Oleh: Izzah Saifanah
Badan pertahanan sipil Gaza melaporkan bahwa serangan Israel di wilayah Palestina tersebut telah menewaskan sedikitnya 23 orang pada Minggu (5/1). Militer Israel mengatakan telah menargetkan lebih dari “100 target teror” dalam dua hari terakhir. Setidaknya 11 tewas dalam serangan udara di sebuah rumah di wilayah Sheikh Radwan, Gaza utara pada Minggu pagi, kata juru bicara pertahanan sipil Mahmud Bassal. Ia menambahkan bahwa korban tewas termasuk perempuan dan anak-anak.
Kurangnya empati dunia adalah indikasi kuat bahwa kecaman hingga diplomasi tidak akan pernah memberi solusi bagi Palestina. Berbagai perundingan bukanlah aksi nyata sesungguhnya untuk membebaskan Palestina. Semua itu telah terbukti tidak mampu menghilangkan penjajahan entitas Yahudi atas Palestina hingga hari ini.
Pada saat yang sama, AS dengan serius terus memberikan dukungan kepada Zion*s dalam melakukan perampasan wilayah Palestina. Laporan terbaru dari The National Interest bahkan membahas miliaran dolar uang yang bersumber dari pembayaran pajak Amerika dikirimkan kepada Zion*s untuk membiayai perang yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, keputusan pemerintahan Biden untuk mengirim sistem pertahanan rudal THAAD dan 100 tentara AS untuk membantu mengoperasikannya menandakan meningkatnya dukungan AS terhadap Zion*s dalam perang multifront-nya. Sebagaimana laporan The National Interest pada hari Jumat (1-11-2024), bahwa biaya yang terkait dengan dukungan ini meningkat dengan cepat dan pengerahan pasukan AS untuk membantu Zion*s meningkatkan risiko keterlibatan langsung AS dalam perjuangan tersebut.
Keseriusan AS dalam membantu entitas Yahudi tentu bukan tanpa alasan. Menilik sejarahnya, keberadaan entitas Yahudi di Palestina tidak lain merupakan rencana besar AS di Timur Tengah. Ini adalah rumusan strategi AS setelah meredupkan pengaruh para pesaingnya di Timur Tengah seperti Inggris dan Perancis.
Sikap AS dan Yahudi yang bahu-membahu menghancurkan Palestina justru kontras dengan sikap penguasa di negeri-negeri muslim. Mereka seakan-akan buta dan tetap mati rasa melihat pembantaian kaum muslim di Palestina. Saat AS bergerak membantu Yahudi dengan memasok persenjataan ke sana, penguasa negeri-negeri muslim sama sekali tidak tergerak hatinya untuk memobilisasi pasukan militernya untuk berjihad membebaskan Palestina.
Seakan-akan tidak belajar dari kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, para pemegang kekuasaan di negeri muslim itu malah terus membebek pada solusi-solusi yang dirancang AS dan Zion*s. Dari krisis Palestina ini kaum muslim seharusnya bisa memahami bahwa banyaknya tentara yang tersebar di berbagai negeri-negeri muslim sama sekali tidak menggentarkan Yahudi. Peralatan militer yang canggih, tank-tank lapis baja yang mereka miliki seakan-akan tidak berguna jika tidak bergerak dari baraknya untuk menggempur Yahudi.
Sungguh ironi, kaum muslim Palestina tetap sendiri. Sedangkan kaum muslim lainnya bungkam menyaksikan pembantaian saudara mereka, mereka diam di tempat. Kaki mereka terikat sekat geografis bernama nation state. Sebaliknya, saudara muslim di Palestina tidak ubahnya berada di dalam penjara. Entitas Yahudi menggempur mereka, mengisolasi, dan menutup pintu masuknya bantuan.
Persoalan Palestina tidak akan pernah tuntas jika penguasa-penguasa muslim hanya sibuk dengan konferensi, deklarasi, pertemuan organisasi-organisasi Islam, melancarkan protes, mengirim bantuan kemanusiaan, kritik sana-sini, apalagi dengan mengusung konsep moderasi beragama.
