Tarif PPN Naik, Hidup Rakyat Kian Tercekik


Oleh : Julia Sara, S.I.Kom


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, kebijakan kenaikan tarif pajak pada 2025 tidak akan ada penundaan. Sebagaimana diketahui, tarif PPN saat ini sebesar 11% sejak 2022, atau telah naik sesuai ketentuan Undang-Undang pasal 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025 (www.cnbcindonesiacom, 08/03/2024).



Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menuturkan kenaikan tarif ini akan berlanjut karena keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Sebab itu, kebijakan dan rancangan dari program Jokowi akan dilaksanakan pada pemerintahan berikutnya.



“Tentu masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan-pilihannya adalah keberlanjutan, kalau keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” ucap Airlangga (tirtoid, 08/03/2024).



Rakyat Jadi Tumbal Kebijakan


Ungkapan ini selaras menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat yang dihadapkan pada bencana keuangan dan kenaikan komoditas yang menjadi kebutuhan hidup.



Selain PPN yang merangkak naik, sejumlah komoditi seperti beras, minyak, bensin, dan kebutuhan pokok lain yang sebelumnya telah meroket lebih dulu semakin menambah kepelikan hidup yang rakyat rasakan. Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia berasal dari golongan bawah. Jangankan untuk menambah beban biaya lainnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat maksimal diupayakan dengan pendapatan yang tidak seberapa.



Belum lagi lapangan pekerjan yang tidak memadai, banyaknya PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan akan semakin menambah beban ekonomi rakyat. Tak dapat dipungkiri memang, jika setiap kebijakan yang dihasilkan hanya memihak pada pembuat kebijakan bukan pada rakyat yang telah mewakilkan suaranya.



UU HPP memang ada potensi untuk diubah, tapi melihat keberpihakan para pembuat kebijakan, tentu sangat mustahil dilakukan revisi atau bahkan dihapuskan karena fatsun politik UU HPP ini sudah sejak tahun 2021 dibicarakan dan memang sudah ditemukan akhirnya seperti apa.



Sejatinya, PPN yang dimanfaatkan menjadi pendapatan negara tidak mampu menambal pendapatan jika masih ada korupsi yang menghantui. Seberapa besar pun pajak yang diambil dan dinaikkan dari rakyat, tak akan menyelesaikan persoalan selama masalah masih bercokol di sana.



Sistem kapitalisme yang menjadi asas ekonomi pun semakin menambah keruwetan yang ada, karena masalah dari sumber masalah ialah masih bercokolnya sistem ini dalam kehidupan bermasyarakat yang mengakibatkan terganggunya stabilitas hidup dan ekonomi.



Sistem ini hanya memandang modal sebagai peranan utama dan kepentingan menjadi teman setianya. Tak heran jika  segala sesuatunya memerlukan modal untuk melancarkan hajat pemerintah dan pengusaha yang bermain di balik kekuasaan.



Kenaikan pajak bukanlah solusi yang bijak. Justru, pajak sebagai sumber pendapatan negara adalah kebijakan yang salah. Karena sejatinya negara memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, di antaranya adalah pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat yang juga dapat menjadi salah satu sumber pemasukan harta negara.



Dengan pengelolaan yang baik dan transparan, rakyat juga akan terbuka dan merasa aman, bahkan dengan sukarela akan menghibahkan penghasilan sumber daya alam untuk kemajuan negara. Namun, lagi-lagi jika sistem kapitalisme masih bercokol akan sulit diwujudkan karena mengancam eksistensi pengusaha untuk mengelola secara pribadi.



Islam Solusi Hakiki Selamatkan Ekonomi


Islam memiliki berbagai sumber pendapatan negara, yang akan cukup untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera untuk rakyatnya. Di dalam sistem Islam, pajak hanyalah pemasukan yang bersifat insidental. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama. Khilafah (pemimpin negara) tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus-menerus sebagaimana negara kapitalis saat ini.



Maka, langkah pertama yang dilakukan sebelum mengambil sistem Islam ialah, buang dulu sistem kapitalisme dari kehidupan ini dan digantikan dengan sistem Islam yang rahmatan lil'alamiin.



Ada beberapa pos-pos keuangan yang menjadi pemasukan negara agar tidak bergantung pada pajak yang diambil dari rakyat. Karena sejatinya, negara ada untuk mengurus rakyat, bukan malah memerasnya dari berbagai sumber yang ada.



Pertama, bagian fai dan kharaj, meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak).



Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.



Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.



Ketiga bagian tersebut akan mengurusi keuangan negara dengan adil dan hati-hati sehingga tidak akan terjadi ketimpangan dan masalah korupsi. Dan jika pemerintah mau mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, negara akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menaikkan pajak.



Wallahhu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post