Kebakaran Depo Plumpang, Potret Kebijakan Timpang


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam

Terjadi kebakaran hebat di Depo Pertamina Plumpang, Koja, Jakarta Utara pada Jumat malam, 3 Maret 2023. Berawal dari ledakan pipa bahan bakar minyak (BBM) di area Depo yang tersambar petir. Tidak terelakkan api cepat menyambar dan melalap permukiman warga di sekitarnya. 

Akibat kebakaran itu menimbulkan rasa duka dan prihatin yang mendalam karena banyaknya korban. Data terbaru dilaporkan yang meninggal sejumlah 19 orang, korban luka 49 orang, 37 orang dirawat di rumah sakit dengan luka bakar hingga 95 persen. Puluhan orang luka bakar ringan dan menjalani rawat jalan, serta sekitar 1000 warga mengungsi.(Tempo.co, 5/3/2023)

Peristiwa kebakaran di Plumpang Pertamina mendapat perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. Presiden menginstruksikan pemerintah daerah dan pusat untuk mensinkronisasikan tata ruang bersama pasca kebakaran. Ada dua opsi solusi, yakni relokasi permukiman warga atau relokasi Depo Pertamina Plumpang. Akankah solusi ini bisa menyelesaikan masalah?

Sungguh ironis, seharusnya kawasan Depo Pertamina steril dari permukiman warga. Justru yang ada malah dihuni oleh rumah-rumah warga dan dibiarkan berkembang hingga dilegalisasi dengan pembentukan RT, RW, bahkan diberikan KTP.

Hal ini mendapat respon dari pengamat tata kota Universitas Trisaksi Jakarta, Yayat Supriatna. Ia mempertanyakan, siapa yang memberikan rekomendasi permukiman penduduk di kawasan Depo Plumpang yang harusnya steril dari hunian penduduk? 

Insiden musibah kebakaran di Plumpang  menunjukkan adanya kebijakan yang timpang:

Pertama, telah diketahui bersama bahwa lahan Depo Plumpang Pertamina secara hukum tidak punya hak atas tanah, artinya merupakan tanah sengketa. Anehnya, penguasa ketika itu malah memberikan ijin mendirikan bangunan (IMB), dan melegalkan RT, RW, serta KTP. Kebijakan yang timpang dan menyimpang karena ada pelanggaran hukum di dalamnya. Akibatnya, saling lempar kesalahan dan mencari pembenaran. Itulah yang kini terjadi, lagi dan lagi sejatinya rakyatlah yang dikorbankan.

Kedua, tata kelola kependudukan yang salah. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan jika membiarkan adanya permukiman di sekitar area Depo Plumpang Pertamina atau obyek-obyek vital lainnya. Seharusnya ada zona penyangga (buffer zone) untuk melindungi permukiman warga. Artinya, zona penyangga harus steril dari permukiman penduduk. Namun, yang terjadi malah pelanggaran-pelanggaran dibiarkan, bahkan difasilitasi dengan sarana prasarana seperti listrik, air, dan dibuatkan KTP.

Ketiga, abainya negara terhadap keselamatan rakyat. Kejadian kebakaran di Plumpang bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, kasus kebakaran terjadi di sejumlah tempat. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir ada tiga kasus kebakaran. Seperti kata pepatah "Hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama." Artinya, hanya orang bodoh yang mengulang kesalahan yang sama. Seharusnya penguasa belajar dari pengalaman jangan sampai terulang. Hal ini menunjukkan negara tidak cermat dalam membuat planing tata kelola kependudukan dan abai terhadap keselamatan rakyatnya.

Kejadian tersebut wajar terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis yang berasaskan sekularisme. Sistem yang menafikan agama dalam urusan publik, menganggap urusan negara dan bermasyarakat adalah urusan dunia saja. Karena tolok ukur perbuatan berdasarkan manfaat dan hawa nafsu bukan haram dan halal. Karena itu, dalam melayani rakyatnya pun berhitung untung-rugi.

Hal lumrah, jika negara berlepas tangan dari tugasnya sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Rakyat dibiarkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, baik kebutuhan pangan, sandang, papan, maupun kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Karena dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler negara hanya sebagai pembuat undang-undang yang bersumber dari akal manusia yang terbatas. Mana mungkin bisa menyelesaikan urusan umat dengan tuntas dan memuaskan?

Wajar, jika dalam tata kelola kependudukan ala kapitalis penguasa
memihak pada pemilik modal dan oligarki. Penguasa lebih mengedepankan keuntungan materi dan pencitraan, daripada keselamatan rakyatnya.

