Tidak Serius: Dua Tahun Berjalan Food Estate Panen Masalah


By : Fannisa

Demi mengantisipasi terjadinya krisis pangan, pemerintah menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen (BBC.com).  Menurut Perwakilan Greenpeace Indonesia, pembukaan lahan seluas 700 hektar di Gunung mas, Kalteng untuk kebun singkong telah mengancam lingkungan dengan menyumbang emisi karbon lebih dari 60 ribu dan ini akan memperparah krisis iklim (Tempo.com). Sebelumnya, lahan Proyek yang dikomandoi oleh Menteri Pertahanan Nasional tersebut merupakan hutan tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah dan berburu hewan. Pengadaan proyek ini mengundang kekecewaan warga setempat yang telah kehilangan lahan untuk ditanami sayur dan tanaman lokal yang biasa ditanam secara turun menurun. 

Tidak Serius

Permasalahan krisis pangan, menurut lembaga PBB, ada pada distribusi pangan yang terputus karena pandemi bukan pada masalah produksi. Lalu kenapa pemerintah bersikeras? Sebetulnya proyek Food Estate bukan pertama kali dilaksanakan, di jaman pemerintahan Soeharto dan SBY juga pernah dilakukan namun hasilnya belum memuaskan. Salah satu penyebab utamanya adalah kondisi tanah yang tidak sesuai dengan jenis tanaman. 
 Jika memang pemerintah saat ini serius, seharusnya bisa berkaca dari pengalaman sebelumnya. Tetapi nampaknya hal itu tidak terjadi, bahkan sejak awal digagasnya proyek ini sudah terkesan terbu-buru. Banyak pihak yang menilai proyek ini minim persiapan baik dari segi lingkungan, ekonomi, dan sosial.  

Pemerintah pun tidak banyak membuka ruang diskusi dengan para ahli di bidang yang bersangkutan untuk menyusun rencana pelaksanaan proyek ini. Meski sudah banyak pihak yang mengkritisi maupun memberi masukan untuk pelaksanaan Food Estate ini, namun pemerintah terkesan mengabaikan.  Padahal program Food Estate merupakan proyek besar yang masuk dalam program strategi nasional (stranas). Tentu dana yang digelontorkan tidak sedikit.  

Panen Masalah 

Terbukti setelah dua tahun berjalan, proyek ini panen masalah dari berbagai sudut pandang. Dari segi capaian target sendiri, misalnya proyek Food Estate di Kalteng jauh dari kata berhasil. Tanaman singkong tidak dapat tumbuh baik di kawasan tersebut dan sudah lama mangkrak. Menanggapi kondisi ini, Menteri Keamanan dan Pertahanan menyatakan bahwa hal ini karena kurangnya anggaran. Dari sini terlihat pula bahwa perencanaan anggaran proyek tidak matang sehingga apa yang sudah jalan menjadi sia-sia dan asal ada proyek saja.  

Selain itu, deforestisasi dari proyek Food Estate juga menjadi salah satu penyebab utama banjir yang terjadi di Kalteng. Alih fungsi hutan dan lahan gambut dalam jumlah besar juga berdampak pada krisis iklim global. Meski sudah mendapat peringatan dari banyak lembaga lingkungan hidup, pemerintah tidak mempertimbangkannya.  

Sementara dari segi sosial, sejauh ini proyek meniadakan peran masyarakat lokal sebagai subyek pertanian dengan dalih moderenisasi pertanian yang berorientasi pada investasi, modal, dan sarana produksi. Tidak heran, dalam pelaksanaannya tidak disesuaikan dengan budaya pertanian dan ekosistem setempat. Pemilihan komoditas tanaman dalam proyek ini cenderung berbasis pada komoditas ekspor bukan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal oerientasi dari Food Estate keliru bukan memenuhi kebutuhan pangan rakyat namun ada ambisi ekspor dan gimik semata. 
 
