Mengaku Wakil Nabi Dan Upaya Desakralisasi Agama


Oleh: Lubna Khanza

Kembali terjadi ‘pengakuan’ terkait Nabi. Dikutip dari Republika.Co.Id, Bandar Lampung - Pelaku penembakan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mustopa NR (60), Selasa (2/5/2023) mengklaim kepada warga Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pasawaran, Lampung, sebagai wakil Nabi Muhammad saw. Pelaku juga berdakwah keliling sebagai wakil Nabi Muhammad. 

Deklarasi yang Mustopa sampaikan, jelas menunjukkan adanya fenomena krisis akidah. Tidak ada satu pun indikasi dalam Al-Qur’an maupun Sunah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. memiliki wakil pada akhir zaman ini dalam rangka membantu peran beliau sebagai Nabi dan Rasul.

Hal ini juga menandakan tidak ada efek jera atas kasus serupa yang sering terjadi.  Juga tanda dangkalnya pemahaman umat terhadap agamanya sendiri. Isu dan keberadaan Nabi palsu membuat kaum muslim yang kurang pemahamannya semakin tersesatkan.

Dewasa ini ada indikasi dan kecenderungan masyarakat yang menyepelekan dan bahkan menghilangkan kesakralan Agama. Istilah ini dikenal dengan desakralisai agama, dimana masyarakat tidak lagi percaya akan kesakralan agama, agama dianggap ringan, dan sepele.

Dalam sistem sekuler krisis akidah dan desakralisasi agama Islam akan terus berpeluang terjadi. Sekularisme membuat manusia tak boleh menuding kesalahan dalam agama sebagai kesesatan. Hal ini akan menyebabkan umat Islam yang lemah imannya mudah goyah dan mengikuti ajaran yang sesat.

Dalam Islam, tentunya kasus seperti ini merupakan masalah yang besar dan genting sebab bisa menyesatkan banyak orang dan mengganggu stabilitas negara.

Pada masa Khalifah Abu Bakar, seseorang bernama Musailamah al-Kadzdzab mengaku menerima wahyu dalam kegelapan, dengan opini menyesatkan bahwa pembayaran zakat itu kepada Muhammad, sedangkan Muhammad telah meninggal maka tak ada lagi kewajiban untuk membayarnya. Ini membuat beberapa daerah tidak mau membayar zakat dan hal ini tentu mengganggu stabilitas negara. Khalifah Abu Bakar akhirnya mengambil sikap tegas dengan memutuskan untuk memeranginya.

Islam menjadikan agama sebagai sesuatu yang wajib dibela, negara memiliki metode menjaga akidah umat dan menjaga agar islam tetap mulia. Keyakinan untuk membela Islam ini mampu menumbuhkan konsekuensi akan adanya penjagaan akidah Islam secara sistemis. Ini bukan lagi ranah perdebatan karena Islam adalah aturan yang mulia, tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam.

Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR Baihaqi). 

Hendaklah kita mengingat dan merenungi nasihat Abu Bakar ra. Ketika Rasulullah saw. wafat, “Ketahuilah, barang siapa yang menyembah Muhammad saw., maka Muhammad sekarang sudah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak wafat, dan beliau lanjutkan ‘Sesungguhnya engkau akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati pula’ dan membaca ayat ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’. Beliau (Abu Bakar) kemudian berkata, ‘Maka mulai terdengar isak tangis para sahabat yang lain…’” (HR Bukhari).

Inilah peran strategis yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. selaku khalifah pengganti Rasulullah saw. Masa pemerintahan beliau yang singkat, sangat urgen dalam menjaga kelurusan akidah kaum muslim setelah Rasulullah saw. wafat, termasuk ketika beliau menurunkan pasukan dalam Perang Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab (laknatullah) yang mengaku sebagai nabi serta berusaha memberontak kepada Daulah Islam dengan angkatan bersenjatanya.

Tegaknya agama sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan umat dari krisis seperti ini.
Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post