Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنۡ كَانَ يَرۡجُوا اللّٰهَ وَالۡيَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيۡرًا ؕ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab [33]: 21).
12 Rabiul Awal merupakan tanggal bersejarah bagi umat Islam di seluruh dunia, karena pada tanggal cantik tersebut terlahir seorang rasul yang membawa risalah mulia, Islam. Beliau adalah Nabi Besar Muhammad ﷺ. Beliau adalah nabi terakhir (khataman nabiyin) yang diutus Allah SWT. untuk memperbaiki akhlak manusia.
Realitanya, setiap tanggal 12 Rabiul Awal pada hakekatnya sebagai upaya mengingat kembali hari kelahiran dan sejarah hidup nabi ﷺ, meningkatkan komitmen memegang teguh ajarannya dan menjadikan beliau sebagai figur teladan utama bagi kaum muslimin khususnya dan setiap manusia pada umumnya, hampir seluruh umatnya mengingat kembali peristiwa tersebut.
Dalam momentum tersebut, kita dibawa dalam sebuah kisah. Flash back to a real story tentang Nabi ﷺ yang lahir bertepatan dengan Pasukan Gajah Raja Abrahah yang dipimpin oleh Panglima Abu Rughal menyerang kota Makkah. Saat itu, mereka ingin menghancurkan Ka’bah, namun gagal diluluhlantakkan oleh makhluk kecil, Ababil, burung kecil yang dianggap lemah atas perintah Allah Ta’ala. Burung-burung tersebut menghujani mereka dengan batu kecil panas yang berpijar.
Subhanallah dalam peristiwa tersebut dikisahkan bahwa saat Rasulullah ﷺ lahir, api yang menyala ratusan tahun, api sembahan kaum Majusi, tiba-tiba padam. Selain itu berbagai peristiwa lainnya pun menyertai memberi signal bahwa sinar fajar kehidupan dan kejayaan Islam akan tiba.
Everything is Gonna be Alright if You on Track
Allah Swt. berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhīm menyatakan bahwa ayat yang mulia ini menilai setiap orang yang mengakui dirinya cinta kepada Allah, sedangkan sepak terjangnya bukan pada jalan yang telah dirintis oleh Nabi Muhammad ﷺ, maka sesungguhnya ia adalah orang yang dusta dalam pengakuannya sebelum ia mengikuti syariat Nabi ﷺ dan agama yang dibawanya dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Oleh karena itu jika kita on the track di jalan Nabi ﷺ tentu kita akan baik-baik saja. Negeri ini baik-baik saja. Dunia ini baik-baik saja. Ittiba’ kita kepada Nabi ﷺ adalah bukti cinta kita kepada Allah.
Dengan ittiba’ kepada Nabi ﷺ meniscayakan kita untuk meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupan. Tanpa terkecuali.
Perlu difahami bersama, bahwa Meneladan beliau tidak cukup hanya membatasi pada pribadi beliau sebagai manusia yang memiliki akhlak yang mulia, atau dalam kehidupan keluarga beliau. Namun, mengikuti Nabi dalam semua aktivitas beliau, termasuk dakwah beliau.
Meneladani dakwah Nabi selain dari sisi kesabaran dan istiqomah, yang perlu diperhatikan adalah target yang harus diraih dalam dakwah dan thariqah beliau dalam berdakwah untuk meraih tujuan tersebut. Dakwah on the track harus diikuti tanpa membelot sedikutpun dari arah yang telah dilakukan beliau pada masanya.
Sungguh real dakwah Nabi ﷺ tidaklah hanya sebatas memperbaiki akhlak. Dakwah beliau on the track untuk melangsungkan kehidupan Islam dalam sebuah daulah atau negara Islam.
Saat itu, sebagai pembawa risalah-Nya Nabi ﷺ juga sebagai kepala negara, memimpin perang, mengirim para utusan ke berbagai negeri, mengangkat para wali dan amil, juga sebagai al-hakim yang memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan wahyu.
