Perampasan Potensi Santri




Oleh Qia Sholihah 
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Pemerintah telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan Hari Santri berdasarkan peran santri dalam penegakan kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya setelah munculnya Fatwa (Resolusi) Jihad dari KH Hasyim Asy’ari. 

Meski penetapan Hari Santri mendapatkan keberatan dari beberapa pihak. Kontroversi ini dapat kita lihat dari pendapat ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurut Haedar, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Haedar juga menganggap Hari Santri dapat menambah kesenjangan yang berpotensi menganggu ukhuwah umat Islam.

Hal lain yang sangat tidak sejalan dengan cita-cita Islam. Karena sejatinya para santri adalah seorang penuntut ilmu, yang diharapkan ilmunya bermanfaat untuk umat dengan dakwahnya. Namun justru dianggap sebagai mesin penggerak ekonomi.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan, santri berperan besar dalam menggerakkan ekonomi desa.  

“Secara kultural pesantren dan desa seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sebagian besar pesantren-pesantren berada di tengah-tengah desa. Para kiai pesantren merupakan rujukan utama warga desa jika mereka membutuhkan pandangan terkait masalah spiritual dan sosial. Dewasa ini, pesantren juga menjadi penggerak ekonomi desa,” ujar Abdul Halim Iskandar, pada peringatan Hari Santri Nasional 2021, Jumat (22/10/2021).

Dia menjelaskan, secara spiritual, pesantren menjadi pusat kegiatan-kegiatan keagamaan. Sedang makna sosial pesantren melahirkan tokoh-tokoh agama yang berperan penting ditengah masyarakat. 


“Kalau mau jujur harus diakui jika salah satu kunci kemajuan desa terletak pada peran aktif kiai maupun santri yang bisa bersinergi dengan masyarakat desa. Jika sinergi ini bisa terus dipertahankan maka kemajuan desa segera direalisasikan,” katanya.

Sudah seharusnya para santri kembali ke qittahnya. Tidak  fokus pada duniawi atau pun mengekslusifkan diri di tengah masyarakat.
Buya Hamka pernah mengritik pengkotak-kotakan seperti ini dalam tulisannya di Majalah Panji Masyarakat tahun 1976. Dalam tulisan berjudul ‘Mutihan dan Abangan’ itu, Buya menyatakan bahwa, “Yang anehnya ialah bahwa yang dipotong-potong dan dikeping-keping dijadikan sebagian jadi abangan dan sebagian jadi mutihan itu menerima saja pula mereka dibagi-bagikan. Kalau kiranya golongan yang disebut abangan itu senang dikatakan demikian, tidaklah selayaknya yang disebut mutihan itu mengakui pula dirinya memang mutihan dan bangga dengan itu.

 Padahal barang siapa yang telah mengakui Allah itu Esa, tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah sudahlah orang itu Islam. Bahkan dengan tegas dikatakan oleh Nabi, “Shallu’ala man qaala laa ilaaha illallah.” (Sembahyangkan jenazah orang yang mengatakan tiada Tuhan melainkan Allah). Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka kedua belah pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh dari Islam dengan sadar atau tidak sadar.” 

Kritik Buya tersebut memang tepat. Secara tak sadar kita saling menyekat-nyekat antar saudara kita sendiri sesama Muslim. Penelitian Geertz soal trikotomi tersebut memang memanen kritik dari berbagai pihak. Namun jika kita berbicara persoalan saat ini mengenai Hari Santri, apakah hal tersebut berarti kita membenarkan pengkotak-kotakan seperti ‘teori’ Geertz? Soal istilah santri (‘mutihan’ dalam istilah Buya Hamka) menjadi persoalan, jika kita menghadap-hadapkan santri dengan abangan. Namun jika tidak dihadapkan dengan abangan (atau non-santri), istilah tersebut nampaknya bukan masalah. 

