> Proyek Investasi Eco City Pulau Rempang: Ambisi Penguasa dan Oligarki, Warga dipaksa Relokasi! - NusantaraNews

Latest News

Proyek Investasi Eco City Pulau Rempang: Ambisi Penguasa dan Oligarki, Warga dipaksa Relokasi!


Oleh : Munawwaroh., M.E


Ribuan warga kampung melayu di kepulauan Rempang  yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut terancam kehilangan sejarah dan tanah leluhurnya akibat pengembangan kawasan industri, perdagangan dan pariwisata. Seperti yang diketahui terdapat 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit. Berdasarkan temuan Ombudsman di Pulau Rempang, menemukan sejumlah unsur penetapan kampung tua, yakni patok perkampungan tua, makam-makam tua, pohon-pohon budidaya lama berusia ratusan tahun, serta dokumen lama yang menandakan masyarakat telah lama bermukim di Rempang, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka yakni semenjak 1843.


Selama ratusan tahun menempati warisan nenek moyang mereka yang merupakan para pejuang dari kesultanan Riau yang mengusir para penjajah, hidup beranak pinak yang tadinya aman dan damai, sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai nelayan, bertani, berdagang dan sebagian kecil sebagai pegawai dan lainnya. Seketika berubah bagaikan mimpi buruk, karena wilayah yang mereka diami dilihat dari kaca mata bisnis sangatlah strategis, ambisi penguasa dan oligarki pun segera dieksekusi dengan dibantu militer yang tugasnya sudah beralih fungsi yang tadinya “mengayomi dan melindungi” kini menjadi alat Negara untuk memberangus warga dengan bahasa yang kesannya halus, yakni relokasi (pemindahan) padahal sebenarnya adalah pengusiran. Ratusan personel lengkap dengan persenjaan  dikerahkan oleh penguasa negeri ini dengan dalih pengamanan wilayah. Apa maksudnya Pengamanan wilayah, Bukankah penguasa dzolim di Negeri ini yang telah membuat keresahan warga Rempang?  Mereka ini adalah warga sipil yang lemah tak berdaya menuntut haknya agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka karena memiliki bukti KTP serta membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).  Sungguh miris, yang katanya “kedaulatan ditangan rakyat” hanyalah slogan kosong tak bermakna, realitanya kedaulatan ditangan pemilik modal (oligarki). 


Melalui laman BP Batam, Rempang Eco-City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam PSN 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2023. Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. Proyek tersebut rencananya digarap oleh PT MEG dengan target investasi mencapai Rp 381 triliun pada tahun 2080. PT MEG merupakan rekan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam. Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang. Guna menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17 ribu hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Pemerintah juga menargetkan pengembangan Rempang Eco-City dapat menyerap sekitar 306 ribu tenaga kerja hingga 2080.


Proyek startegis ini dimaksudkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Negara berkedok investasi padahal sesungguhnya menjual pulau. Karena status investor sejatinya bukanlah pegawai Negara yang dikontrak untuk bekerja sesuai keahlian, justru mereka ini kedudukannya lebih dominan menguasai pulau karena mereka yang punya modal sehingga merekalah yang berhak untuk memperoleh keuntungan yang besar. Bagaimana tidak, pengembangan pulau rempang di awali dengan investasi produsen kaca terkemuka Xinyi Internasional Invesment Limited dari cina yang berkomitmen sekitar Rp.175 triluin untuk membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca panel surya terbesar di Asia Tenggara. Yang sama-sama kita ketahui pulau Rempang kaya akan pasir kuarsa dan pasir silika serta sumber daya alam lainnya yang pasti akan terancam di eksploitasi. 


Selanjutnya, Apakah setelah dibangun proyek besar tersebut nantinya akan memberi efek kepada rakyat dalam menyerap tenaga kerja yang katanya ratusan ribu, ataukah didatangkan dari asing dan aseng dengan berdalih SDM kita belum mumpuni dalam skill maupun teknologi. Lagu lama tersebut terus saja diputar mengingat kebijakan penguasa negeri ini yang sangat dzolim terhadap rakyat, berulangkali melakukan relokasi warga untuk proyek-proyek besar misalnya: proyek Mandalika, proyek Bandung Kertadjati dan masih banyak lagi dilakukan untuk kepentingan segelintir orang saja (oligarki). 