Perubahan Paradigma 

Dari awal pemerintah sudah salah mendefinisikan ketahanan pangan. Seharusnya ketahanan pangan dilihat dari terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga dan kemampuan untuk mengaksesnya baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Bukan pada jumlah produksi pangan, karena tercapainya target produksi tidak menjamin distribusi yang merata pada seluruh masyarakat.  
Hal ini wajar, jika melihat paradigma pembangunan Negara saat ini yang menganut sistem kapitalisme. Salah satu karakternya adalah hawa nafsu merauh keuntungan atas produksi. Jika sudah terbukti paradigma Kapitalisme tidak dapat menyelesaikan permasalahan pangan, maka perlu perubahan paradigma pembangunan. 
Di sisi lain, Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT menawarkan paradigma pembangunan yang komprehensif dan solutif. Setidaknya ada beberapa poin yang dapat direalisasikan oleh paradigma Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan. 

Pertama, landasan pembangunan dalam Islam sejalan dengan perintah untuk memakmurkan Bumi dari Allah SWT salah satunya dalam surat surah Hud ayat 61. Pembangunan harus ditunjukkan untuk pemenuhan kebutuhan setiap warga Negara baik muslim maupun non muslim bukan untuk target produksi koorporasi atau swasta. Distribusi akan mendapatkan perhatian lebih besar dari negara.   

Selain itu, aspek lingkungan juga menjadi pertimbangan yang sangat penting karena segala bentuk pembangunan yang merusak alam bertentangan dengan tujuan awal memakmurkan bumi. Maka dalam prosesnya, sedari awal serius merancang proyek ramah lingkungan dengan melibatkan para ahli dari berbagai bidang mulai dari bidang lingkungan, pertanian, sosial dan budaya.  

Kedua, Islam mengenal konsep kepemilikan umum dan individu. Sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak diperkenankan untuk dimiliki oleh individu, kelompok, atau swasta tetapi harus dikelola langsung oleh Negara untuk kebutuhan rakyat. Kepemilikan tanah oleh individu akan dilihat sejauh mana mereka dapat mengelolanya. Jika ada warganya yang memiliki kemampuan mengelola pertanian, Negara akan memberikan tanah seluas tanah yang mampu dikelola sehingga petani tidak hanya sebatas menjadi buruh tani. Tidak akan dibiarkan tanah nganggur atau pun sebaliknya yang over-ekploitasi.
 
Kepemilikan individu juga tetap diakui karena negara membuka kesempatan bagi warga negara yang ingin menjadi pengusaha yang begerak dalam harta milik individu, seperti bisnis pakaian, industri manufaktur, jasa, dan sebagainya. 
 
Ketiga, dalam jangka panjang tujuan pembangunan adalah mewujudkan Negara mandiri, kuat, dan terdepan. Kebutuhan pangan, tidak akan bergantung pada impor. Maka Negara harus mampu memiliki industri berat yang bisa menopang alat produksi maupun distribusi pangan. Dengan begitu Negara memiliki kemampuan untuk mengelola SDA dan memanfaatkannya untuk hajat masyarakat. Tidak seperti hari ini yang sebagian besar pengelolaan SDA dialihkan pada pihak ketiga bahkan swasta secara utuh dengan orientasi profit.  
 
Dari target kemandirian ini, Negara juga mampu memberikan peluang lapangan kerja seluas-luasnya untuk warga seperti kebutuhan SDM terhadap fasilitas umum rakyat, pegawai administrasi negara, maupun dari pengelolaan harta milik rakyat dan negara.
 
Pada dasarnya perubahan paradigma pembangunan ini akan berdampak besar pada aktifitas pengurusan Negara terhadap rakyat. Jika dalam kapitalisme Negara sebagai regulator dan fasilitator, maka berbeda dengan Islam yang memposisikan Negara sebagai pelayan rakyat. Merupakan kewajiban Negara untuk memastikan bahwa setiap warga negaranya terlepas dari apapun ras dan agama mereka dapat terpenuhi kebutuhannya. Dengan ini ketahanan pangan sesungguhnya dapat diwujudkan.

Post a Comment

Previous Post Next Post