Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Dikutip dari kompas.com 15-09-2024, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kali ini pemerintah menetapkan bahwa membangun rumah sendiri (kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan untuk digunakan sendiri atau oleh pihak lain) akan kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN). UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2% menjadi 2,4% per 1 Januari 2025.
Tarif PPN membangun rumah sendiri telah diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pasal 2 Ayat (2) PMK tersebut menyatakan bahwa PPN terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Kegiatan membangun sendiri yang dimaksud di dalam aturan tersebut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru.
Tidak semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri akan dikenakan PPN. Pada Pasal 2 ayat (4) dijelaskan, rumah yang dikenai PPN adalah bangunan yang berdiri di atas bidang tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
Selain itu, bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha dan luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi. Pada pasal 3 Ayat (2) menyatakan, “Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.” Dengan demikian, tarif PPN KMS saat PPN masih 11% yang berlaku saat ini adalah 2,2% dan saat PPN naik menjadi 12% mulai Januari 2025 adalah 2,4%.
Terkait ini Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo menyatakan, PPN KMS bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kemenkeu. Pajak ini sudah ada sejak 1995, yakni diatur di dalam UU 11/1994. Ia menjelaskan bahwa tujuan pengenaan PPN atas KMS adalah agar semua proses pembangunan, baik yang dibantu oleh kontraktor maupun sendiri, mendapatkan tanggungan yang sama. Tujuannya untuk menciptakan keadilan karena kalau membangun rumah dengan kontraktor, terutang PPN, membangun sendiri pada level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama. Rasanya, jika modelnya seperti ini konsep keadilan kembali dipertanyakan.
Rumah Tanpa Jaminan
Allah SWT berfirman,
“Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (An-Nahl : 80)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah SWT menyebutkan kesempurnaan nikmat-Nya atas hamba-Nya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung dan memanfaatkannya dengan berbagai macam manfaat.”
Pada hakikatnya rumah adalah kebutuhan mendasar bagi setiap orang. Banyak sekali kegunaan rumah bagi seseorang. Sebagai tempat makan, tidur, istirahat, dan berkumpul dengan keluarga, isteri dan anak-anak, juga tempat melakukan kegiatan yang paling pribadi dari masing-masing anggota keluarga.
Sayangnya, saat ini ketersediaan rumah menjadi permasalahan besar yang dihadapi masyarakat. Di era kapitalisme seperti sekarang ini, makin banyak orang yang tidak memiliki rumah. Sekalipun memiliki rumah, tetapi terkadang kondisinya tidak layak.
Sulitnya kepemilikan rumah ini tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Ada mekanisme yang membuat semua ini terjadi. Distribusi kepemilikan harta yang timpang sangat berkorelasi dengan kondisi kepemilikan rumah. Segelintir orang bisa punya banyak rumah, sedangkan yang lainnya tidak punya rumah sama sekali.
Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), dilihat dari data yang ada, jumlah rumah tangga yang belum punya rumah dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta. Rata-rata mereka tidak tinggal di rumah milik sendiri, melainkan di kontrakan, rumah orang tua, atau menumpang pada keluarga lainnya.
Pada 2021 saja, ada 14,3 juta rumah tangga yang tidak tinggal di rumah sendiri. Jumlah itu setara dengan 18,9% dari total rumah tangga di Indonesia yang jumlahnya sekitar 75,6 juta. Jakarta menjadi wilayah dengan tingkat kepemilikan hunian terendah di Indonesia. Data BPS 2022 menunjukkan bahwa hanya 56,13% rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah.
Data tersebut menunjukkan betapa timpangnya kepemilikan rumah di Indonesia. Ketimpangan yang diniscayakan oleh sistem buatan manusia. Sistem penganut liberalisme ekonomi telah melegalkan para pengusaha bermodal besar untuk menguasai tanah seluas-luasnya.
Negara bahkan memberikan kemudahan dan insentif pada perusahaan properti sehingga mereka leluasa menguasai tanah seluas apa pun. Kapitalisme monster sistemik yang merusak segala tatanan kehidupan.
Dalam sistem ini, rakyat kecil sangat sulit untuk bisa memiliki rumah. Untuk membeli satu rumah saja rakyat butuh biaya yang sangat besar, begitu juga dengan membangun rumah. Harga tanah dan material seperti semen, batu, bata, pasir, kayu, dan cat melejit tinggi.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini terlalu keji untuk memenuhi hajat hidup rakyat, hingga untuk kebutuhan rumah pun segalanya sulit. Mahalnya harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan membuat rakyat kesulitan untuk memiliki rumah.
Sistem ekonomi kapitalisme juga gagal menyediakan lapangan kerja dengan upah yang layak bagi masyarakat. Akibatnya, lapangan kerja yang tersedia tidak memungkinkan rakyat untuk bisa membangun rumah yang memadai.