Apa yang dilakukan beliau diteruskan oleh para sahabat sepeninggal beliau, yakni melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad dalam institusi yang bernama Khilafah sebagai pengganti kepemimpinan Nabi dalam mengatur manusia dengan syariat Islam. Track yang tak menyelisihi jalan Rasulullah Track yang berkonsep sangat jelas. Konsep bernegara yang harus diikuti oleh umat Islam hari ini. Konsep yang menghantarkan pada kejayaan Islam sampai hampir 14 abad lamanya. Everything gonna be alright.
Demikianlah yang terjadi karena track Nabi diikuti tanpa basa-basi. Tanpa nanti namun direalisasi.
Tak Hanya Sekadar Pesta Hari Lahir
Mengingat kelahiran Nabi ﷺ butuh effort untuk memfokuskan pada sosok manusia yang paling berjasa dalam terwujudnya hidup dalam peradaban yang cemerlang. Butuh iqna untuk menjadikan Beliau ﷺ sebagai satu-satunya sosok dengan keteladanan terbaik dalam mengisi ruang dan relung kehidupan. Pada diri Rasulullah ﷺ terdapat suri teladan dalam berkeluarga, dalam memimpin masyarakat dan negara, juga dalam ragam aspek kehidupan lainnya. Beliau ﷺ bagaikan sinar terang terindah yang menerangi kegelapan hidup manusia. Mengangkat dari jurang kebodohan. Dari sisi manapun beliau ﷺ memancarkan kilauan cahaya yang menakjubkan.
Beliau, Nabi ﷺ adalah manusia dengan akhlak terbaik. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau ﷺ adalah Al-Qur’an. Aisyah ra. juga berkata,
“Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad).
Keagungan sosok manusia termulia ini pun diakui dunia Barat. Dr. Michael H. Hart, penulis buku The 100, A Ranking of The Most Influential Person in History, menulis, “Pilihanku untuk menempatkan Muhammad di urutan pertama dalam daftar orang yang paling penting dalam sejarah mungkin akan mengejutkan pembaca. Namun, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang merengkuh keberhasilan tertinggi dalam bidang agama dan dunia. Dia adalah satu-satunya yang telah menyelesaikan pesan agama dengan sempurna, menggariskan aturan-aturannya dan diimani oleh seluruh bangsa ketika dia hidup. Selain agama, dia juga mendirikan negara sebagai media menyatukan suku-suku dalam satu bangsa, menyatukan bangsa-bangsa dalam satu negara dan meletakkan dasar-dasar kehidupan agama. Dialah yang memulai misi agama dan dunia serta menyempurnakannya.”
Sir George Bernard Shaw, (26 July 1856—2 November 1950), Tokoh Irlandia, Pendiri London School of Economics, juga berkomentar, “Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.”
Thomas Carlyle (4 December 1795—5 February 1881), penulis besar dari Skotlandia, pun bertutur, “Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri. Sosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia. Begitulah perintah Sang Pencipta Dunia. (Thomas Carlyle, On Heroes, Hero-Worship, & the Heroic in History).
Orientalis Prancis Andre Srfait berkata, “Nabi ini tidak berbicara tentang perempuan, kecuali dalam kebaikan dan kesantunan. Selalu berusaha memperbaiki nasib hidup perempuan. Sebelumnya, perempuan tidak berhak menerima warisan, bahkan mereka dipandang sebagai properti yang bisa diwariskan. Seolah-olah mereka adalah harta dan budak. Lalu Nabi mengubah situasi ini dan memberikan perempuan hak waris. Muhammad telah membebaskan perempuan Arab. Siapa yang ingin menyelidiki perhatian Nabi terhadap perempuan, silakan membaca khotbahnya di Makkah, yang berpesan supaya berbuat baik kepada perempuan. Bacalah hadis-hadisnya yang banyak.”
Demikianlah, ungkapan beberapa ahli Barat di atas bukanlah dongeng semata. Bukan karangan pelipur lara. Namun semua itu merupakan kisah nyata yang ditangkap mata Barat terkait keagungan Beliau ﷺ. Sehingga dengan mengingat peristiwa maulid Nabi ﷺ, maka bukan semata pesta pora. Namun seharusnya menjadi spirit untuk mengembalikan kembali kejayaan Islam yang pernah dimiliki.
Tuluskah Mencintai Nabi Saw.?
Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, tetapi pada saat yang sama, sebagian dari mereka—khususnya para penguasanya—sering tidak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab. Mereka mengabaikan Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Mencampakkan, dan menolak hukum-hukumnya dengan berbagai alasan. Bahkan mereka menentang sebagian ajaran dan syariatnya.
Bukankah demi Al-Qur’an, syariat, dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan dan diutus? Tuluskah kita mencintai Rasulullah ﷺ?
Kita berduka sekaligus murka saat Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dinistakan. Namun, apakah kita juga berduka dan murka saat Al-Qur’an sekian lama dicampakkan? Saat syariatnya sekian lama tidak dipedulikan? Juga saat hukum-hukumnya sekian lama tidak diterapkan? Bukankah demi Al-Qur’an, syariat, dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad ﷺ rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya?
Mungkin kita telah mengecewakan beliau. Mungkin kita telah menyakiti perasaan beliau hingga beliau mengadu kepada Allah Taala. Rasul (Muhammad) berkata,
“Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sebagai perkara yang diabaikan.” (QS Al-Furqan [25]: 30).
Ayat di atas menceritakan pengaduan Rasulullah saw. kepada Allah Swt. tentang sikap dan perilaku kaumnya terhadap Al-Qur’an. Sebagian mufasir menjelaskan, jika Rasul telah mengadukan kaumnya kepada Allah Swt., maka Allah Swt. menghalalkan azab atas mereka.
Kendati ayat ini berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ketakimanan mereka terhadap Al-Qur’an, susunan ayat ini juga mengancam orang yang berpaling dari Al-Qur’an secara umum, baik yang tidak mengamalkannya, maupun yang tidak mengambil adabnya (Al-Qasimi, Mahâsin at-Tawîl, VII/426).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR Bukhari no. 3093, Muslim no. 1759, dan Abu Daud no. 2970).
Sudah semestinya hari ini menjadi kewajiban manusia yang mengaku sebagai umatnya Nabi Muhammad ﷺ dan berharap syafaatnya untuk ittiba’ secara keseluruhan, tidak membatasi diri hanya pribadi beliau yang agung. Apalagi hanya seremonial peringatan maulid minus ittiba’, bahkan malah memusuhi perjuangan untuk menerapkan risalah Nabi. Na’udzubillahimindzalik.
Butuh Pembuktian
Jika sekarang kita memperingati kelahiran Nabi dengan tujuan utama mencintai Nabi dan bentuk mencintai Nabi adalah ittiba’, maka mestinya kita buktikan. Dengan mencintainya kita makin setia, kukuh, dan makin erat mengikuti apa yang menjadi risalahnya. Bukan malah sebaliknya. Di satu sisi memperingati kelahiran Nabi, tetapi cara berpikirnya tidak seperti yang diajarkan nabi, dan perilakunya di dalam kehidupan tidak seperti Nabi. Aneh kan?
Apakah Nabi pernah menyerukan kepada selain Islam? Tentunya tidak. Lalu mengapa tidak berjuang menerapkan syariat, mendukung sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme, apakah Nabi yang memerintahkan? Tentu bukan. Jika bukan, kenapa dilakukan? Bagaimana bisa berharap nanti di akhirat akan bersama Nabi? Berharap Surga?
Merenungkan dan menjawab dengan Pembuktian atas pertanyaan-pertanyaan di atas sangatlah penting. Karena jika maulid hanya dianggap sekadar simbol agama, tanpa memahami substansinya berbagai paradoks bermunculan. Maulid Nabi diperingati, tetapi diabaikan syariatnya, disisihkan risalahnya, dicemooh syariatnya. Yang berjuang menegakkan syariat dan risalahnya dipersekusi, dikriminalisasi. Mengartikan bahwa cinta Nabi hanyalah dusta.
Oleh karena itu cinta Nabi itu harus dibuktikan. Dua cara bisa kita lakukan,
Pertama, yang paling sederhana adalah dengan selawat kepada Baginda Nabi saw.. Selawat adalah perintah Allah Swt. yang diartikan Imam Al-Asqalani sebagai permohonan kepada Allah untuk memuliakan Nabi dalam memenangkan agama-Nya,ujarnya.
