Menantu Pilihan (Part 6)

By: Nelliya Ummu Zahra
(Akademi Menulis Kreatif)

Prook...prook...prook refleks aku bertepuk tangan setelah hampir 20 menitan aku berdiri melihat ibuku dan ibu-ibu arisan seperti biasa setiap pekan dirumahku.

Tapi yang membuat langkahku tertahan dan terpaku adalah sosok yang sedang mengisi tausyiah itu. Sosok wanita yang  meneduhkan lagi bersahaja. Siapa lagi kalau bukan Maryam Nafisah.

Sebenarnya aku hanya ingin mampir kerumah  sebentar untuk mengambil berkas yang tertinggal tadi pagi. Tapi belum sempat aku menaiki tangga menuju kamar ku suara lembut yang sedang mengisi tausiyah itu menahanku. Jadilah disini aku sekarang melihat bagaimana dia dengan sangat fasih merangkai kata dan menjelaskan kepada ibu dan tamu yang hadir. Sesekali kulihat senyumnya mengembang kala ibu-ibu itu bertanya.  Lalu refleks aku bertepuk tangan setelah dia selesai. Apa yang kulakukan tentu saja mengundang tatapan dari mereka, sehingga semua mata tertuju kepadaku. Aku yang jadi pusat perhatian menjadi malu sendiri. Dalam hati merutuki diriku kenapa sampai kelepasan seperti ini.

Aku hanya tersenyum sekilas kepada ibu-ibu itu lalu berlalu menuju kamarku dilantai dua.

Sedangkan diruang tamu kajian  yang ku isi baru saja  selesai. Aku menghembuskan nafas lega. Alhamdulillah kajian dadakan yang diminta bude Rini berjalan lancar. Hanya saja tadi aku tidak menyangka jika mas Zainal melihatku. Yang kutahu biasanya jam segini bukannya dia di kantor.
Jujur aku merasa sedikit malu. Dan berharap mas Zainal segera balik ke kantornya.

Lalu kudengar suara bude Rini mempersilahkan para tamu untuk menyantap hidangan yang sudah disajikan.

"Ayo jeng, ibu semua silahkan dinikmati hidangan yang sudah disiapkan ya" kulihat bude Rini tersenyum sumringah sembari mengajak ibu-ibu itu mengambil makanan.

Aku segera menuju es buah. Jujur saja hampir 2 jam berbicara membuat tenggorakan ku kering. Lalu aku mulai menungkannya kedalam gelas. Sebuah tepukan pelan dipundakku membuat aku menoleh dan melihat bude Rini tersenyum ramah kepadaku.

"Maryam, ayo kamu juga cicipi makanannya ya. Ojo sungkan-sungkan" masih dengan senyum bertahan dibibirnya.

"Iya bude, terimakasih. Ini juga saya sedang mencicipi es buahnya. Alhamdulillah seger rasanya" sahutku sambil menunjukkan gelas berisi es buah.

Kulihat seseorang menuruni tangga dan segera berlalu menuju pintu. Iya dia mas Zainal. Terlihat sedang terburu-buru. Bude Rini yang menyadari kemana tatapanku pun melihat kearah yang sama. Dan segera bude Rini menghampiri anak semata wayanganya.

"Zainal tunggu le. Kamu tadi pulang kok langsung kekamar. Ada apa balik le?"

"Iy bu, Zainal tadi mampir kerumah sebentar karena mau ambil berkas yang tertinggal. Dan ini sudah mau balik kekantor" sahutku melihat ibu yang berjalan mendekat.

"Le itu ada Maryam, apa ndak mau nyapa dulu" ibu mendekat dan sedikit berbisik.

Lalu pandangannya melihat sosok yang sedang duduk dan menikmati minumannya dan mengobrol dengan beberapa ibu-ibu dan kulihat juga bulek Rina ikut bergabung.

"Emm gak bu, Zainal sedang buru-buru. Nanti Bapak nungguin berkas ini" kilahku. Sejujurnya aku merasa gugup jika harus berbicara saat ini.

