Indonesia Menjadi Episentrum COVID-19 Global?


Binti Masruroh, S.Pd

Lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia masih belum terkendali. Kebijakan PPKM darurat Jawa Bali yang sudah berjalan dua minggu yakni sejak 3 Juli lalu ternyata belum mampu menahan laju kasus COVID-19. Pemerintahpun memperpanjang PPKM darurat hingga akhir Juli 2021. 

Kementerian Kesehatan menyebutkan pada Kamis (15/7/2021) hingga pukul 12:00 WIB tercatat jumlah tambahan tertinggi kasus COVID-19 baru sebanyak 56.757 orang. Angka ini menjadikan Indonesia menempati nomer wahid pertambahan harian kasus Covid-19. Melebihi kasus di India dengan angka 38.11 (CNBC Indonesia, 16/07/21).

Sejumlah media asing ramai memberitakan Indonesia sebagai Episentrum COVID-19. Seperti yang yang dimuat surat kabar Amerika Serikat yaitu The New York Times berjudul The Pandemic Has a New Epicenter: Indonesia. Menurut mereka catatan infeksi harian COVID-19 dan kasus kematian di Indonesia melebihi India dan Brazil (detik.news, 19/07/21). 

Beberapa media asing seperti portal berita Nikkei Asia, Bloomberg, hingga ABC News dari Australia, turut melaporkan isu serupa di mana Indonesia diprediksi akan menjadi episentrum penularan corona di dunia jika lonjakan COVID-19 harian tidak segera menurun (CNN Indonesia, 19/07/21).

Sejumlah negara seperti Singapura, Hongkong, Filipina, Arab Saudi, Uni Emitar Arab mengambil kebijakan untuk menutup akses perjalanan dari Indonesia. Sejumlah negara juga berencana mengevakuasi warganya dari Indonesia.

Direktur Pencegahan dan Pengendaliah Penyakit Menular Langsung (P2PML) menyangkal penilaian Indonesia sebagai Episentrum COVID-19 dunia. Pasalnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak pernah mengungkap suatu negara menjadi episentrum COVID-19. Dr. Siti Nadia Tarmizi menyebut pernyataan tersebut keliru dan tidak berdasar (detiknews, 20/07/2021).


Indonesia tengah menanggung dampak karena tidak menerapkan penguncian wilayah atau lockdown lebih awal. Sejak awal kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi ini terkesan tidak konsisten. Ketika rakyat dilarang mudik pada hari raya idul fitri, sedangkan tempat wisata tetap dibuka. Ketika penerapan PPKM darurat, TKA masih bisa masuk Indonesia padahal terbukti kasus sebaran varian baru COVID-19 adalah kasus yang diimpor dan didapatkan dari mobilitas orang dan perjalanan internasional. Ketika tempat-tempat ibadah ditutup proyek-proyek tetap jalan terus. Penanganan pandemi tetap mengedepankan sektor ekonomi. 

Pemerintah tidak mengambil kebijakan lockdown karena dengan kebijakan ini pemerintah harus menanggung seluruh kebutuhan rakyat di wilayah yang dilockdown. Kondisi seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem kapitalis. Negara tidak memiliki dana untuk itu. Karena Sumber Daya Alam milik rakyat yang melimpah, yang seharusnya digunakan sebagai sumber strategis pendapatan negara, kini dirampas dan dikuasai segelintir kapitalis asing maupun domestik untuk kepentingan pribadi.

Bagaimana Islam menangani pandemi?

Islam sebagai agama sempunan yang di turunkan Dzat yang Maha Sempurna yaitu Allah SWT, tentu memiliki aturan yang sempurna pula untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi manusia termasuk menangani pandemi. Dalam masalah pandemi berlaku hukum karantina wilayah atau lokdown, untuk memisahkan antara yang sakit dan yang sehat. Sebagaimana sabda Radulullah SAW 

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Di daerah yang tidak terkena wabah, rakyat tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Di daerah yang terkena wabah bagi orang yang sakit akan dilakukan upaya penyembuhan secara maksimal, tanpa dipungut biaya. Sedangkan mereka yang sehat tapi berada di area wabah, mereka akan ditanggung seluruh kebutuhan pokoknya oleh pemerintah sampai berakhirnya wabah. Sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk keluar bekerja guna mencari makan, kalau tidak bekerja mau makan apa, seperti saat ini.

Semua pembiayaan di daerah yang terkena wabah atau diisolasi diambilkan dari kas keuangan negara berupa Baitul Mal. Baitul Mal memiliki sumber pemasukan yang melimpah, antara laih dari harta negara yang bersumber harta fai’ khoroj,usyur, jijyah, juga dari harta kepemilikan umum yang jumlahnya sangat banyak seperti hutan yang sangat luas, lautan yang sangat luas dan kekayaan yang ada di dalamnya, seperti aneka macam tambang (emas, batu bara, minyak, gas, dll). Harta kepemilikan umum ini dalam sistem Islam wajib dikelola secara mandiri oleh negara, tidak boleh diserahkan pada swasta apalagi asing. Kalau memperkerjakan orang asing diperbolehkan dengan akat Ijarah. Hasil pengelolaan harta kepemilikan umum ini akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Sehingga meski dalam kondisi pandemi negara tetap tidak kekurangan dana mengurus kebutuhan dasar seluruh rakyatnya.

Dengan menerapkan hukum Islam dalam menangani masalah pandemi yaitu dengan melakukan karantina wilayah atau lockdown ,yang disertai dengan penerapan sistem ekonomi Islam dan sistem Islam secara kaffah maka dalam waktu singkat pandemi akan segera berakhir. Sebagaimana wabah Thoun Amwas yang pernah terjadi pada mada Khalifah Umar bin Khattab ra.

Wallahu a’lam bish-showab

Post a Comment

Previous Post Next Post