Banyak lahan-lahan yang seharusnya dijadikan hunian warga dikuasai oleh para kapital poperti. Mereka berbisnis membangun mal-mal dan hunian yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu.

Bagaimana dengan nasib rakyat kecil yang tinggal di kawasan perkotaan? Tentu, warga yang berekonomi rendah kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan aman. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pangan saja sulit, apalagi tempat tinggal yang harganya mahal. Sudah pasti mereka terpinggirkan, lebih memilih hunian di kolong jembatan, di bantaran sungai, di tempat-tempat kumuh dan terisolir. Dengan alasan yang sama, mereka lebih memilih di tempat yang tidak aman seperti tinggal di Depo Pertamina, sungguh miris.

Inilah ketimpangan tata kelola kependudukan dalam sistem demokrasi kapitalis telah terbukti gagal. Hanya mengutamakan materi, tidak memanusiakan manusia dan tidak akan bisa menyejahterakan rakyatnya.

Islam Menjamin Keselamatan dan Kesejahteraan

Islam mempunyai sistem pemerintahan khas disebut Khilafah, yang berasaskan akidah Islam. Hubungannya dengan kebutuhan rakyat adalah syariat mewajibkan negara sebagai khadimatul ummat (pelayan umat). Dalam melayani rakyatnya, negara tidak mengambil keuntungan sedikitpun. Ini semata-mata menjalankan perintah Allah Swt. dalam mengemban amanah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, Khilafah adalah pelaksana syariah secara kafah. Oleh sebab itu, Khilafah merupakan institusi yang akan mengutamakan keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Ketika Khilafah mengatur tata wilayah termasuk permukiman akan mengacu pada prinsip tersebut.

Untuk itu, Khilafah akan memerintahkan para ahli di bidangnya untuk merancang tata wilayah dengan teliti berdasarkan kemaslahatan, aspek ilmu, dan teknologinya. Dalam hal ini termasuk memetakan jenis lahan sesuai tingkat kesuburannya agar tepat dalam pemberdayaannya. Lahan subur hanya untuk pertanian dan perkebunan. Sedangkan untuk permukiman dan perindustrian di area lahan yang kurang subur. Namun demikian, Khilafah akan tetap mengatur jarak wilayah permukiman warga dengan industri. Ada area buffer, yakni sebagai penjaga dan pelindung keamanan warga. Apabila ada kasus kebakaran rakyat aman karena terlindungi.

Khilafah akan menerapkan sanksi hukum bagi pelanggar aturan, tak terkecuali penguasa dan para pejabatnya. Sebab, aturan yang bersumber dari Allah dan Rasulullah wajib diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, dapat meminimalisir korban seperti kasus kejadian kebakaran di Depo Pertamina karena kebijakan penguasa yang timpang dan menyimpang.

Bagaimana cara Khilafah menata kota terkait kependudukan? Terbukti nyata telah terukir dengan tinta emas, yakni penataan kota Cordoba di wilayah Spanyol. Cordoba mendapat sebutan permata dunia karena keindahan dan kemegahannya yang mengundang decak kagum. Hal ini menandai puncak kejayaan pada masa kekhilafahan  Umayyah, Abd al-Rahman, abad ke-8 Masehi. 

Dalam buku History of the Arabs, Philip K Hiitti, menyebutkan umat Islam membangun Cordoba dengan kemampuan terbaiknya. Pada puncak kejayaannya, Cordoba memiliki 130 ribu unit rumah tinggal, 73 perpustakaan besar, masjid, toko buku, istana, 21 kota satelit, serta jalan-jalan yang mulus sehingga memudahkan akses transportasi bagi warga dan para pedagang.

Wajar, jika Cordoba menjelma menjadi kota metropolitan yang tertata rapi, sebagai pusat ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Alhasil, Cordoba memperoleh popularitas internasional.

Seharusnya, peristiwa kebakaran yang berulang di Depo Plumpang menyadarkan kita. Bahwa semua itu akibat kebijakan yang timpang dan hal itu karena menyimpang dari aturan Allah Swt. Sehingga mengakibatkan banyak nyawa melayang dan mendatangkan kesengsaraan.

Walhasil, hanya negara yang menerapkan syariat secara kafah yang dapat menata kota, kependudukan, menjamin keselamatan, dan menyejahterakan rakyatnya yakni Khilafah. 

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 50, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post