Buya Hamka tidak antipati dengan istilah santri. Istilah santri sendiri sejatinya sudah jauh hadir dalam masyarakat sebelum munculnya penelitian Geertz, seiring berdirinya pesantren di masyarakat.

Kita pun tak dapat menafikan kehadiran serta kontribusi santri untuk masyarakat dan Indonesia. Oleh karena itu pemaknaan Hari Santri tidak seyogianya kita hadap-hadapkan dengan abangan. Ketika kita menghadapkan pemaknaan Hari Santri dengan ‘Abangan’ (non-santri) maka secara tak sadar kita sedang terbelenggu dalam bingkai pemikiran seperti yang dibangun oleh Geertz.

Memaknai santri (dan pesantren) hendaknya dipahami secara luas. Tidak terkerangkeng oleh pembagian-pembagian yang terjadi dimasyarakat, seperti ‘tradisionalis – modernis’. Ataupun mengaitkan istilah santri (dan pesantren) hanya kepada ormas atau kelompok tertentu, yang malah bisa berpotensi menganggu ukhuwah Islamiyah. Karena sejatinya pesantren adalah harta tak ternilai milik umat Islam yang sejarahnya bisa ditelusuri hingga ratusan tahun, jauh sebelum organisasi Islam bermunculan di awal abad ke 20. 

Dalam pertumbuhannya, pesantren ada yang berafiliasi kepada salah satu organisasi, seperti Nadhlatul Ulama, ada pula yang tidak, seperti Gontor. Maka pesantren (dan santrinya) adalah salah satu mutiara milik Muslim Indonesia.

Landasan Hari Santri 22 Oktober tentu tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah yaitu Fatwa Jihad yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy’ari dan para kiyai Nadhlatul Ulama. Fatwa (Resolusi) ini mendidihkan dan membakar perlawanan umat Islam khususnya para santri dalam melawan penjajahan. Fatwa Jihad menjadi bukti berakarnya ajaran Jihad dalam Islam sebagai pondasi berdirinya Indonesia. Di tengah stigma negatif yang acapkali ditimpakan oleh banyak media (sekuler, terutama Barat) kepada ajaran Jihad dalam Islam, Hari Santri menjadi bentuk pencerahan pada masyarakat saat ini dan generasi mendatang akan pentingnya ajaran Jihad dalam Islam menjadi salah satu pilar dalam perjuangan meraih kemerdekaan Republik Indonesia.

Hal lain yang tercermin dari Fatwa Jihad adalah seruan untuk berjuang di jalan Allah (sabilillah) tersebut tidak khusus bagi santri saja. Namun mencakup seluruh lapisan umat Islam saat itu. Inilah salah satu makna penting Hari santri, yaitu, memaknai peringatan resolusi jihad yang digelorakan ulama bagi seluruh umat Islam, bukan golongan tertentu sebagai tanggung jawab memikul perjuangan bersama-sama.

Peringatan Hari Santri meski dilandasi oleh suatu fakta historis, namun dalam memaknainya bagi generasi saat ini, dapat dimaknai secara luas sebagai penghargaan kepada pesantren dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pemaknaan seperti ini membuat pemaknaan peringatan Hari Santri menjadi lebih luas. Pesantren merupakan salah satu kontribusi besar umat Islam dalam mendidik rakyat Indonesia. M. Natsir, salah seorang tokoh Masyumi, yang bukan berlatar belakang pesantren mengakui betapa besarnya peranan pesantren bagi Indonesia.

Demikianlah, bila saat ini diorientasikan menggerakkan ekonomi dg program kewirausahaan, maka ini akan merampas potensi santri.

Karena semestinya dari kalangan santri dan ulama diharapkan lahir gelombang perubahan untuk menentang segala bentuk penjajahan berdasarkan tuntunan Islam. Maka menurut tuntunan syariat, kondisi buruk ekonomi bangsa sepatutnya diubah dengan penggantian sistem politik dan ekonomi kapitalisme menuju Islam.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post