Dalam hadis riwayat Muslim, lanjutnya, dikatakan dalam selawat itu kebaikannya kembali kepada kita. “Barang siapa yang berselawat kepadaku (Nabi) sekali, maka Allah akan berselawat untuknya sepuluh kali.”
Dalam riwayat Thabrani dikatakan, “Barang siapa berselawat kepadaku pada pagi hari sepuluh kali dan petang hari sepuluh kali, maka ia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.”
Jangan katakan cinta kepada Nabi kalau tidak pernah selawat. Ketika disebutkan nama Nabi, tetapi tidak bereaksi apa pun, maka cukuplah seseorang disebut sebagai orang bakhil.
Kedua, yang paling utama adalah ittiba’ kepada Nabi dan ini sekaligus juga bukti cinta kita kepada Allah sebagaimana dalam surah Ali Imron ayat 31, Allah berfirman,
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam Ibnu Katsir mengatakan, bahwa orang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak ittiba’ kepada Nabi dengan ittiba’ yang benar, artinya tidak mengikuti perintah dan larangan-Nya, maka orang itu disebut sebagai kadzdzib atau pendusta.
Sudah seharusnya kita mengikuti perjuangan Rasulullah ﷺ. Kita harus memahami bahwa tidak ada contoh terbaik dari berjuang dalam dakwah Islam, kecuali Nabi, baik itu dalam sifat dan karakternya yang selalu berdasarkan Islam, untuk Islam, kemudian lilLah, bilLah, filLah, juga istiqomah. Butuh bukti cinta yang nyata untuk merealisasikannya.
Sekalipun cinta amal hati, tidak bisa dilihat secara langsung, tetapi cinta bisa dilihat dengan tanda dan jejak-nya. Sebagaimana seseorang yang tidak melihat ada unta, tetapi ada jejaknya, menunjukkan ada unta yang baru lewat di tempat itu. Qadhi ‘Iyadh menyatakan,
اِعْلَمْ أَنَّ مَنْ اَحَبَّ شَيْئًا اَثَرَهُ وَاَثَرَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإِلاَّ لَمْ يَكُنْ صَادِقًا فِيْ حُبِّهِ
“Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengeklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang), maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya, tidak benar klaim cintanya.” (Ats-Tsa’alabi, Al-Jawâhir al-Hasan fî Tafsîr al-Qur’ân, 1/200).
Kecintaan kepada Rasulullah ﷺ tentu harus dibuktikan secara nyata dengan menaati Beliau, sekaligus meneladani tharîqah (jalan hidup) Beliau. Di antara perkara yang paling menonjol yang wajib diteladan dari tharîqah Nabi saw. adalah kepemimpinan beliau sebagai kepala Negara Islam. Kepemimpinan inilah yang kemudian diikuti, diteladan, dan dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin dalam institusi Khilafah Islam.
Di antara teladan paling menonjol dari kepemimpinan Rasulullah ﷺ dan Khulafaurasyidin tentu saja adalah penerapan dan penegakan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang layak dan wajib dicontoh oleh para pemimpin muslim saat ini.
Apalagi penerapan dan penegakan syariat Islam ini akan menjadi kunci mendapatkan penjagaan dari Allah Swt.. Rasul saw. berpesan,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati Allah di hadapanmu.” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).
Al-Hafizh Ibnu Rajab (w. 795 H) di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan: IhfazhilLâh (jagalah Allah) maksudnya adalah menjaga hudud, hak-hak, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Menjaga semua itu adalah dengan menaati perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan tidak melanggar hudud (batasan-batasan)-Nya.
Jika hudud dan syariat Allah senantiasa dijaga, maka segala perkara bagi umat ini akan menjadi baik, ketenangan dan ketenteraman hidup tercapai, kemakmuran bisa dirasakan, kemuliaan didapatkan, keberkahan Allah akan dilimpahkan, dan keridaan-Nya pasti dicurahkan.
Demikianlah agar senantiasa mendapat penjagaan Allah SWT secara sempurna, umat Islam harus berjuang untuk mewujudkan penerapan syariat secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Penerapan syariat secara kafah ini hanya mungkin terwujud dalam institusi Islam yang paripurna, yaitu institusi Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Wallaahu a’laam bisshawaab.
COMMENTS