KETAATAN DAN SIKAP KRITIS KEPADA PENGUASA

Oleh : Fatmawati
Pensiunan guru dan pegiat dakwah

Rasullullah saw. pernah berpesan agar kaum Muslim senantiasa berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Tentu termasuk sunnah yang berkaitan dengan pemerintahan.

Diantara teladan Khulafaur Rasyidin yang mungkin terlintas saat ini adalah pidato yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra. selepas pelantikan beliau sebagai Khalifah. 

Pertama-tama, beliau melantunkan pujian kepada Allah SWT, lalu berkata: "Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskan aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, insya'a Allah ... Taatilah aku selama aku menaati  Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian untuk shalat. Semoga Allah merahmati kalian." (Imam ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari).

Dalam pidato singkat ini terkandung ibrah (pelajaran) yang sangat dalam. Tampak sekali kesadaran dan ketawadhuan seorang Abu Bakar ash-Shidiq ra. Meski tidak ada seorang pun yang tidak mengakui keutamaan dan keistimewaan beliau disisi Rasul saw., tetap beliau mengucap, "Padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian."

Kesadaran ini mesti dimiliki oleh pemimpin dan penguasa. Ini merupakan bahwa meski secara faktual diakui sebagai sosok terbaik, seorang pemimpin atau penguasa tetaplah manusia biasa, bukan seperti seorang rasul yang maksum/bebas dari  kesalahan. Sebagai manusia biasa, dia tetaplah punya potensi berbuat salah. Apalagi kekuasaan termasuk godaan besar bagi manusia, yang bisa mendorong pemegangnya untuk berlaku korup, lalim dan diktator.

Dengan kesadaran itu pula, pemimpin dan penguasa tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Sebaliknya dia sadar betul mungkin saja berbuat buruk dan salah.

Pemimpin dan penguasa dengan kesadaran ini tidak menjadi sosok yang anti kritik. Sebaliknya dia akan membuka diri terhadap nasihat, kritik dan koreksi hingga yang pedas dan keras sekalipun. Pasalnya dia sadar bahwa nasihat, kritik dan koreksi itulah yang justru menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan di akhirat kelak.

Sebaliknya, puji-puji dan dukungan serta pembelaan buta dari para pendukungnya sebenarnya merupakan keburukan bagi dirinya dan akan mendatangkan kebinasaan khususnya di akhirat kelak. 

Diriwayatkan dari Musa bin Abi Isa: "Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah datang ketempat minum Bani Haritsah. Lalu dia melihat Muhammad bin Maslamah. Khalifah Umar berkata kepada dia, "Bagaimana engkau melihatku?" Dia berkata,"Aku melihatmu seperti yang aku sukai dan seperti yang wajib bagimu, yakni kebaikan. Aku melihatmu kuat atas pengumpulan harta, bersih darinya dan adil dalam pembagiannya. Andai engkau menyimpang, niscaya aku akan meluruskan engkau seperti anak panah  diluruskan di ats-tsaqaf."

Khalifah Umar lalu berkata, "Segala pujian hanya milik Allah yang telah menjadikan aku berada di tengah kaum yang jika aku melenceng, mereka akan meluruskan aku." (Adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafiyatu al-Masyahir wa al-A'lam, IV/114).

Rasulullah saw. telah memberitakan bahwa akan ada para pemimpin hingga imam/khalifah yang di antara mereka melakukan kemakrufan dan yang melakukan kemungkaran. Bahkan mereka berpotensi melakukan kemakrufan maupun kemungkaran.

Ketika kemungkaran tampak dari pemimpin atau penguasa maka rakyat wajib mengingkari penguasa tersebut sekaligus menasehati dan mengoreksi dirinya. Tentu hal itu tidak dilakukan berdasarkan suka atau tidak suka, like and dislike, tetapi berdasarkan standar bahwa itu merupakan kemungkaran/menyalahi hukum-hukum syariah.

Nasihat/kritik (muhasabah) kepada penguasa bukan karena atau demi kepentingan dunia, melainkan karena kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah SWT.

Sekalipun demikian, muhasabah kepada penguasa itu akan memberikan kebaikan di dunia. Sebab dengan itu, masyarakat akan terhindar dari keburukan akibat kemungkaran penguasanya.

Pemimpin atau penguasa yang melakukan kemungkaran, artinya dia melakukan kezaliman, maka haram mendukung kezaliman itu. Jangankan mendukung, bahkan sekedar cenderung kepada pelaku kezaliman saja haram dan konsekuensinya sangat berat. Allah SWT berfirman: 

Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang  penolong pun selain Allah. Kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]:113).


Kesadaran pemimpin seperti itu tentu akan medorong rakyatnya untuk bersikap kritis  kepada dirinya. Dia akan mendorong rakyat untuk mengoreksi dirinya ketika menyimpang dari syariah. Dia pun akan mendorong rakyat untuk menaati dirinya hanya dalam kemakrufan. Rasulullah saw. bersabda: 

Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang Muslim dalam apa yang ia sukai atau tidak ia sukai selama ia tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak ada kewajiban mendengar maupun taat (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad).

Dengan semua itu, akan ada pemimpin dan penguasa yang paling baik, yang mencintai dan dicintai oleh rakyat, serta yang mendoakan dan didoakan oleh rakyat. Pemimpin demikian hanya akan ada ketika ia seorang Muslim yang bertakwa dan menjalankan syariah Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah 'alaminhaj an-nubuwwah.

Semoga dengan persatuan umat Islam yang kokoh dan kuat akan segera terwujud Khilafah yang dijanjikan oleh Allah SWT. di tengah-tengah umat. Aamiin ya Rabbal alamiin.

Wallah a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post