Ketimpangan Ekonomi Di Masa Pandemi, Apa Penyebabnya?


Oleh : Ine Wulansari
Pendidik Generasi dan Pegiat Dakwah

Wacana mengenai kemiskinan dan ketimpangan selalu menjadi perbincangan menarik untuk dibahas. Terlebih di masa pandemi saat ini, bukan hanya si miskin yang angkanya bertambah, si kaya pun melonjak tajam jumlahnya. 

Berdasarkan penelitian Credit Suisse, ditemukan jumlah miliarder meningkat sebanyak 5,2 juta orang. Menurut data tersebut, total milliarder di dunia saat ini berjumlah 56,1 juta orang, lebih dari 1 persen merupakan milliarder baru. (BBC, Rabu 23 Juni 2021)

Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, dapat kita indera tak serta merta menjadikan negaranya kaya dan rakyatnya sejahtera. Kemiskinan dan ketimpangan seakan menjadi pekerjaan rumah yang panjang dan tak kunjung usai.

Melansir data lembaga keuangan Credit Suisse, yang merupakan salah satu bank investasi dan manajemen investasi terkemuka di dunia yang berasal dari Swiss. Di Indonesia jumlah penduduk dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih mencapai 171. 740 orang pada tahun 2020. Angka tersebut melonjak 61,69 persen year on year (yoy) dari tahun sebelumnya, 2019 sebesar 106.215. Adapun jumlah orang sangat kaya dengan kekayaan bersih 100 juta dollar AS mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun lalu. (Kompas.com, 13 Juli 2021)

Jumlah orang kaya di Indonesia setara dengan 0,1 persen populasi, dibandingkan dengan total 270 penduduk. (katadata.co.id, 27 Juli 2021). Sedangkan jumlah orang miskin bertambah menjadi 10,14 persen atau 27,54 juta pada Maret 2021 menurut catatan BPS (Badan Pusat Statistik).

Merujuk pada BPS, orang miskin adalah penduduk dengan pendapatan kurang dari Rp454.652 perbulan. Artinya penduduk dengan pendapatan di atas Rp500 ribu tidak terkategori miskin. Padahal kita ketahui, harga bahan pangan dan nonpangan melambung tinggi. Apalagi di masa pandemi yang serba sulit sekarang ini.

Kepala Investasi Credit Suisse, Nannette Hechler-Fayd’herbe mengatakan fenomena bertambahnya orang kaya di masa pandemi terjadi karena adanya penurunan suku bunga yang dilakukan bank-bank sentral di seluruh dunia. Dengan adanya penurunan suku bunga ini, dapat membantu peningkatan saham dan harga rumah. Inilah penyebab utama sejumlah orang di saat pandemi dapat meraup untung.

Maka tak heran, selama pandemi berlangsung si kaya kian kaya dan si miskin kian miskin. Sejumlah orang kaya yang memiliki aset mengalami peningkatan kekayaan, sedang bagi yang tidak mempunyai aset harus berjuang melawan himpitan ekonomi berkepanjangan.  (Detik.com, 23 Juni 2021)

Sungguh ketimpangan ini menjadikan si miskin semakin tak berdaya. Para pekerja buruh murah di PHK, dan UMKM banyak yang semaput, sehingga menyebabkan penghasilan mereka pun tak ada. Ditambah dengan kebijakan yang menyulitkan pelaku UMKM untuk mengais rezeki. Sehingga menciptakan angka kemiskinan yang tak terkendali. 

Karut marut ketimpangan yang kita saksikan saat ini, yang menjadikan kesempatan bagi si kaya meraup untung di masa sulit, tak bisa dilepaskan dari sistem perekonomian yang hanya memihak mereka. Sistem ekonomi kapitalisme dengan basis riba, menyebabkan kekayaan menumpuk hanya dengan penurunan suku bunga semata. 

Kebijakan yang diterapkan pun ada campur tangan korporasi multinasional melalui jebakan utang negara makmur kepada negara berkembang. Menjadi kewajaran dalam kondisi defisit anggaran pun, insentif perpajakan bagi pengusaha terus dilakukan. Berbeda perlakuan kepada si miskin, prosedur pasar bebas yang merupakan tubuh sistem ekonomi kapitalisme menjadikan uang sebagai alat pengendali distribusi barang dan jasa. Artinya, siapa yang mempunyai uang ia-lah yang berkuasa, yang mampu mengakses segala kebutuhan. Sedangkan si miskin dengan segala keterbatasannya, harus rela kebutuhannya tak terpenuhi sebab tak memiliki uang.

