Ironis, Buruh Diperdaya Pengusaha Dibela


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Islam Akademi Menulis Kreatif

Miris, buruh kembali gaduh merasa hak-haknya dizalimi. Ironis memang, dalam sistem demokrasi kapitalis buruh diperdaya sedangkan pengusaha dibela. Slogan dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat nyata utopis. Mengapa ini bisa terjadi?

Dikutip dari CNBC Indonesia (14/3/2023), ribuan buruh menggelar demonstrasi menolak pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung DPR/MPR RI. Demo serikat buruh akan berlanjut pada 21 Maret 2023 di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, dalam rangka menolak Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) Nomor 5 tahun 2023.

Pasalnya, dalam Permenaker tersebut, pengusaha atau eksportir yang terdampak ekonomi global bisa memangkas upah buruh 25% dan mengurangi jam kerja buruh. Oleh sebab itulah, Partai Buruh dan Organisasi Serikat Buruh menolak dan melakukan perlawanan. Bahkan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal akan mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) karena Permenaker dinilai melanggar Undang-undang.

Ada empat tuntutan penolakan terhadap Permenaker Nomor 5 tahun 2023, yakni:
1. Bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003, yang menyebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah buruh di bawah upah minimum.

2. Akibat pemotongan tersebut akan berimbas pada daya beli masyarakat. Hal ini bisa terjadi efek domino yang berdampak pada industri lain.

3. Implementasi Permenaker tidak adil, berdampak diskriminasi upah antara para pekerja industri padat karya berorientasi ekspor dengan yang domestik.

4. Menurunkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena daya beli terus tergerus akibat dari tunjangan buruh di luar gaji pokok yang sebelumnya sudah dipangkas.

Demokrasi-Kapitalis Biang Keroknya

Itulah buah dari sistem demokrasi kapitalis. Slogan dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat adalah utopis. Sebab, dalam sistem demokrasi kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyat yang berhak membuat hukum diwakili oleh DPR. Namun faktanya, hukum yang dihasilkan tidak adil, tumpang tindih, dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Justru, hukum yang dibuat meniscayakan untuk dilanggar, mengapa?

Karena asas negara ini menganut sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak diberikan ruang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wajar, jika aturan yang dibuat tolok ukurnya bukan haram dan halal, tetapi asas manfaat dan hawa nafsu. Mirisnya, negara dan DPR justru membuat regulasi yang menguntungkan pengusaha dan menyengsarakan rakyatnya.

Lihatlah, UU Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan DPR. Padahal, jauh sebelumnya publik beribu kali menolaknya karena mengebiri hak pekerja (buruh). Antara lain, pemotongan waktu istirahat, jam lembur lebih lama, penghapusan upah minimum, kontrak seumur hidup, dan rentan PHK. Justru, yang terjadi DPR tutup telinga, tutup mata, dan tutup hati mengkhianati amanah rakyat.

Kini, nasib buruh betul-betul makin memprihatinkan. Dari rahim Omnibus Law Ciptaker lahirlah Permenaker Nomor 5 tahun 2023 yang membolehkan pemotongan gaji buruh sebesar 25%. Padahal, upah tidak dipotong saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sungguh sulit. Apalagi dipotong, ditambah lagi dengan naiknya bahan pokok dan barang lainnya yang terus merangkak naik, sungguh sangat mencekik.

Beginilah nasib buruh dalam tatanan sistem demokrasi kapitalis makin miris. Jangan bermimpi sejahtera, karena pekerja dipandang sebagai salah satu komponen produksi. Maka prinsip mendapat untung sebesar-besarnya menjadikan upah harus ditekan serendah-rendahnya. Pekerja hanya dijadikan sapi perah. Oleh sebab itu, selama sistemnya demokrasi kapitalis maka nasib pekerja akan terus tertindas dan mengenaskan.

Sistem Islam Adil dan Menyejahterakan

Islam agama paripurna dan sempurna. Tidak hanya mengatur akidah dan ibadah saja. Melainkan sebagai pedoman hidup yang mengatur semua lini kehidupan, termasuk sistem ketenagakerjaan (pengupahan).

Dalam istilah fikih, ketenagakerjaan atau pengupahan disebut ijarah, yang berasal dari kata ajru (upah).
Secara syar'i, ijarah adalah akad atas suatu manfaat dengan imbalan atau upah. (An-Nabhani, 2003)

Jadi, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan imbalan atau upah berdasarkan jenis manfaat yang diberikan. Jika manfaatnya tinggi maka upahnya tinggi meski hanya lulusan SD. Bila manfaatnya rendah maka upahnya rendah meskipun lulusan sarjana. Jadi, dalam Islam tidak disamaratakan berdasarkan upah minimum atau tingkat pendidikan seperti pada sistem kapitalis.

Sebab, pengupahan dalam Islam berdasarkan jenis manfaat yang diberikan. Adapun sebagai pengganti manfaat (upah) tidak harus berupa uang, tetapi bisa berupa manfaat yang lain, yaitu berupa barang atau jasa. Semua itu berdasarkan kesepakatan antara pengusaha (majikan) dan pekerja, yakni sama-sama rida. 

Namun demikian, Islam telah menetapkan tentang syarat dan rukun ijarah yang harus dipenuhi ketika akad ijarah. Pada hakikatnya semua aktivitas harus terikat dengan hukum syarak (aturan Allah).

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Az-Zariyat ayat 56: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Pengertian ibadah adalah tunduk patuh hanya kepada Allah Swt. Oleh karena itu, Islam memandang bekerja akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari rida Allah Swt. termasuk mancari nafkah yang halal dan baik. 

Sebab, Islam memerintahkan manusia bekerja untuk mencapai kehidupan yang layak, untuk menghasilkan barang-barang dan jasa yang menjadi keperluan hidupnya. Lebih dari itu, untuk kemaslahatan umat manusia maupun untuk amal saleh. 

Jadi, bekerja itu sendiri bersifat ibadah karena perintah Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya, "Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah Swt. dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah [9]: 105)

Dalam hubungan kerja antara majikan dengan pekerja, Islam telah meletakkan dasar-dasar terkait jaminan keselamatan kerja dan jaminan sosial pekerja. Pada intinya masing-masing pihak melaksanakan kewajiban bukan menuntut hak.

Contohnya, banyak dalil yang mengatur terkait kewajiban majikan, di antaranya dalam Hadis Qudsi, Allah berfirman: "Ada tiga macam manusia yang menjadi musuh-Ku di hari kiamat nanti, yaitu orang-orang yang Aku beri rezeki atas nama-Ku kemudian ia menipu, orang yang menjual orang merdeka lalu ia makan harganya, dan orang yang mengupah seorang buruh maka ia memperoleh hasil kerjanya tetapi tidak mau membayarkan upah." (HR. Bukhari)

Majikan (pengusaha) juga diperintahkan agar memperlakukan buruh seperti pada dirinya sendiri, Nabi saw. bersabda, "Saudara-saudaramu itu dijadikan oleh Allah sebagai pembantu di bawah kekuasaanmu. Maka hendaklah ia memberi makan seperti makanannya sendiri, dan berilah pakaian seperti pakaiannya sendiri, dan jangan memberikan beban yang tidak terpikul olehnya, maka bantulah dia." (HR. Tirmidzi)

Sungguh, Islam sangat memperhatikan nasib para pekerja. Selain itu, Islam juga mewajibkan negara memberikan jaminan kesejahteraan melalui kebutuhan pokok rakyatnya. Semua itu bisa terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh di semua aspek kehidupan oleh negara, yakni khilafah.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post