Perkara mendasar yang menyebabkan kaum muslim tidak mampu membebaskan Palestina adalah adanya perbedaan kepentingan dan ketakadaan visi yang sama. Mereka masing-masing sibuk dengan masalah dalam negerinya seraya mengesampingkan krisis Palestina. Kendati ada Iran, Irak, Mesir, dan Lebanon yang berperang dengan Yahudi, tetapi hal itu dalam rangka membela kepentingan negerinya masing-masing dan bukan untuk membebaskan Palestina.
Bencana yang dihadapi umat Islam di seluruh dunia, termasuk Palestina, bermula dari kebijakan kolonial berupa pendudukan Yahudi pascatumbangnya keepemimpinan Islam. Kebijakan politik Barat yang memecah belah umat Islam melalui Perjanjian Sykes Pycot setelah Perang Dunia II berjalan secara sistemis menghancurkan kepemimpinan Islam, lalu mereka mendirikan negara Yahudi berdasarkan Deklarasi Balfour.
Dengan demikian, pembebasan Palestina sangat erat kaitannya dengan tegaknya Islam kaffah. Sejarah Palestina menunjukkan bahwa pendudukan Yahudi ini tidak akan terjadi ketika institusi Islam eksis dan bertugas melindungi negeri-negeri muslim. Terbukti pascaruntuhnya Daulah Islam, racun nasionalisme berhembus di tubuh umat Islam, sehingga mulailah saat itu para pemimpin Arab dan negeri muslim lainnya bungkam atas pencaplokan entitas Yahudi di Palestina.
Umat Islam seharusnya tidak ikut dalam arahan Barat mengenai solusi krisis Palestina. Sebaliknya, umat Islam harus mampu menggagas sendiri solusi permasalahan Palestina dan tidak boleh berkompromi dengan para penjajah. Umat pun tidak boleh tunduk pada ketentuan yang mereka sebut sebagai hukum internasional. Sebabnya, semua itu hanyalah mitos dan kebohongan global. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencari penerangan dari api kaum musyrik.” (HR Bukhari, Ahmad, dan An-Nasa’i). Hadis ini berisi larangan bagi umat Islam untuk mengadopsi solusi kaum kafir penjajah atas masalah mereka.
Masalah Palestina juga tidak akan selesai dengan membentuk aliansi dengan orang-orang kafir melawan aliansi AS-Zion*s, seperti yang Erdogan lakukan dengan mengajak Presiden Putin melawan mereka. Ini karena Rusia adalah wujud kafir penjajah lain yang sama-sama bersyahwat keserakahan terhadap negeri-negeri Islam. Untuk itu, langkah kaum muslim haruslah menyeru para penguasa muslim agar memobilisasi pasukan militer mereka untuk berjihad melawan Zion*s.
Umat Islam justru harus bersatu dan bangkit mendobrak sekat-sekat geografis bernama nasionalisme yang selama ini membelenggu kaki dan tangan mereka. Umat harus menyadari bahwa mereka saat ini mereka terjajah secara pemikiran hingga tidak bisa berpandangan nyata untuk menggagas solusi tuntas atas pendudukan entitas Yahudi di Palestina.
Umat harus menyadari hal ini secara terus-menerus sehingga terbentuk kesadaran kolektif di tengah-tengah umat. Selanjutnya, umat bersama-sama berjuang untuk menegakkan Islam kaffah yang secara nyata akan memberi solusi hakiki untuk membebaskan Palestina. Dengan tegaknya institusi ini, khalifah akan memobilisasi pasukan militer kaum muslim, dan mengarahkan tank-tank tangguh umat Islam pada entitas Yahudi melalui seruan jihad fii sabilillah. Sungguh kebutuhan umat atas institusi Islam adalah perkara penting dan mendasar untuk memerdekan negeri-negeri muslim dari segala bentuk penjajahan kaum kafir. Wallahu’alam bissawab.
COMMENTS