Demokrasi: Dari Partai, Oleh Partai, dan Untuk Partai


Oleh Merli Ummu Khila
Pemerhati Kebijakan Publik 

Mungkin slogan demokrasi lebih cocok jika diganti "dari partai, oleh partai, dan untuk partai". Faktanya memang slogan untuk rakyat itu bak fatamorgana, rakyat tidak pernah menjadi prioritas bahkan justru di palak secara sistemik oleh pajak. Rakyat tidak merasakan layanan dari pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom.

Hal ini dipertegas oleh sebuah pernyataan kontroversi dari Ketua Komisi III Bambang Wuryanto, seakan memperjelas kedudukan mereka di kursi dewan perwakilan bukanlah atas representasi suara rakyat. Jelas tersirat dalam jawabannya saat diminta dukungan atas pengesahan UU Perampasan Aset.

Seperti dikutip dari Kompas.com, 03/04/2023, Pernyataan anggota legislatif ini jelas-jelas menyatakan tidak berani mengesahkan dua RUU atas perintah "atasan". Tanpa rasa bersalah Bambang mengakui bahwa keputusan DPR tergantung perintah ketua partai. Bahkan lebih spesifik Bambang memperagakan ketika diinstruksikan Ketua Partai dan disambut gelak tawa oleh anggota sidang. Sungguh miris, mempertontonkan borok lembaga dengan bangganya.

Jawaban Bambang Pacul pun sontak menuai sorotan publik. Khususnya di media sosial, warganet beramai-ramai menghujat dan menumpahkan kekecewaan mereka atas sikap anggota DPR ini. Seolah tidak malu-malu lagi anggota legislatif ini mengakui bahwa mereka hanyalah petugas partai yang bekerja untuk partai.

Dari Partai

Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Namun seiring perjalanannya, cita-cita ini menjadi bias dan lebih tepatnya partai terbentuk dengan tujuan mengisi kursi-kursi kekuasaan.

Sebuah negara demokrasi terbentuk dari perwakilan anggota partai-partai yang terpilih. Kuatnya ambisi untuk menduduki kekuasaan melahirkan kompetisi yang ketat. Semua partai bersaing memperebutkan suara terbanyak. Hal ini yang membuat biaya demokrasi sangat mahal. Terjadilah deal-deal politik antara sponsor yaitu pengusaha dan anggota parpol sebagai calon penguasa.

Oleh Partai

Terbentuknya pemerintahan terpilih adalah kumpulan politisi dari berbagai parpol dan dengan kepentingan masing-masing. Para abdi negara ini mengatur jalannya pemerintahan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Disisi lain mereka juga masih berstatus anggota partai yang harus mengikuti instruksi ketua partai.

Sebuah keniscayaan dalam demokrasi, kemenangan seorang abdi negara tentu berkat dukungan partai dan modal dari pengusaha. Maka, ketika mereka sudah menduduki tampuk kekuasaan, maka saatnya 'bayar utang' dengan melahirkan kebijakan-kebijakan pesanan. Membuat Undang-Undang yang pro pengusaha.


Untuk Partai


Keberlangsungan hidup sebuah partai tentu saja membutuhkan anggaran yang besar. Mulai dari biaya operasional hingga dana kampanye. Anggaran ini harusnya berasal dari iuran anggota partai dan bantuan dari pemerintah. Namun pada faktanya, anggaran ini justru lebih banyak datang dari para penyumbang yang merupakan kader terpilih. Sumbangan merupakan bagian dari deal politik antara kader dengan partai pada masa kampanye ini sering disebut mahar parpol.


Begitulah gambaran pemerintahan saat ini. Mereka yang katanya abdi negara, wakil rakyat tidak ubahnya seperti ATM berjalan bagi parpol dan pengusaha sponsornya. Uang rakyat dibuat bancakan, kekayaan alam dieksploitasi secara 'legal' di balik tameng Undang-Undang. Jual beli kasus. Politik saling sandera hingga oligarki dipertontonkan tanpa malu-malu.

Rasanya tidak ada yang bisa dikatakan untuk rakyat. Semua kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan dan keamanan dibebankan kepada individu. Tidak hanya itu, rakyat juga dibebankan berbagai iuran pajak yang mencekik. Hal ini berlangsung dari rezim

Rakyat Hanya Menjadi Alat Meraih Kekuasaan 

Demokrasi itu ibarat lingkaran setan. Kekuasaan diraih dengan uang untuk mendapatkan uang. Seorang calon rela merogoh kocek sedalam-dalamnya demi merebut tampuk kekuasaan. Karena kontestasi politik berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia berkuasa. Setelah mendapatkan kekuasaan, maka jabatannya akan dijadikan alat untuk memperkaya diri dan partainya.

Rakyat tidak diberikan pilihan. Tugasnya hanya mencoblos kandidat yang sudah ditentukan. Terlepas apakah pemilih mengenal kandidat atau tidak, paham visi misinya atau tidak. Pemilihan legislatif atau pemilihan pemimpin daerah tidak lepas dari praktik suap, kampanye hitam dan manipulatif data. Suara rakyat hanya dibutuhkan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan kekuasaan.

Sistem Islam, Rakyat Adalah Prioritas Utama

Berbeda dengan Islam, sistem bernegara tegak atas dasar akidah Islam. Rakyat menjadi prioritas utama negara berdasarkan syarak. Hal ini disandarkan pada hadis Rasulullah Saw. "Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
 
Dalam sistem Islam, rakyat menjadi prioritas utama negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok secara tidak langsung dengan mekanisme subsidi dan harga yang terjangkau dan stabil. Serta berkewajiban menjamin secara langsung kebutuhan dasar lainnya yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis.

Mekanisme pemilihan pejabat pemerintah juga berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah yaitu memastikan pejabat berkriteria jujur, amanah dan tunduk patuh pada hukum syara. Disatu sisi, pejabat juga diberikan upah yang layak sehingga tidak ada alasan pejabat untuk melakukan KKN.

Selain itu sistem Islam juga melakukan pengawasan ketat terhadap kekayaan pejabat untuk mengantisipasi terjadinya korupsi. Jika terbukti terjadi KKN oleh pejabat, maka akan ada sanksi berat yang bersifat zawajir atau memberikan efek jera serta zawabir atau penebus dosa yang artinya si pelaku tidak lagi dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.


Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post