanya peningkatan suhu permukaan air di Samudra Pasifik Tengah dan Timur menjadi lebih hangat dari biasanya. Di mana fenomena alami ini menyebabkan perubahan pola cuaca global, yang akan mempengaruhi secara signifikan pada iklim di berbagai wilayah di dunia, termasuk di Indonesia.
Pada bulan Agustus hingga September menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merupakan puncak musim kemarau tahun 2023, sedangkan puncak El Nino akan terjadi sekitar bulan Oktober-November 2023. Dampak El Nino bisa mengakibatkan bahaya kekeringan, kebakaran hutan, dan kekurangan air bersih yang dibutuhkan masyarakat.
Ada 31 kecamatan di Kabupaten Bandung yang terancam terdampak kekeringan dengan tingkat resiko rendah dan sedang. Bupati Bandung Dadang Supriatna mengatakan, “Dampak kekeringan yang perlu diwaspadai adalah ancaman kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas atau kekeringan ekstrim juga gangguan kesehatan.” (Dara, 24/08/2023)
Kekeringan yang terjadi sebagai dampak dari fenomena El Nino mengakibatkan kekeringan dan krisis air bersih. Hal ini seharusnya bisa diantisipasi dengan kebijakan yang integral. Karena selama ini sumber air, lahan resapan dan hutan yang seharusnya menjadi cadangan air sudah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, pemukiman, bahkan obyek wisata. Sehingga jika musim kemarau datang terjadilah kekeringan, sementara danau penampungan air sangat tergantung pada curah hujan. Akibatnya rakyat terhambat untuk memenuhi kebutuhan air padahal mereka tidak mendapatkannya secara gratis.
Contohnya Gunung Manglayang yang ada di Kabupaten Bandung Timur. Dulu ada beberapa mata air yang biasa dimanfaatkan warga sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi, bahkan untuk memasak dan lainnya. Walau jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga yang hanya mengandalkan ember atau alat sederhana untuk mengambil air tapi warga bebas menikmatinya. Sekarang warga di daerah sekitar Gunung Manglayang tidak bisa menikmatinya secara gratis lagi, mereka harus membeli karena sumber mata airnya dikuasai pihak swasta.
Menurut pandangan sistem Islam air merupakan Sumber Daya Alam milik umum yang pengelolaannya haruslah diurus oleh negara dan hasilnya dikembalikan kembali untuk kepentingan atau kemaslahatan umat. Nabi saw, bersabda:
"Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni: air, padang gembala dan api." (HR. Imam Ahmad)
Maka dari itu pengelolaan air harus sesuai syariah dengan konsep pelayanan, bukan menjadikan air sebagai komoditas dan disamakan dengan barang dagangan yang bisa diambil keuntungannya sesuka hati oleh segelintir orang atau kelompok untuk kepentingan bisnis. Termasuk mengedukasi masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan supaya air tetap lestari dan mampu memenuhi kebutuhan makhluk hidup.
Begitu pula peran penguasa (negara). Penguasa sebagai pengurus rakyat berkewajiban memberikan hak-hak warganya seperti kebutuhan primer (pangan, sandang, papan). Kemudian menjamin juga berbagai hal yang menyangkut hajat hidup rakyatnya meliputi jaminan hak hidup, harta, keamanan, dan berbagai hak publik (kesehatan, pendidikan, pekerjaan).
Sementara pengelolaan SDA dilakukan oleh negara dan hasilnya untuk rakyat. Tak lupa negara juga wajib memiliki mekanisme penanggulangan bencana dengan segala kemampuan yang dimiliki, seperti mengerahkan tenaga ahli terkait penanganan dan pencegahan bencana, menyiapkan tenaga dan fasilitas medis, logistik dan lain-lain.
Salah satu contohnya adalah tindakan Khalifah Umar bin Khattab. Di masa kepemimpinannya, terjadi musim kemarau dan berdampak kekeringan selama 9 bulan lebih hingga banyak rakyatnya kelaparan dan para binatang liar pun mengalami hal yang sama. Beliau merasakan kesedihan yang mendalam hingga ia tidak tinggal diam. Beliau memutuskan menggunakan dana APBN (Baitul Maal) untuk membantu rakyatnya yang menderita. Umar pun mengurangi kebutuhan hidupnya dengan tidak makan makanan enak sebelum rakyatnya tercukupi dan kenyang. Kondisi fisik Umar pun berubah, kulitnya bertambah hitam akibat terjun langsung membantu warganya dan badannya bertambah kurus.
Khalifah Umar juga mengerahkan seluruh pejabat di daerah untuk mengirim bantuan makanan, pakaian dan menyumbangkan sebagian hartanya untuk rakyat yang terkena musibah. Kemudian Umar mengirim surat ke beberapa gubernur di berbagai wilayah kekhilafahan Islam di antaranya yaitu Amr bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam, Sa'ad bin Abi Waqqash di Irak dan setelah menerima surat tak lama mereka pun segera mengirimkan bantuannya.
Pelajaran dari kisah tersebut adalah seorang pemimpin tidak akan membiarkan rakyatnya menderita dan kesusahan. Karena sejatinya pemimpin adalah pelayan rakyat. Ia harus bisa memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Sosok seperti Umar ra. harusnya ada di tengah umat saat ini. Sosok yang akan menjalankan roda pemerintahan sesuai manhaj Rasulullah saw. yakni menerapkan Islam secara kaffah. Karena hanya dengan menerapkan Islam secara kaffahlah rakyat akan benar-benar mendapatkan kesejahteraan dan terwujud maqashid syar'iyah (tujuan-tujuan pokok agama) yakni menjaga agama, akal, nyawa, keturunan harta dan kehormatan.
Oleh karenanya kewajiban terbesar umat Islam saat ini adalah mengembalikan lagi kepemimpinan Islam yang menerapkan Islam secara totalitas agar keberkahan Allah Swt. tercurah dari langit dan bumi.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS A'raf [7]:96)
Wallahu a'lam bi ash-Shawwab.