Rezim Neoliberal Gagal Menangani Pemenuhan Pangan?

Oleh : Erni Ummu Arjuna Atallah 
(Pejuang Literasi Ideologis)

Perum Bulog berencana akan membuang 20 ribu ton cadangan beras yang berasal dari stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang sudah tersimpan lebih dari setahun. Beras yang tersimpan tersebut sudah mengalami penurunan mutu, rusak dan tidak layak dikonsumsi. Akibatnya diduga menimbulkan kerugian mencapai Rp 160 milyar (www.cnnindonesia.com, 29/11/2019).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Beras CBP harus dibuang apabila telah melampaui batas waktu simpan paling sedikit 4 bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu (www.cnnindonesia.com, 29/11/2019).

Sementara itu, laporan yang dirilis ADB dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045' menyebutkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan kronis. Ironisnya, kelaparan ini justru menimpa buruh tani karena mendapat upah rendah dan produktivitas yang juga rendah (www.cnnindonesia.com, 9/12/2019).

Data Kementerian Pertanian juga menyatakan terdapat 88 daerah  kabupaten kota yang berada pada kondisi rawan pangan diantaranya karena akses yang rendah terhadap pangan. Sedang hasil riset Global Hunger Index (GHI) yang dikeluarkan oleh Concern Worldwide dan Welthungerhilfe baru-baru ini melaporkan meskipun sedikit membaik, namun indeks kelaparan Indonesia berada dalam kategori serius dengan skor 20,1 (www.kompas.com, 3/12/2019).

Hal ini menunjukkan ketahanan pangan di Indonesia masih bermasalah dengan banyaknya rakyat yang jauh dari jaminan pemenuhan pangan. Bahkan keadaan riilnya bisa jadi jauh lebih buruk daripada yang diungkap data. Ditengah kondisi yang memprihatinkan ini, negara justru berpikir untuk membuang beras tersebut, disaat rakyatnya masih banyak yg menderita kelaparan.

Mati Fungsinya Bulog Akibat Rezim Neoliberal 

Bulog telah mati fungsi sebagai pelayan rakyat dan lebih mengedepankan keuntungan daripada menjamin pemenuhan pangan rakyat. Ditambah pula kendali importir (mafia) beras dengan dikeluarkannya kebijakan impor yang sejatinya tidak dibutuhkan.

Ada beberapa faktor yg menyebabkan pemerintah mengimpor beras, yaitu: 
Pertama, kepentingan pihak-pihak tertentu seperti importir beras atau brokernya untuk mendapat keuntungan ekonomi. Seperti yang beredar di media, betapa besarnya keuntungan yang didapat dari impor. Keuntungan yang menggiurkan inilah yang mendorong importir untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan izin impor. Ditambah pula karakter penguasa yang juga ingin mendapat untung makin memuluskan keinginan para importir. 

Kedua, ketergantungan Indonesia pada impor juga disebabkan tekanan WTO yang menekan setiap negara untuk membuka pasarnya bagi produk luar. Kebijakan pasar bebas yang diikuti oleh Indonesia karena keanggotaanya di WTO juga memaksa untuk menerima produk luar meskipun di dalam negeri produksinya mencukupi. 

Dua hal inilah yang menjadi faktor pendorong kenapa pemerintah melakukan impor. Disamping juga karakter penguasa dalam sistem Neoliberal ini yang tidak mau sungguh-sungguh mengurusi hajat dan melindungi rakyatnya. Sehingga tidak terlihat upaya yang maksimal dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan bagi rakyat.

Sejalan dengan hal itu pemerintah tetap memaksakan untuk mengimpor beras ketika produk lokal dalam keadaan surplus. 

Jadi, sumber kerusakan itu adalah sistem yang memfasilitasi lahirnya aturan-aturan yang bermasalah tersebut dan juga melahirkan penguasa yang minim periayahannya bagi rakyat. Itulah demokrasi neoliberal, sistem yang lahir dari kapitalisme yang berlandaskan asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi dan manfaat saja.

Sedangkan Islam menganggap bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah akidah, disamping pemikiran, perasaan, dan peraturan yang lahir dari akidah. Apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat, akan terwujud masyarakat Islam. 

Syariah Kaffah Sistem Terbaik

Pemerintah harus menjalankan fungsinya secara benar yaitu sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Dalam paradigma fungsi ini, nanti Negara (Khilafah) akan mengambil kebijakan-kebijakan praktis untuk serius mengurusi pangan rakyat. Kebijakannya mencakup seluruh aspek mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Disamping itu, negara juga harus mencabut dominasi korporasi yang menguasai rantai pengadaan pangan. Sehingga dalam kewenangan penuh oleh negara pemenuhan hajat pangan akan tersebar merata pada seluruh rakyat.

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. 

Karenanya, tidak ada solusi lain yang bisa menyelesaikannya kecuali sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Sistem yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala ini sudah dijamin keshahihannya dan terbukti keunggulannya. Sejarah mencatat betapa keberhasilan Khilafah Islam mewujudkan ketahanan pangan bagi rakyatnya meskipun wilayahnya tersebarluas.

Dengan demikian, persoalan ini hanya bisa diatasi saat bangsa ini menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai sistem terbaik, sebagaimana firman-Nya :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]:50).

Wallaahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post