Klaim Penurunan Deforestasi, Nyata atau Data Semata?


Oleh: Ummu Uwais  (Aktivis Muslimah)


Memasuki akhir tahun 2021, masyarakat terus disuguhi berita seputar banjir dan tanah longsor dari beberapa wilayah di tanah air. Hampir seluruh wilayah Kalimantan diterjang dan terkepung banjir. Begitu pun daerah daerah lain masih menjadi kawasan langganan banjir ketika musim hujan.


Terkait penyebab banjir, hal ini memicu perdebatan dari berbagai pihak. Sebut saja terkait banjir di Kalimantan, peneliti klimatologi dalam Tim Reaksi dan Analisis Kebencanaan (TReAK) Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Erma Yuliastin menjelaskan bahwa suplai kelembapan yang tinggi yang terkonsentrasi akibat penjalaran gelombang Kelvin dari barat yang bertemu dengan Rossby dari timur sehingga berkontribusi terhadap peningkatan intensitas curah hujan di wilayah Kalimantan. (Antara, 10 September 2021)


Sedangkan terkait banjir bandang yang terjadi di Kota Batu Malang Jawa Timur, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan survei udara di sepanjang hulu dan hilir terdampak bencana banjir bandan. Hasil survei menunjukkan lahan kritis akibat alih fungsi lahan jadi penyebab bencana alam tersebut. (Liputan6.com, 7 November 2021)


Namun hasil survei tersebut berlawanan dengan pernyataan presiden Jokowi di acara perhelatan KTT COP26 Perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia.  Presiden Jokowi justru menyampaikan pencapaian Indonesia di bidang kehutanan dalam beberapa tahun belakangan. Beliau membahas laju deforestasi hingga rehabilitasi mangrove. Jokowi menyebutkan, penurunan laju deforestasi menjadi yang paling rendah dalam 20 tahun terakhir. Sementara itu, kebakaran hutan di Indonesia mengalami penurunan hingga 82 persen pada 2020.


Pidato tersebut pun menuai kritik dari aktivis Greenpeace dengan menyatakan bahwa apa yang disampaikan Presiden Jokowi tersebut hanya omong kosong (CNN Indonesia, 3 November 2021). Greenpeace menilai klaim yang disampaikan presiden merupakan data yang diambil sebagian atau “cherry picking” yang artinya tidak mewakili kondisi dan situasi di Indonesia seutuhnya. Aktivitas kritik tersebut berbuntut pada pelaporan dua petinggi Greenpeace oleh ketua cyber Indonesia Husinn Shahab dengan dugaan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian atas nama golongan. Dia menyebut data terkait deforestasi tidak sesuai dengan data selama Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). (JPNN.com, 14 November 2021)


Tidak terima atas tuntutan Husin Shihab tersebut, pihak Greenpeace menyatakan siap beradu data secara terbuka untuk membuktikan validitas data lembaga mereka. (Tempo, 15 November 2021). Namun alih-alih menerima tantangan pihak Greenpeace, Husin shihab justru mencabut kembali laporan polisinya kepada Greenpeace Indonesia dengan alasan khawatir dipolitisi dan dicap antikritik. (Detiknews, 15 November 2021)


Klaim data yang dilakukan oleh LSM Greenpeace Indonesia dan pemerintah menunjukan adanya “ketidaksinkronan data” diantara kedua kubu. Rakyat sebagai obyek berita hanya bisa menanti hasil nyata atas regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai penanggung jawab. Terlepas apakah data yang diklaim itu benar atau tidak.


Rakyat tidak butuh “otak atik data” tapi perlindungan yang nyata dari regulasi yang menentramkan jiwa. Hanya saja pemerintah saat ini beranggapan bahwa hujan adalah sumber bencana, karena berdampak banjir atau pun tanah longsor. Padahal Al-Quran Yang difirmankan oleh Pencinta Alam ini menyatakan bahwa hujan adalah rahmat yang Allah SWT turunkan bagi seluruh makhluk-Nya di muka bumi.


“Dialah (Allah) yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, agar kami member minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”{Al-Furqon: 48-49}


Dengan diterapkan system kapitalis maka regulasi yang dibuat pun tidak memperhatikan aturan sang Pencipta Alam. Bahkan jauh dari tujuan kemaslahatan umat. Segalanya berputar pada kepentingan para kapital. Sebut saja deforestasi yang menggundang bencana, pembangunan kapitalistik, tata ruang kapitalistik ataupun regulasi terkait aturan kepemilikan hutan sebagai sumber kemaslahatan bagi ummat.


Aturan Islam Terkait Deforestasi
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur segala sisi kehidupan, termasuk soal lingkungan. Kerusakan alam yang terjadi bukan semata-mata karena faktor alam saja yakni curah hujan yang tinggi, namun karena ulah tangan manusia dan pembangunan kapitalistik yang berputar pada untung tanpa memperhatikan aspek kerusakan lingkungan.

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)


Penjagaan lingkungan oleh Islam termaktub dalam kebijakan yang terintegrasi yakni:
1. Pemimpin dan masyarakat yang bertaqwa
2. Regulasi yang ramah lingkungan
3.Pembangunan habit atas kebersihan lingkungan
4. Sistem sanksi yang tegas bagi para pelaku perusak lingkungan

Penjagaan tersebut hanya bisa dilakukan jika pemerintah menjadikan Al-Quran dan Assunah sebagi sumber hukum dalam menetapkan regulasinya. Tentu saja hal ini hanya bisa dilakukan dalam Negara yang berbingkai Syariat islam. Wallahu'alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post