"Oh ya wes le. Nanti jangan pulang telat ya. Kita makan malam dirumah" ibu menepuk pelan pundakku. Setelah mencium tangannya akupun berpamitan untuk kembali ke kantor.

Sebelumnya Baca :
Menantu Pilihan (Part 1)
Menantu Pilihan (Part 2)
Menantu Pilihan (Part 3)
Menantu Pilihan (Part 4) 
Menantu Pilihan (Part 5) 

Akhirnya acara dirumah bude Rini selesai juga setelah selesai solat zuhur dan bantu-bantu membereskan sisanya acara tadi. Aku ingin segera berpamitan.

"Bude, saya mau izin pamit dulu ya" aku menghampiri bude yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memijit kakinya. Kulihat beliau kelelahan.

"Oh iya, maryam duduk disini sebentar" bude Rini menepuk-nepuk sofa kosong disampingnya.

Aku segera saja duduk dan melihat beliau yang menatapku. Ditatap secara intens begitu membuatku sedikit malu.

"Maryam. Emm itu mengenai kamu dan Zainal sebenarnya saya sudah tahu. Dan Zainal juga meminta izin kepada kami selaku orangtuanya" kulihat bude menarik  nafas panjang dan kembali menghembuskannya kemudian  melanjutkan kata-katanya.

"Sebenarnya sudah beberapa kali saya ingin menjodohkan Zainal dengan anak rekan suami. Ataupun beberapa teman yang menawarkan anak gadisnya. Tapi ya dasar Zainal katanya dia, belum ada yang pas dihati. Kami sebagai orang tua ya ndak bisa maksa. Lagi pula jujur saja kami sangat memperhatikan babat, bibit, dan bobot calon mantu kami kelak. Bukan apa-apa kami hanya ingin yang terbaik untuk anak semata wayang kami" kembali bude Rini menjeda kata-katanya.

"Dan waktu dia mengatakan ingin serius dengan kamu, berarti dia memang benar-benar ingin serius. Gitu-gitu Zainal ndak pernah dekat-dekat dengan perempuan. Apa lagi untuk pacaran. Kalau saya yang penting calonnya Zainal itu jelas babat, bibit, dan bobotnya. Untuk selanjutanya saya serahkan kepada anak saya" panjang lebar bude Rini mengungkapkan isi hatinya sebagai seorang ibu. Terlihat sekali kecintaan beliau kepada anaknya. Aku sangat mengerti maksud bude Rini. Setiap orang tua tentulah inginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Iya Bude. Mengenai taaruf saya dan mas Zainal keluarga pun sudah tau dan menyerahkan keputusan kepada saya. Karena menurut mereka yang akan menjalani pernikahan kelak adalah saya. Juga saya teringat akan hadist Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

“Apabila seseorang yang agama dan perilakunya bisa kalian terima meminang putri kalian, maka nikahkanlah dengannya. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan menjadi musibah di bumi dan kerusakan yang nyata.” (HR. Tirmidzi). Maka berbekal hadist ini keluarga menyerahkan kepada saya. Saya sungguh sangat mengerti apa yang ibu maksudkan" ujarku sambil tersenyum. Tidak ada sedikitpun aku tersinggung dengan ungkapan hati bude Rini Barusan.

"Syukurlah kalau kamu mengerti dan tidak tersinggung dengan ucapan saya barusan. Untuk kelanjutannya nanti Zainal yang akan memutuskan" lanjutnya sambil tersenyum ramah kepadaku.

"Oh iya sebelum kamu pulang itu sudah saya minta sama bibi Ineng tadi untuk membungkuskan makanan nanti dibawa pulang ya. Dan sekali lagi saya sangat berterimakasih atas bantuannya hari ini dan kesediaannya mengisi tausiyah tadi" bude Rini menggenggam tanganku.

"Aduh maaf bude jadi repot-repot begini. Saya senang bisa membantu dan berbagi ilmu dengan ibu-ibu tadi bude. Lain kali pun jika butuh bantuan untuk mengisi tausiyahnya insyaallah saya bersedia bude" jawabku. Tentu saja aku senang berbagi ilmu dengan saudara sesama muslim.

