Mungkinkah Indonesia Berdaulat dalam Bidang Riset?


Oleh Yuli Ummu Raihan
Member AMK dan Aktivis Muslimah Tangerang

Dua tahun lebih Indonesia menghadapi serangan virus Corona. Beragam cara telah dilakukan pemerintah, akan tetapi belum mampu untuk mencegah wabah ini kembali menyerang dengan varian terbarunya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menggencarkan vaksinasi terhadap rakyat. 

Eijkman, adalah sebuah Lembaga Biologi Molekuler di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) telah berhasil menemukan vaksin yang diberi nama Merah Putih. Keberhasilan ini adalah sebuah prestasi yang harus didukung penuh oleh pemerintah. Mirisnya, pemerintah justru memberhentikan sejumlah Peneliti Eijkman dan meleburkannya dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Wien Kuaharyo, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman mengatakan bahwa riset terhadap vaksin akan tetap dilanjutkan meskipun puluhan penelitinya diberhentikan. Kabarnya ada 130 saintis dan para staf pendukung kehilangan pekerjaan dalam sehari karena pembubaran Eijkman ini. Hanya sekitar 40 orang yang berstatus PNS yang akan diterima di BRIN. 

Eijkman adalah sebuah lembaga penelitian milik pemerintah yang bertujuan untuk melakukan penelitian dasar dan terapan mengenai Biologi Molekuler di Indonesia. Dikutip dari situs resmi eijkman.go.id, ada beberapa fokus penelitian lembaga ini di antaranya bidang biomedis, keanekaragaman hayati, bioteknologi, biosekuriti dan menerjemahkan hasil penelitian demi kepentingan masyarakat. 

Eijkman diambil dari nama Christiaan Eijkman,  seseorang yang pernah melakukan penelitian terkait penyakit beri-beri pada masa Hindia Belanda. Eijkman adalah keturunan Belanda yang lahir di Kota Nijkern 11 Agustus 1858.

Eijkman berasal dari keluarga terpelajar, ia sendiri lulus sarjana pada tahun 1879 dan menyelesaikan tesis tentang polarisasi saraf sambil bekerja sebagai asisten ahli fisiologi Universitas Amsterdam Profesor T. Place. Eijkman mendapat penugasan ke Hindia Belanda setelah menyelesaikan doktoralnya pada tahun 1883.

Eijkman bersama dua temannya pernah membuat proposal dan disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga dibangunlah Laboratorium Voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie (laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi yang awalnya terletak di kompleks rumah sakit militer Weltevreden sekarang RSPAD Gatot Subroto). 

Eijkman ditunjuk sebagai Kepala Laboratorium tersebut dan Direktur Sekolah Dokter Jawa. Tahun 1983 nama Eijkman diabadikan sebagai nama resmi lembaga. 

Ternyata pada tahun 1960 lembaga laboratorium ini pernah ditutup karena terjadi gejolak politik dan ekonomi di Indonesia. Saat Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi tahun 1990 lembaga ini dibuka kembali dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1995.

Mengutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ternyata pengelolaan Eijkman telah diambil alih oleh BRIN sejak September 2021. Namun, baru diresmikan tanggal 28 Desember 2021.

Adanya peleburan ini tentunya berakibat pada kelanjutan pengembangan riset vaksin Merah Putih. Penelitian seharusnya dilakukan oleh lembaga yang independen. 

Menjadikan sebuah lembaga riset raksasa yang menangani semua riset pemerintahan tentu tidak akan efektif dan tidak strategis. 

BRIN menarik seluruh proses pengkajian dan riset agar searah dan selaras dengan ideologi negara. Komisi Nasional HAM juga diminta mengintegrasikan penelitian dan kajiannya ke BRIN. Sebagai lembaga riset negara BRIN harusnya menjadi regulator dan perumus strategi riset dan inovasi nasional bukan menjadi lembaga riset baru. Seharusnya lembaga-lembaga riset yang sudah ada diatur, diarahkan, dan diberi perlindungan, bukan malah dibubarkan. 

Indonesia butuh ekosistem yang mendukung penelitian dan inovasi, arah yang jelas dan terpadu, pendanaan, dan strategi yang jitu agar mampu berdaulat penuh. Indonesia butuh ekosistem riset yang mendukung perkembangan perekonomian yang berbasis pengetahuan. 

