No title

Oleh : Dian Puspita Sari 
Aktivis Muslimah dan Ibu Rumah Tangga 

Euforia perayaan hari guru beberapa waktu lalu belum sebanding dengan kondisi infrastruktur pendidikan di negeri ini yang bernasib naas. Banyak sekolah di negeri ini telah mengalami kerusakan dan perlu rehabilitasi. Diantaranya seperti yang disampaikan oleh Bupati Jember, Faida, dalam kegiatan sosialisasi rehabilitasi sekolah rusak beberapa pekan lalu.  

Dilansir oleh antaranews.com (25/11/2019), Bupati Jember Faida, dalam kegiatan sosialisasi rehabilitasi sekolah rusak yang bertepatan dengan hari guru nasional di aula PB Sudirman Pemkab Jember, menyampaikan bahwa pemkab Jember memprioritaskan perbaikan ratusan sekolah rusak berat di tingkat TK, SD, dan SMP, baik negeri maupun swasta. Ini baru satu kasus, ratusan bangunan sekolah rusak di Jember. Sisanya di kota-kota lainnya se-Indonesia yang tak terliput media tentu lebih banyak lagi. 

Fakta ini semakin memperburuk potret pendidikan di tanah air. Yang fokus outputnya hanya sebagai mesin pencetak generasi pekerja, tanpa memperhatikan kualitas infrastruktur pendidikan sehingga menciptakan rasa tidak aman dan nyaman bagi guru dan siswa dalam menjalankan proses belajar mengajar di sekolah. Jangan sampai pengabaian ini menyebabkan terjadinya sekolah-sekolah  ambruk seperti yang terjadi di SDN Gentong,  Pasuruan dan menewaskan seorang siswi dan gurunya. 

Belum lagi  pungutan liar  dalam proses perbaikan sekolah-sekolah di negeri ini. Hal ini semakin menambah daftar persoalan pendidikan di tanah air yang sarat dengan korupsi. Realita ini bukannya membangun malah menghancurkan program yang sudah berulangkali direncanakan. Alhasil, janji pemerintah untuk mencerdaskan generasi bangsa dan menyejahterakan guru pun tak terbukti dan hanya sebatas mimpi. Realita pendidikan ala kapitalis sekuler di negeri ini tak seindah ucapan selamat hari guru nasional. 

Klaim klasik pemerintah menyatakan bahwa kendala perbaikan sekolah dan fasilitas pendidikan yang rusak biasanya disebabkan oleh biaya. Pada Mei 2019, Mendikbud kala itu pernah  berujar bahwa seluruh pekerjaan fisik terkait pendidikan telah dilimpahkan ke Kementerian PUPR.

Mulai tahun 2019, anggaran untuk infrastruktur pendidikan, dari revitalisasi dan pembangunan gedung sekolah hingga laboratorium, tak lagi dialokasikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud).

Benarkah masalah perbaikan sekolah rusak semata-mata karena terkendala biaya (anggaran)? Jika benar, tentu ini menunjukkan lemahnya (baca: abainya) negara dalam membiayai pendidikan. Padahal, seharusnya negara memberikan anggaran mutlak bagi pendidikan. Apalagi, Indonesia kaya sumber daya alam, seharusnya mampu membiayai pendidikan rakyatnya.
                                  
Melalui pengkajian mendalam, sekolah rusak ternyata berpangkal pada beberapa hal, yakni: 
1. Persoalan anggaran.
2. Persoalan birokrasi yang rumit.
3. Persoalan moral (merajalelanya korupsi). Ketiganya menunjukkan betapa buruknya tata kelola pendidikan di Indonesia yang bermuara pada sistem politik dan ekonomi negara yang kapitalistik liberal.

Meski pemerintah mengklaim telah menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN, faktanya anggaran tersebut tidak dapat langsung diserap untuk peningkatan infrastruktur pendidikan. Bahkan tidak mencukupi sama sekali. Peningkatan kualitas SDM pendidikan membutuhkan dana tidak sedikit. Walhasil, fasilitas pendidikan (bangunan sekolah) tidak sepenuhnya ditingkatkan kualitasnya.