"Oh iya nanti kalau misalnya ustadzahnya berhalangan lagi boleh lah ya Maryam gantikan"

"Iya bude. Insyaallah. Kalau begitu saya permisi dulu ya bude" aku segera berdiri dan mencium tangannya. Kemudian menuju motor maticku dihalaman.

Setelah sampai dirumah segera kuberikan kepada ibu titipan makann dari bude Rini tadi. Dan aku segera mengistirahatkan tubuh di kamar. Rasanya aku butuh tidur sebentar untuk menunaikan hajatul udowiyahku. Karena sedari perjalanan tadi mataku sudah terasa berat.

Selesai memarkirkan mobil aku dan Bapak segera masuk kedalam rumah.

Tepat azan magrib kami baru sampai rumah. Setelah mengucapkan salam segera aku naik menuju kamar untuk membersihkam diri dan bersiap solat magrib.

Alhamdulillah. Selesai sudah menjalankan kewajiban. Segera aku menuju kebawah untuk bergabung makan malam dengan Bapak dan Ibu. Kulihat ibu dan bapak sudah duduk di meja makan. Akupun menarik salah satu kursi dan duduk bersiap untuk makan malam.

"Bapak tau ndak, tadi kan arisan ibu seperti biasa pak. Lah terus ustadzah yang biasa mengisi tausiyahnya berhalangan. Untung saja pak tadi ada Maryam itu loh calonnya Zainal. Kalau ndak ya bisa malu ibu sama tamu" ibu melirikku dan tersenyum.

"Wah. Bagus itu bu berarti ndak ada masalah lagi ya kalau Zainal mau melanjutkan taarufnya" kali ini bapak ikut menimpali.

"Ya kalo sekarang terserah Zainal saja. Kalo ibu lihat-lihat si Maryam itu anaknya baik loh pak. Tadi dia juga ndak sungkan bantu-bantu ibu untuk menyiapkan hidangan acara tadi. Ditambah tadi pas ngisi tausyiah fasih sekali ngomonganya. Adem juga ngiliatnya. Ibu kok ya jadi malu. Udah setua ini pemahamn agamanya masih cetek" kulihat ibu menundukkan wajahnya dengan raut sedih.

"Wes bu ojo sedih. Lah malah nanti enak kalau mantunya si Maryam setiap hari ibu bisa dengar tausiyahnya toh nanti bisa sama-sama belajar" kali ini bapak sedikit menggoda ibu.

"Nah, Zainal kamu dengar ndak. Sudah dapat lampu hijau dari ibumu. Kapan kita akan kerumah pak Ahmad untuk melamar anak gadisnya" kali ini Bapak bicara dengan tegas dan menatapku.

Aku sejenak menghentikan suapanku. Dan melihat Bapak dan Ibu bergantian.

"Ibu, bapak terimaksih sudah memberikan izin sama Zainal untuk melangkah lebih lanjut bersama Maryam. Karena bagi Zainal yang terpenting ridho Bapak sama Ibu. Insyaallah kalau bapak dan ibu tidak keberatan malam besok kita akan kerumah keluarga pak Ahmad" jawabku mantap.

Memang aku sudah memantapkan hati untuk melamar Maryam. Apa lagi setelah mengantongi restu dari Bapak dan ibu.

"itu bu, coba lihat anakmu nampaknya udah kebelet mau nikah. Baru dapat izin malam ini. Langsung mau melamar malam besok" bapak kembali menggodaku. Dan diakhiri dengan tawa kami bersama.

Aku baru saja selesai solat subuh. Ketika kulihat satu pesan masuk dari musyrifah ku. Siapa lagi kalau bukan mba Harisa. Pesan berisi kalau nanti malam keluarga pah Hasan beserta anaknya akan datang kerumah untuk mengkhitbahku. Pesan itu disampaikan sendiri oleh mas zainal lewat suaminya mba Harisa.

