Gaji DPR Begitu Besar, Apakah Wajar?


Oleh Jasli La Jate
(Pegiat Literasi dan Penulis Bela Islam) 

Wakil rakyat kembali menjadi sorotan. Bukan karena sedang memperjuangkan nasib rakyat sebagaimana tugas mereka di kursi kekuasaan. Tetapi gajinya ternyata begitu fantastis. Hal ini diketahui setelah salah satu anggota DPR RI yang sekaligus penyanyi, Krisdayanti blak-blakan soal gaji yang diterimanya setiap bulan. 

Hal itu diungkapkan dalam video salah satu youtuber Indonesia, Akbar Faizal, bertajuk "NEKAT! KRISDAYANTI BERANI BICARA POLITIK DISINI! | AF UNCENSORED" 

Setiap tanggal 1 dapat 16 juta. Lima hari kemudian yakni Tanggal 5, uang masuk 59 juta. Uang ini adalah gaji pokok dan tunjangan. Ada lagi dana aspirasi 450 juta, lima kali dalam setahun. Uang kunjungan dapil sekitar 140 juta, delapan kali dalam setahun. Belakangan ada klarifikasi bahwa 450 juta itu bukan masuk ke kantong pribadi melainkan untuk kegiatan reses menyerap aspirasi rakyat. (kompas.com, 16/9/2021) 

Gaji yang begitu fantastis. Namun jika dibandingkan dengan kinerja dan produktivitasnya sangat tidak sebanding. Apalagi pada masa sekarang ini, akibat pandemi sebagian rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. PHK dimana-mana. Mencari pekerjaan susah. Jika pun ada, gajinya tak seberapa. 

Sangat berbeda dengan para wakil rakyat ini. Sekalipun hanya di rumah saja, gaji jalan terus. Tunjangan, fasilitas terpenuhi. Bahkan gaji pensiun pun juga disediakan. Mereka yang katanya mewakili rakyat, menampung aspirasi. Nyatanya saat rapat, banyak yang tidur dan absen. Ketika ada UU yang isinya banyak menguntungkan kapitalis mau disahkan kemana mereka. Sungguh gaji yang tidak wajar. 

Dari sini tak heran, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus berpandangan, jumlah gaji yang diterima anggota dewan belum sebanding dengan kinerja yang mereka hasilkan.

Buruknya kinerja DPR bisa dilihat dari sedikitnya rancangan Undang-undang yang dapat disahkan oleh DPR. Dua tahun masa jabatan, baru 4 RUU prioritas yang dapat disahkan. 

Selain itu, di bidang anggaran, prioritas bagi rakyat seolah tak terdengar. Di bidang pengawasan, DPR seolah tenggelam dengan gerak cepat pemerintah. Rendahnya kinerja juga DPR menggambarkan hanya sedikit aspirasi masyarakat yang diperjuangkan. 

Sungguh gaji yang begitu besar namun hasil tidak begitu dirasakan masyarakat. Salah satu buktinya ketika UU omnibus law mau disahkan. Rakyat berteriak agar jangan disahkan. Nyatanya, DPR tetap ngotot mengesahkan. Padahal mereka diangkat dan digaji dari uang rakyat. Inikah yang dikatakan wakil rakyat? 

Inilah gambaran pemimpin yang lahir dalam demokrasi. Sistem yang hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perah. Berbagai bentuk pajak yang terus dibebankan kepada rakyat. Katanya untuk kepentingan rakyat, nyatanya sebagian besar hanya dinikmati segelintir pejabat. 

Demokrasi memang berbiaya mahal. Untuk masuk mendapatkan kursi butuh puluhan bahkan milyaran juta. Tak heran, ketika menjabat, bukan yang dipikirkan rakyat namun bagaimana mengembalikan modal. Sehingga aspirasi rakyat banyak yang tidak didengar dan diperjuangkan. Sungguh disayangkan. Padahal gaji untuk aspirasi begitu fantastis. Namun sangat tidak dirasakan oleh masyarakat. 

Tentu hal ini sangat berbeda dengan pemimpin Islam. Dalam Islam, untuk memilih pemimpin tidak membutuhkan biaya. Bahkan masa penyampain visi misi hanya berlaku tiga hari. Sehingga dari sini, meminimalisir penggunaan uang jika ada. 

Selain itu, motif untuk menjadi pejabat semata-mata atas dorongan takwa. Artinya ketika menjabat akan melaksanakan tugas dengan baik. Melakukan periayahan dengan maksimal. Sebab mereka tahu jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat. 

Inilah perbedaan pejabat dalam sistem demokrasi dan Islam. Dalam demokrasi, pejabat untuk memperkaya dirinya. Sedangkan dalam Islam, bagaimana agar pejabat bisa menjalankan tugasnya sesuai syariat. 
Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post