Pemutus Luka

foto doc google


“Ndak mau! 

Kakak maunya dengan Mamak. Ndak mau dengan Pak Long!”

Alya meneriaki suamiku. 
Balita itu sedang tantrum, karena keinginannya tadi tak dipenuhi sang Ibu. Suamiku mencoba mengambil alih untuk menenangkan, dengan menggendongnya dalam keadaan meronta dan membawanya ke sudut ruang tamu.

“Kalo Kakak mau teriak, teriak jak! Pak Long tunggu, Pak Long kawankan.” Suamiku tetap berusaha sabar menghadapi Alya.

“Ndak mau! Kakak mau dengan Mamak jak!” teriakannya semakin kencang. Bahkan mengeluarkan suara serak yang tak pernah kudengar sebelumnya.

“Kakak tadi tu mukul Mamak. Sakit Mamak dipukul tu!” jelas suamiku.

Dari arah arah dapur, Ibuku muncul dan mendekati Alya yang berdiri berhadapan dengan suamiku.

“Nenek ni pusing. Dengar Kakak nangis tu Nenek mau nyubit. Mau dicubit kah?” Ucap ibuku sambil menunjukkan jari sedang mencubit.

Alya sedikit mereda. 
Namun matanya tajam menatap Sang Nenek. 
Menunjukkan kemarahannya.

Detik itu hatiku terasa hancur. Aku segera meninggalkan ruangan itu dan masuk ke kamar. Sebab seketika teringat masa kecilku yang cukup banyak terluka akibat bentakan, cubitan, pukulan, dan ancaman dari orang tua. Meski hati ini juga mencoba memahami pola didikan keras itu merupakan wujud ketidakfahaman mereka dalam mendidik anak. Dan ketidakberdayaan mereka untuk menambah ilmu mendidik anak. 

Meski itu berhasil mendiamkan anak, namun aku merasakan sendiri adanya luka yang menganga sebab sikap kasar itu. Akibatnya, masa remajaku tak dekat dengan kedua orang tua. Bahkan mencari perhatian lain diluar dengan berbagai cara, meski tak sampai terjerumus pada hal-hal yang nista. 

Hanya saja, masa kecil dan remaja yang dihiasi luka disana-sini itu membuatku juga hampir membuat luka yang sama kepada generasi setelahku. Melihat ketantruman Alya saja aku nyaris tak tahan dan hampir membentaknya. Hampir membuat luka yang sama, andai tadi tidak beranjak dari ruang tamu.

Tangisku semakin tersedu-sedu. Memandang langit yang begiu cerah, sambil berharap Allah memudahkan segalanya. Semoga generasi yang memiliki luka pengasuhan sepertiku mampu menjadi generasi pemutus luka. Agar generasi setelahku menjalani masa kecilnya tanpa luka, sehingga mampu menjadi generasi terbaik. Utamanya untuk Islam. Biarlah luka pengasuhan ini menjadi wasilah yang menghantarkan pemiliknya pada posisi terbaik dengan banyak belajar dan terus memaafkan orang tua karena telah membuat luka.

Setelah air mata dan perasaan ini mampu dikendalikan, aku mencoba membuka kamar dan terlihat suamiku membawa Alya yang masih tampak menahan tangisnya.
“Mau duduk disini?” tanya suamiku pada Alya.
Alya menggeleng.
“Kakak mau dengan Mamak!”
“Tapi Mamak lagi pergi ke warung.” Kucoba untuk menjelaskan.
Alya menunjuk ke kamarnya.
“Mau bobok?” tanya suamiku lagi.
Alya mengangguk.

“Tapi ndak mau ditepuk-tepuk!” Alya memberi tau Pak Long, bahwa ia ingin sendiri tanpa ditemani Pak Long yang sesekali menimangnya sebelum tidur.

Aku mengikuti suami mengantar Alya ke kamardan berhenti di pintu kamar. Dari pintu terlihat suami membaringkan Alya, menyusun bantal dan guling di sekeliling Alya sesuai permintaannya. Dan posisi badan Alya membelakangi pintu kamar.

Dua menit kami menunggu di pintu kamar, posisi badan Alya tidak berubah. Lalu kucoba mendekati untuk melihatnya. Ternyata Alya sudah tertidur pulas. Wajahnya tampak begitu kelelahan.

Ya Allah... Semoga kami mampu menjadi generasi yang tidak melukai keturunan-keturunan kami. Aamiin...

Kalimantan Barat

Post a Comment

Previous Post Next Post