Harga Pangan Terus Melambung, Masyarakat Dibuat Bingung


Oleh Sriyanti

Ibu Rumah Tangga



Warga Kota Bandung dibuat bingung menyikapi harga cabai melambung hingga menembus Rp 110.000/Kg untuk jenis rawit domba. Subur, salah satu penjual di Pasar Tagog mengungkapkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh banyaknya permintaan di tengah stok barang terbatas karena petani gagal panen. Sementara pedagang di Pasar Cikutra mengatakan, kondisi ini sudah biasa terjadi ketika menjelang Bulan Ramadan. Mereka pun berharap semuanya kembali normal. (Hasanahid 12/03/2024)


Fantastis, itulah ungkapan yang terlontar untuk mengomentari harga cabai yang hampir setara dengan daging. Si pedas yang menjadi penambah nikmatnya makan ini memang merupakan bahan pangan favorit yang banyak dibeli masyarakat, tentunya kenaikannya sangat mempengaruhi ekonomi mereka karena harus mengeluarkan kocek lebih. Datangnya Ramadan kerap dijadikan dalih, padahal jauh sebelumnya harga-harga kebutuhan dapur seperti sayuran, beras, telur dan sebagainya  sudah melambung.


Menanggapi kondisi ini, sebagaimana biasanya pemerintah kerap berdalih bahwa hal tersebut dikarenakan stok bahan pangan yang menipis karena petani gagal panen akibat kurangnya teknologi, cuaca dan sebagainya. Padahal di balik itu mereka mengeluhkan akan mahalnya biaya produksi seperti pupuk, tidak tersedianya bibit unggul dan sarana produksi pertanian lainnya menyebabkan hasil tanam mereka tidak maksimal, bukan hanya faktor cuaca dan teknologi saja. 


Negara seharusnya bisa mecari solusi untuk hambatan-hambatan tersebut, karena mewujudkan kesejahteraan masyarakat termasuk petani, serta mengoptimalkan produktivitas pertanian yang berkelanjutan merupakan salah satu kewajiban utamanya. Ranah penguasa adalah membuat kebijakan, bukan bersikap pasrah dengan mengkambinghitamkan cuaca ekstrim.


Inilah fenomena yang kerap terjadi di negeri kapitalis, di mana yang berkuasa adalah para pemilik modal. Negara lemah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan dan pengurus rakyat, salah satunya dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, agar bisa didapat dengan mudah dan murah. Terlebih di bulan mulia ini agar masyarakat bisa fokus menjalankan ibadah, tanpa memikirkan kesulitan pangan. Momen yang harusnya dijadikan untuk mendulang pahala, justru menjadi sasaran empuk para cukong untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.


Dalam sistem kapitalisme, negara hanya hadir sebagai regulator. Sementara di sisi lain keberadaan korporat semakin menancap kuat. Mereka diberi keleluasaan untuk menguasai rantai pengadaan pangan masyarakat. Dari segi produksi, pembuatan pupuk, benih dan saprotan banyak dikuasai oleh perusahaan swasta. Sedangkan di sisi distribusi, penguasa abai dalam pengaturan dan pengawasan, bermunculan para mafia pangan. Praktik kecurangan dan penimbunan juga sulit ditertibkan karena sanksi yang ada tidak tegas. Maka harga kebutuhan bahan makanan pokok seperti cabai, terus melambung karena kesalahan tata kelola. Masyarakat semakin kesulitan dan bingung. 


Kenaikan harga bahan pangan termasuk cabai, merupakan masalah pangan yang terus berulang tiap tahun.  Selama tata kelolanya masih menggunakan konsep kapitalisme, solusi apapun tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan ini. Diperlukan penyelesaian mengakar terkait dengan sistem yang benar, agar problem ini terurai tuntas yaitu penerapan sistem Islam.


Dalam Islam mewujudkan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab negara. Adanya kelalaian atau pengabaian penguasa atas urusan umatnya adalah perbuatan dosa, yang kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah Swt. Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Wahai Allah, barangsiapa yang memimpin suatu urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka maka susahkanlah dia." (HR Muttafaq 'alaih)


Untuk itu, seorang penguasa muslim  akan berupaya secara maksimal agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dengan menata tata kelola pertanian secara menyeluruh. Adapun langkah-langkah untuk mengatur berjalannya proses tersebut di antaranya adalah, pertama dengan intensifikasi pertanian, peningkatan produksi cabai misalnya, bisa dilakukan dengan penggunaan teknologi biologi dan kimia (pupuk, benih unggul, pestisida, dan herbisida), serta teknologi mekanis (kombinasi alat seta manajemen air irigasi dan drainase) dan ekstensifikasi, yaitu dengan menambah lahan untuk bercocok tanam. Petani juga akan diedukasi terkait seluk-beluk pertanian. Seluruh sarana dan prasarana tersebut akan bisa diakses dengan mudah, murah bahkan gratis.


Kedua, melakukan antisipasi terhadap perubahan cuaca yang fluktuatif. Pemerintah bisa memperbanyak stok produksi pertanian ketika panen raya,  juga melakukan berbagai teknik rekayasa agar pasokan pangan aman.


Ketiga terkait kepemilikan tanah, hal ini juga akan mempengaruhi ketahanan pangan, apalagi jika tidak sesuai ketentuan syariat Islam. Alih fungsi lahan yang saat ini masif dilakukan, tidak sedikit yang membabad tanah pertanian yang subur. 


Keempat, mengatur  distribusi pertanian hingga merata terjangkau ke seluruh pelosok negeri, melarang dan mencegah praktik-praktik kecurangan, penimbunan, dan monopoli pasar. Serta memberi sanksi yang tegas pada pelaku kejahatan tersebut.


Itulah sedikit gambaran bagaimana tata kelola sistem Islam dalam urusan pangan, yang demikian telah terbukti ketika dahulu Islam diterapkan kurang lebih 13 abad lamanya. Menjadikan umatnya sejahtera dan peradabannya menjadi mercusuar dunia. Maka kembali menerapkan Islam adalah solusi seluruh permasalahan kehidupan.



Wallahu alam bi as shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post