Hal tersebut ditambah dengan buruknya birokrasi karena otonomi daerah. Kebijakan negara kapitalis ini telah menyumbang persoalan yang amat banyak. Lepasnya tanggung jawab pemerintah pusat dalam urusan pendidikan membuat banyak sekali persoalan menjadi lambat, bahkan tidak tertangani. Banyak sekolah rusak di daerah yang menunggu respon pemerintah pusat. Namun, semua itu tidak kunjung diselesaikan.

Adapun dugaan korupsi di dunia pendidikan, maka hal ini bukanlah hal yang asing. ICW sendiri pernah mengungkapkan bahwa di dunia pendidikan, Dinas Pendidikan menjadi lembaga paling rentan korupsi, disusul sekolah, universitas, pemkab/pemkot, dan pemerintah provinsi.

Maka, terjadinya kasus infrastruktur yang mudah rusak padahal baru saja direnovasi, layak menjadi pertanyaan: "Sudahkah anggaran yang dikeluarkan benar-benar digunakan untuk membangun infrastruktur yang kokoh? Ataukah sebagian anggarannya dikorupsi?" Semua ini layak menjadi perhatian.

Demikianlah carut marut pengelolaan infrastruktur sekolah dalam sistem kapitalis liberal. Sistem ini menghasilkan negara yang bermasalah secara ekonomi, sehingga anggaran pendidikan minim. Otomatis pembangunan infrastruktur sekolah pun terhambat. Akibatnya, ratusan, ribuan bahkan lebih banyak sekolah rusak tak ditindaklanjuti  dan memakan korban jiwa. Padahal kerusakan ini sudah berulangkali dilaporkan oleh pihak sekolah kepada pihak terkait di pemerintahan.  

Sistem ini melahirkan praktik pengelolaan anggaran yang korup karena jauh dari nilai-nilai agama. Tanggung jawab terhadap penyelenggaraan kewajiban juga lemah. Akibatnya, birokrasi tidak tegak sesuai kebutuhan malah berbuah penelantaran dan pembiaran.

Kondisi ini tentu sangat kontras dengan pengelolaan pendidikan dalam sistem Khilafah Islam. Dalam sistem yang didasarkan pada hukum syariah ini, negara bertanggung jawab penuh mencukupi kebutuhan sarana pendidikan yang bersifat pokok, seperti gedung sekolah (kelas), perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Yang demikian termasuk kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan negara.

Kondisi tersebut pernah terjadi pada masa kekhalifahan terdahulu. Al Maqrizi menyebutkan bahwa di Madrasah al Fadliliyah terdapat perpustakaan yang sangat besar tempat tersimpannya koleksi kitab yang berjumlah mencapai 100.000, padahal di masa itu belum ada percetakan.

Dengan kemakmuran negara Islam waktu itu, anggaran pendidikan tak pernah menjadi masalah. Oleh karena itu, tak ada ceritanya sekolah rusak hingga mengganggu keamanan dan kenyamanan guru dan siswa dalam menjalani proses belajar mengajar. 

Inilah mengapa kita sangat membutuhkan  khilafah. Karena khilafah yang akan memperbaiki semua kondisi memprihatinkan dalam semua bidang termasuk pendidikan secara tuntas. Guru juga akan fokus pada peran utamanya sebagai pengajar dan pendidik serta pencetak generasi bangsa yang cerdas di sekolah, disertai dengan jaminan kesejahteraannya yang  harus diwujudkan oleh negara (baca: khilafah) tanpa merasa was-was dengan kondisi keamanan dan kenyamanan infrastruktur sekolah tempat para siswa menimba ilmu. Para penimba ilmu bahkan begitu betah menuntut ilmu di sekolah. Hingga di sana lahirlah banyak ilmuwan muslim yang gigih dalam belajar dan mengajarkan ilmu, serta  menjadikan mereka generasi idaman Islam yang cemerlang, beriman dan bertakwa. Juga inovatif dan produktif dalam keseharian hidupnya.  

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post