Sementara itu, rakyat yang bisa membangun rumah yang layak malah dipajaki tinggi oleh pemerintah. Jelaslah secara nyata pemerintah tidak berniat sama sekali untuk meringankan beban rakyat agar bisa punya rumah.
Pemerintah malah makin lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan papan (rumah) bagi rakyat. Padahal, rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh Alih-alih dipenuhi, rakyat terus saja dibebani. Dzalim!
Penguasa Sekuler Kapitalistik, Dzalim!
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara dengan gigih mendorong rakyat membayar pajak, bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat pajak.
Negeri yang menganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyatnya pun dikenai pajak—yang seharusnya dijamin oleh negara—malah “dipalak” oleh negara. Terbayang oleh kita yang akan terjadi kemudian jika kebijakan ini benar-benar direalisasikan, tentu berbagai harga kebutuhan rakyat akan naik, padahal saat ini saja harganya sudah tinggi.
Pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara yang menganut kapitalisme. Padahal sesungguhnya, negeri kita ini kaya akan SDA yang jika dikelola dengan baik akan dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Ini karena SDA terkategori kepemilikan umum. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA yang justru diserahkan kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam. Alhasil, jika kebijakan ini diterapkan, ini merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.
Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42).
Dalam hadis,
“Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Pengaturan Pajak dalam Islam
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme—barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan. Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Shaahib al-maksi adalah orang yang mengambil pajak perdagangan. Ini menunjukkan larangan mengambil pajak sebagaimana prinsip kapitalisme.
Memang tidak dimungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).
Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (“Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam). Jadi, pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan; ataupun ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di baitulmal tidak ada.
Setelah masalahnya sudah teratasi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.
Syarak telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di baitulmal, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim.
Dalam rangka menghilangkan dharar saat baitulmal tidak ada dana inilah, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).
Syekh Atha’ Abu Rusytah menegaskan bahwa dalam Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat.
Pertama, hal itu diwajibkan atas baitulmal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syarak yang sharih (jelas).
Kedua, tidak ada harta di baitulmal yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini saja baru boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat. Firman Allah Ta’ala
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS Al-Baqarah: 219).
Maknanya adalah segala yang dalam membelanjakannya tidak perlu tenaga, atau kelebihan dari kecukupan keperluannya sesuai yang makruf untuk orang semisalnya. Sabda Rasul saw.,
“Sedekah yang paling utama adalah yang dari orang kaya.”(Muttafaq ‘alayh).
Makna “zhahri ghina” adalah yang lebih dari kecukupannya dengan makruf.
Rigid. Tidak ada pajak di dalam Islam, kecuali pada kondisi ini dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan. Tidak diambil, kecuali dari zhahri ghina (orang kaya) dan itu adalah kondisi yang dalam sejarah Islam sangat jarang terjadi sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara (fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA , termasuk bahan tambang dan sebagainya) cukup untuk itu.
Jika dipahami dengan benar, sungguh telah sangat nyata ketika kita bandingkan konsep pajak sistem kapitalisme dengan sistem Islam, sangat berbeda secara diametral. Dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat dan barang-barang tertentu sehingga berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat. Demikian halnya jika kebijakan kenaikan PPN ini akan diberlakukan bagi seluruh rakyat, ini merupakan tindakan kezaliman penguasa.
Sudah sepatutnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.
Rasul saw. bersabda,
“Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad).
Juga bagi pemimpin yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan rakyat, tetapi ia menahannya. Peringatan Rasulullah saw.,
“Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada Hari Kiamat.” (HR Muslim).
Lebih dari itu, Rasulullah saw. bersabda,
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertobat. Seorang pemungut ‘maks’ bertobat sebagaimana tobatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR Muslim).
Hadis ini terkait dengan kisah Alghamidiah menunjukkan bahwa dosa pelaku ‘maks’ lebih besar dari dosa berzina.
Menurut sebagian ahli hadis dan fikih, karakteristik utama maks itu adalah pungutan zalim karena tidak diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat, dipungut dari mereka yang tidak seharusnya membayar, dan pungutan liar (bukan otoritas resmi). Jika merujuk pada referensi fikih sunah, maks berarti zalim dan pungutan. Dari sisi istilah, ada ragam pengertian maks antara lain memberlakukan pungutan terhadap pedagang secara zalim. (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, 7/134).
Perumahan dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam jaminan penyediaan perumahan sangat niscaya. Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang. Negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat dengan gaji yang layak sehingga rakyat hidup sejahtera dan bisa membeli sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan papan masyarakat dengan membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat untuk memiliki rumah. Kebijakan tersebut antara lain:
Penerapan sistem ekonomi Islam yang mewujudkan stabilitas harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan sehingga biaya membangun rumah bisa terjangkau oleh rakyat.
Dalam Islam negara menyediakan rumah subsidi bagi rakyatnya dengan dua model.
Pertama, negara menyediakan rumah murah atau bahkan gratis sehingga rakyat mudah untuk memilikinya.
Kedua, negara menyubsidi biaya pembangunan rumah sehingga rakyat yang memiliki tanah tidak kesulitan untuk membangun rumah.