Jangan sampai kesemrawutan tata kelola lembaga riset ini menghambat pengembangan riset-riset penting dan strategis. 

Seperti Kapal Riset Baruna Jaya yang melakukan pemeliharaan alat pendeteksi tsunami setiap delapan bulan sekali yang juga mengalami pemutusan hubungan kerja 33 anak buah kapalnya. 

Guru Besar IPB Didin S. Damanhuri menilai bahwa peleburan LBM Eijkman ini adalah gejala hilangnya kedaulatan nasional negara. Karena ini akan merugikan negara yang tidak mampu menghargai kerja para ilmuwan. (warta ekonomi.co.id, 07/01/2022).

Permasalahan riset ini menurut Kepala Subdirektorat Valuasi dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual, Kementerian Riset dan Teknologi Juldin Bahriansyah adalah manajemen dan anggaran riset. Riset selalu diwajibkan untuk menggandeng mitra industri agar lebih implementatif. Ujungnya hasil riset akan dikembangkan menjadi bisnis startup. 

Industri menjadi penentu arah riset hari ini yang fokusnya pada keuntungan materi, bukan lagi kemaslahatan rakyat. 

Sebelumnya kita sudah menyaksikan orang-orang yang melakukan penelitian atau menemukan suatu metode tertentu, ketika tidak memiliki nilai ekonomi maka tidak akan berlanjut. Atau ketika penelitian dan penemuan itu mengusik kepentingan kapitalis maka akan tenggelam. Akhirnya para peneliti dan intelektual hanya jadi alat pencetak uang bagi dunia industri yang hanya dibalas dengan perlindungan kekayaan intelektualnya melalui HAKI. 

Rasanya mustahil Indonesia bisa berdaulat dalam bidang riset, karena masih dicengkeram oleh sistem kapitalis sekuler. Indonesia hanya akan bisa berdaulat dalam riset jika memiliki aturan yang menjadikan kepentingan umat dan rida Allah sebagai tujuan utama. Bukan kepentingan kapitalis. 

Indonesia hanya akan bisa berdaulat dalam bidang riset saat tidak lagi diatur oleh pihak asing dengan berbagai kepentingannya. 

Semua ini hanya bisa terwujud jika Indonesia mau menerapkan Islam secara kafah dalam semua bidang. Islam adalah agama yang sempurna, ia telah mengatur agar kedaulatan riset dapat terwujud yaitu di antaranya:

Pertama, mewajibkan setiap orang untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu yang dibutuhkan oleh setiap individu hukumnya fardhu Ain. Sementara ilmu lain adalah fardhu kifayah termasuk melakukan riset ini. Bagi mereka yang memiliki kemampuan diarahkan menuntut ilmu, sementara yang lain mendukung untuk proses pencarian ilmu tersebut dengan sedekah jariah berupa biaya sekolah, kebutuhan pendidikan seperti bangunan sekolah, perpustakaan, laboratorium dan lainnya. Semua ini dilakukan agar kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi dapat terwujud yang akan berimbas pada kemajuan bangsa. 

Kedua, riset dilakukan untuk mencari solusi permasalahan manusia yang terus berganti di setiap waktu. Semua dilakukan untuk memajukan peradaban. Tinta emas peradaban Islam telah terukir jelas dan nyata dalam berbagai bidang ilmu seperti astronomi, fisika, kimia, kedokteran, pertanian dan lainnya. Ilmuwan muslimlah yang menjadi pelopor berbagai perkembangan ilmu dan teknologi hari ini. Semua itu dilakukan bukan sekadar untuk materi semata, tapi lebih pada menyelesaikan masalah keumatan. 

Ketiga, Negara Islam hadir untuk melayani rakyatnya. Semua kebutuhan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Negara harus menjamin semua kebutuhan dasar rakyat dan memudahkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Semua itu tentunya membutuhkan regulasi dan dana. Maka negara Islam akan mempermudah regulasi, menyiapkan anggaran agar segala upaya pemenuhan kebutuhan rakyat dapat dilakukan secara optimal. Negara akan mendukung penuh riset dengan dana, fasilitas, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia terutama para ilmuwan. Sehingga para ilmuwan akan fokus pada riset mereka tanpa perlu memikirkan dana dan cara memproduksi hasil riset mereka secara masif. 

Kedaulatan riset ini hanya akan terwujud jika penerapan Islam dilakukan secara kafah di negeri ini. Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post