Prosedur pasar bebas pula yang meniadakan peran negara dalam mengurusi rakyatnya. Negara menyerahkan urusan dalam pemenuhan kebutuhan kepada pihak swasta. Hasilnya, pelayanan ditentukan sesuai dengan harga yang dibayarkan. Oleh sebab itu, dapat kita temukan pelayanan kesehatan yang minim bagi orang miskin. 

Dogma kapitalisme lainnya adalah subsidi untuk rakyat dijadikan beban negara, namun di sisi lain pajak yang menjerat rakyat justru menjadi tumpuan dalam menjalankan roda perekonomian. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme. Kemiskinan yang merajalela dan ketimpangan yang sangat tinggi, akan melahirkan problem sosial yang begitu besar. Angka kemiskinan yang tinggi, akan menghasilkan kelaparan. Akibatnya orang dapat melakukan tindakan kriminalitas untuk memenuhi kebutuhannya. Hal demikian justru membuat masyarakat menjadi resah. Walhasil, masalah kian menumpuk tanpa solusi yang pasti.

Sangat berbeda dengan Islam dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Islam memiliki aturan yang sempurna dan paripurna, termasuk dalam menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dalam pandangan Islam, yang menjadi penyebab ketimpangan adalah buruknya perputaran kekayaan. Sedangkan perputaran kekayaan tak lepas dari peran pemerintah sebagai sentral yang menjadi kunci terselesaikannya permasalahan ini. Pemerintahlah yang menjadi penanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan umat. 

Kriteria miskin dalam Islam bukan berdasar pada hitungan rata-rata, melainkan dihitung satu persatu kepala. Apakah kebutuhan primernya seperti sandang, pangan, dan papan sudah tercukupi. Kepala keluarga sebagai pihak yang mencari nafkah, akan diberi kemudahkan dan difasilitasi dalam bekerja. Baik itu akses modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan pekerjaan.

Apabila kepala keluarga tidak mampu dalam mencari nafkah, maka kerabatnya wajib membantu. Dengan adanya pendataan yang baik, disertai perangkat pemerintah yang amanah, maka pelaksanaan sensus akan berjalan dengan baik pula. Seandainya seluruh kerabat tak mampu mencari nafkah dalam pemenuhan kebutuhan, maka akan ditanggung pemerintah melalui kas negara (Baitulmal).

Anggaran yang digunakan untuk menanggung pemenuhan kebutuhan individu yang tidak mampu, akan diambil dari pos zakat. Jika tidak mencukupi, maka negara wajib mencari dari pos lainnya di Baitulmal. Namun, apabila pos lainnya pun kosong, kewajiban menafkahi orang tidak mampu beralih kepada kaum muslim secara kolektif.

Teknis yang dilakukan dengan dua cara yakni, pertama secara langsung dengan memberi bantuan pada orang miskin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

“Tidaklah beriman kepada-Ku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)

Kedua, melalui skema dharibah (pungutan insidental) kepada laki-laki muslim yang kaya, hingga kebutuhan umat terpenuhi. Firman Allah Swt.:

“Dan pada harta benda mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.”(TQS Az-Zaryat : 19)

Dengan demikian, kemiskinan akan teratasi dan ketimpangan tak akan terjadi. Dalam masyarakat Islam, orang kaya akan bahu-membahu saling membantu rakyat miskin agar kebutuhan terpenuhi. Sehingga, dalam kondisi pandemi kelebihan harta si kaya akan mengalir pada masyarakat miskin.

Negara pun sebagai pihak pusat, disertai data yang akurat dan para pejabat yang amanah, akan mampu menghimpun dana dari para orang kaya. Apabila Baitulmal defisit. Sehingga, tak akan berhutang apalagi pada negara kafir harbi fi’lan yang jelas banyak memudaratkan.

Dalam sistem ekonomi Islam, mekanisme kepemilikan sumber daya alam haram dikuasai asing. Sehingga, akan menjadikan kas negara yang kuat dan stabil. Oleh karena itu, di masa pandemi negara dalam kepemimpinan Islam akan fokus pada penyelamatan nyawa manusia, tanpa dipusingkan dengan dana yang terbatas. Walhasil, pandemi akan segera terselesaikan dan masyarakat akan kembali pada kehidupan yang normal. 

Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post