Terkait tanah, rakyat tidak harus membeli untuk bisa memiliki tanah. Mereka bisa memiliki tanah secara gratis dan sekaligus legal. Hal ini karena Khilafah mempermudah rakyat memiliki tanah dengan penerapan hukum-hukum seputar tanah yang meliputi:
Larangan penelantaran tanah.Tidak boleh ada tanah yang telantar, melainkan harus dikelola. Tanah yang telantar lebih dari tiga tahun akan disita negara dan diberikan pada yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya.” (HR Bukhari).
Dengan aturan ini, tidak akan ada orang yang menguasai tanah yang sangat luas, tetapi dibiarkan (ditelantarkan), sedangkan orang lain ada yang membutuhkan tanah, tetapi tidak memilikinya. Aturan ini akan menyolusi persoalan ketimpangan pemilikan tanah.
Dorongan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat)
Untuk memiliki tanah, rakyat tidak harus membeli. Mereka bisa memiliki tanah dengan cara menghidupkan tanah mati. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang, tetapi hanya mengeluarkan tenaga untuk menghidupkan tanah mati. Dari situ mereka memperoleh tanah untuk membangun rumah. Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa menghidupkan tanah yang mati maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizhām al-Iqtishādī fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) menyebutkan,
“Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan cara menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya.
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun yang bisa menghidupkannya. Dengan adanya upaya seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti upaya seseorang tadi telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya.”
Dorongan melakukan pemagaran (tahjir)
Pemagaran merupakan salah satu cara untuk menghidupkan tanah mati. Rakyat bisa memiliki tanah secara gratis dan legal dengan memagari tanah yang telantar (mati). Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa membatasi (memagari) tanah yang mati maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Ahmad).
Kebijakan iqtha’
Iqtha’ adalah pemberian tanah oleh negara pada rakyatnya. Negara bisa memberikan tanah kepada warganya untuk dibangun rumah di atasnya. Dengan kebijakan ini, rakyat tidak kesulitan untuk memiliki tanah dan rumah. Amru bin Syuaib ra. berkata,
“Rasulullah saw. pernah memberi lahan kepada sekelompok orang dari Muzaynah atau Juhainah.”
Dengan berbagai kebijakan tersebut, rakyat akan mudah untuk memiliki rumah, baik dengan membeli ataupun membangun sendiri. Jika membeli, harganya murah dan bahkan bisa gratis.
Jika membangun sendiri, tanahnya disediakan oleh negara dan bisa diperoleh tanpa mengeluarkan uang, cukup dengan tenaga. Harga material bahan bangunan juga terjangkau karena ada subsidi dari negara. Bahkan negara bisa memberi dana pada rakyat yang membutuhkan untuk membangun rumah.
Semua kebijakan ini menunjukkan bahwa negara dengan sistem Islam sangat serius menjamin kepemilikan rumah bagi rakyat. Segala sesuatu yang rakyat butuhkan untuk memiliki rumah dijamin oleh negara. Khilafah leluasa memberi jaminan kepemilikan rumah bagi rakyat karena baitulmal Khilafah memiliki banyak sumber pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum seperti tambang, hasil laut, hasil hutan, dan lainnya.
Pemasukan negara dari kekayaan alam itu sangat besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan rakyat, termasuk perumahan. Dengan besarnya pemasukan negara tersebut, negara tidak butuh pajak. Khilafah tidak akan membebani rakyatnya dengan pajak, kecuali pada kondisi tertentu (tidak permanen) dan terbatas pada rakyat yang kaya dari kalangan kaum laki-laki saja. Demikianlah jaminan kesejahteraan dalam Khilafah yang memastikan tiap-tiap rakyat memiliki rumah.
Oleh karena itu angat jelas perbedaan konsep pajak dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dengan praktik pajak saat ini, telah sangat nyata siapa yang menjadi korban kezaliman penguasa. Apalagi jika rencana kenaikan PPN ini diberlakukan dan berimbas pada kenaikan pajak pembangunan rumah, kezaliman itu tentu akan makin nyata. Allah Swt. dan Rasulullah saw. telah memperingatkan dengan peringatan yang sangat keras bagi pelaku kezaliman ini, tetapi seolah tidak membuat mereka jera ataupun takut. Telah jelas pula bagaimana jaminan kepemilikan rumah diberikan bagi siapa pun.
Sudah saatnya kita berupaya keras menghilangkan kezaliman ini dengan terus berjuang mendakwahkan Islam kafah ke tengah umat sehingga syariat Islam bisa diterapkan secara sempurna di muka bumi. Hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kafah, umat Islam akan terhindar dari berbagai bentuk kezaliman. Naungan negara dalam sistem Islam (Khilafah Islamiyyah) sudah tidak bisa ditunda. Rakyat butuh keteduhan yang menenangkan dan kesejahteraan yang membahagiakan.
Wallaahu a’laam bisshawaab.
COMMENTS