Deg..deg. rasanya jantungku berdetak lebih cepat seperti habis lari maraton. Entah perasaan apa yang aku rasakan saat ini. Mungkinkah ini jawaban atas pintaku kepadanya_Nya. Allah sungguh aku ikut semua rencana_Mu.

Segera ku memberitahukan kabar ini kepada bapak, ibu dan kedua masku. Mereka berharap kedatangan keluarga pak Hasan membawa kabar baik untuk kelanjutan taaruf kami.

Aku dan ibu bersiap-siap membuat beberapa macam kue untuk dihidangkan nanti malam.

Selepas magrib keluargaku sudah bersiap-siap menunggu kedatangan pak Hasan sekeluarga. Sementara aku jangan ditanya gugupnya. Tanganku  berubah dingin dan berkeringat. Beberapa kali aku membenarkan khimar dan jilbabku.

Tidak berapa lama aku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Dan kukira keluarga pak Hasan sudah datang. Dan perkiraan ku benar. Pintu kamarku diketuk. Dan kulihat ibu muncul dengan tersenyum lembut kearahku.

"Maryam ayo keluar nak. Itu calonnya sudah datang. Apa gak mau melihat calonnya. Nanti nyesel loh orang calonnya ganteng gitu" kali ini candaan ibu berhasil membuat pipiku memanas. Bertambah kegugupanku.

"Ibu.. jangan menggoda Maryam" rajukku.

"Ya sudah ayo keluar. Gak enak sudah ditunggu" ibu segera meraih tanganku dan menggandengnya keluar kamar.

Aku hanya bisa menunduk duduk diapit Bapak dan ibu.

"Nah pak Hasan, bu Rini, dan nak Zainal. Kenalkan ini putri kami, namanya Maryam Nafisah" bapak membuka suara dengan memperkenalkan ku.

"Assalamualaikum"aku memberi salam sambil tetap menunduk dan meremas ujung khimarku.

"Oh iya pak Ahmad. Kenalkan juga ini Zainal Abdullah anak semata wayang kami"kali ini pak Hasan yang bicara.

"Maksud kedatangan kami kesini dengan hajat ingin melanjutkan taaruf yang beberapa waktu lalu Zainal dan nak Maryam. Jadi, kami bermaksud melamar nak Maryam untuk anak kami Zainal. Sebelumnya ayo Zainal coba lihat dulu benar ini calonnya yang ingin dilamar" kali ini  candaan pak Hasan sukses membuat aku semakin tertunduk malu. Tidak ada keberanian untuk mengangkat wajah ini.

"Iya pak Hasan. Alhamdulillah untuk niat baik bapak sekeluarga datang malam ini. Sungguh kami sekeluarga pun sangat senang. Dan tidak menyangka bapak dan keluarga berkenan menjalin hubungan keluarga dengan kami yang dari keluarga biasa-biasa saja ini" kali ini bapak menjelaskan dan menyambut niat baik keluarga pak hasan. Kembali bapak melanjutkan kata-katanya.

"Sekarang saya serahkan kepada Maryam. Apakah bersedia menerima lamaran nak Zainal" bapak melihat kearahku.

Aku yang dari tadi hanya menunduk sedikit tersentak. Usapan lembut ibu dibahuku membuat aku mengangkat wajah dan kulihat pandangam semua orang tertuju kepadaku. Menunggu jawaban. Kecuali mas Zainal yang tertunduk. Kulihat dia begitu rapi dengan baju kemeja dan celana kainnya ditambah kacamata yang bertengger dihidung mancungnya.

Kulirik kedua masku yang memberi isyarat agar aku segera menjawab.
Kuhela nafas dan menautkan kedua tanganku.

"Bismillahirahmanirrahim. Insyaallah Maryam  bersedia menerima lamaran ini" jawabku dengan satu tarikan nafas.

Alhamdulillah serempak yang hadir diruang tamu mengucap syukur. Dan hilang sudah wajah-wajah tegang sedari tadi.

Dan kulihat mas Zainal mengangkat wajahnya.  Dan untuk pertama kalinya Kulihat senyum membingkai wajah lelaki itu.


Bersambung....... Menantu Pilihan (Part 7)
Previous Post Next Post