Aktivis Muslimah
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengurangi
690 ribu keluarga penerima bantuan sosial (bansos) beras 10 kg per bulan dari
21,35 juta ke 20,66 juta yang berlaku
untuk sisa masa penyaluran hingga akhir 2023. Menurut Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan
Bapanas Rachmi Widiriani, koreksi
data penerima berdasarkan validasi dari kementerian sosial yang menyebut ada
beberapa penerima manfaat sebelumnya yang kini sudah meninggal dunia, pindah
lokasi, maupun dianggap sudah mampu.
Sampai 25 Oktober 2023 tercatat penyaluran
beras melalui Perum Bulog mencapai 404.392 ton alias 67%. Kepala Bapanas Arief
Prasetya Adi mengatakan bantuan pangan ini penting bagi masyarakat
berpendapatan rendah sehingga pengeluaran untuk pangan bisa ditekan.
Dari pemberitaan tersebut disebutkan bahwa
alasan penerima bansos adalah meninggal dunia, pindah lokasi, atau rakyat yang
dianggap sudah mampu. Alasan ini tentu layak dipertanyakan, kalaupun pindah
tentunya masih dalam wilayah Indonesia dan kondisinya masih sama. Sementara
jika rakyat telah mampu diduga kemungkinannya sangat kecil di tengah masa
ekonomi yang melambat pasca Covid-19. Ditambah lagi harga
bahan pangan yang meroket menambah beban kehidupan, tingginya angka
kriminalitas dan pengangguran sebenarnya menjadi penanda kuat masih banyaknya
masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan membutuhkan bantuan sosial.
Penyaluran bansos di negeri ini sebenarnya
sudah menuai banyak persoalan mulai dari tidak semua keluarga miskin mendapat
bantuan, penerima bantuan tidak tepat sasaran, kondisi bantuan tidak layak,
adanya penyunatan dana bantuan, politisi bansos, korupsi bansos, dan lain-lain. Kondisi ini
menjadikan dugaan manipulasi data tidak bisa disingkirkan.
Berbagai persoalan bantuan sosial di
negeri ini sejatinya menggambarkan abainya negara dalam menjamin terpenuhinya
kebutuhan pokok warga negaranya. Lepas tanggung jawabnya negara dalam mengurusi
urusan rakyatnya adalah perkara mutlak dalam sistem demokrasi- kapitalisme
sebab penguasa dalam sistem ini terpilih melalui proses demokrasi yang mahal
dan secara pasti mengandalkan para pemilik modal.
Tak heran meski dipilih oleh rakyat,
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan saat berkuasa sarat dengan keberpihakan
penguasa pada korporasi atau pemilik modal. Apalagi prinsip kepemimpinan dalam
sistem demokrasi adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan meraih
kekuasaan setinggi-tingginya. Kepemimpinan seperti ini tentu hanya akan
menyengsarakan rakyat. Adanya bantuan sosial yang selama ini dianggarkan
pemerintah pun diduga kuat hanya untuk membuat rakyat tetap bisa bertahan hidup
agar tetap berdaya secara ekonomi. Semua ini lagi-lagi hanya untuk memenuhi
keserakahan para pemilik modal.
Sistem politik demokrasi dan sistem
ekonomi kapitalisme sejatinya merupakan sistem batil yang berasaskan sekularisme atau pemisahan
agama dari kehidupan. Sehingga tak heran aturan Allah dalam mengatur kehidupan
dengan sempurna pun diabaikan. Sistem ini pun telah meletakkan makna
kebahagiaan sebagai kenikmatan dan kesenangan materi sebesar-besarnya. Oleh
karena itu siapa pun yang menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalisme
maka kebijakannya dipastikan abai terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya,
kemiskinan dan kelaparan pun akan tetap eksis dalam sistem ini. Demikian pula
kesejahteraan akan menjadi mimpi bagi masyarakat.
Kondisi berbeda tentu akan kita temukan
dalam sistem Islam, yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Islam
telah menetapkan bahwa negara bertanggung jawab penuh dalam menjamin
terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat berupa pangan, sandang, dan papan. Demikian
pula pelayanan berupa kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah SAW, “Imam
(khalifah) adalah pengurus
(ra’ain)
dan dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya” (HR Imam Bukhari).
Oleh sebab itu Islam mewajibkan negara
peduli terhadap nasib rakyatnya hingga menjamin kesejahteraan rakyatnya individu
per individu dengan berbagai mekanisme. Bahkan jaminan yang diberikan negara
harus dengan kualitas terbaik dan kuantitas memadai yang juga berlaku untuk
seluruh warga negara Khilafah
tanpa kecuali. Mekanisme ini telah ditetapkan oleh syariat Islam.[]