Dalam hal ini, Polda Kepulauan Riau menyatakan telah memulangkan 200 personel Satuan Brimob Polda Riau yang sebelumnya dikirim untuk mendukung pengamanan unjuk rasa warga Rempang yang bertugas di bawah kendali operasi (BKO). Pengembalian anggota Brimob Polda Riau tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan permasalahan Pulau Rempang dilakukan secara humanis. Namun, ia mengakui masih ada anggota Polri di sekitar wilayah Pulau Rempang. “Bukan untuk mengintimidasi ataupun melakukan penekanan-penekanan tertentu," kata Zahmani mengeklaim dikutip dari Republikaid (kamis, 28/9/2023).


Selang sehari kemudian, Melalui VIVACOiD Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus Rempang Eco City sudah ditangani secara baik, maka dari itu ia meminta tidak perlu lagi dibesar-besarkan apabila ada kesalahan dalam penanganan di Daerah Rempang Kepulauan Riau.“Saya kira Rempang udah ditangani dengan baik sekarang. Tidak perlu dibesar-besarkan kalau ada yang kurang, kalau ada yang membuat salah. Saya kira penanganan sudah terarah,” kata Luhut dikutip pada Jumat, 29 September 2023. 


Begitu mudahnya membuat pernyataan yang seolah-olah semuanya baik-baik saja! Padahal kedzoliman yang telah dilakukan  yakni, tindakan kekerasan yang melukai fisik maupun secara psikis menyisakan traumatik dan sangat melukai hati warga Rempang. bagaimana tidak, mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi, militer dengan segala perlengkapan bersenjata seakan sedang menghadapi musuh besar, padahal yang dihadapi hanyalah warga sipil yang bermodalkan semangat untuk menuntut haknya sebagai warga negara, mereka ditembaki gas air mata bahkan anak-anak sekolah, perempuan dan anak-anak balita pun ikut terkena imbasnya. Belum lagi beberapa petugas relokasi yang membuat warga merasa tertekan oleh desakan untuk mendaftarkan diri pada program relokasi, ditambah anggota polri yang masih berkeliaran berkeliling disekitaran rumah-rumah warga siang dan malam, mereka yang tetap kekeh tinggal disana bahkan diintimidasi mereka mengalami ketakutan, bahkan warga disiang hari tidak bekerja takut rumahnya digusur, sementara kebutuhan sehari-hari harus terpenuhi, malamnya mereka merasa kesulitan tidur, bahkan sampai tidak berselera makan berhari-hari memikirkan nasib mereka kedepannya.


Sejatinya, dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 berbunyi” bahwa investasi untuk perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan melindungi tumpah darah Indonesia”. Apakah undang-undang ini hanya tekstual saja namun dalam prakteknya jauh panggang dari api? Entahlah, hanya karena proyek industri dan investasi besar-besaran bernilai ratusan triliun rupiah sehingga penguasa menjadi lapar mata. Selain itu,  bahwa konstitusi Negeri ini juga menjamin hak asasi manusia (HAM), Dalam hal ini warga Rempang apakah mendapatkan perlindungan HAM? Lagi-lagi standar ganda! Aturan bisa saja berubah sesuai kepentingan (asas manfaat) untung dan rugi.


Padahal, pembangunan Rempang Eco City tidak dialokasikan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah pada tingkat daerah hingga nasional. Dalam Perda 3/2021 tentang RTRW Kota Batam, pembangunan infrastruktur hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru. Dalam RTRW Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 pun, "tidak ada yang secara spesifik menunjukkan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,”  ujar Satrio Manggala dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) BBCNewIndonesia (28/9/2023). 


Lalu mengapa kebijakan penguasa terkesan gegabah dan mendesak warga untuk segera mengosongkan wilayah Rempang tersebut pada tanggal 28 september lalu meskipun hal itu urung dilakukan namun bukan berarti proyek dibatalkan. Apakah ada desakan dari pihak investor agar segera melakukan clean and clear? sedangkan seperti yang kita ketahui juga belum ada kejelasan hukum terkait kompensasi penyediaan perumahan dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan yakni tanah seluas 500 m2 dan rumah tipe 45 tersebut. Kemana warga akan tinggal sementara? Apakah cukup dengan uang 1,2 juta yang dijanjikan diberikan tiap bulannya untuk sewa dan kebutuhan sehari-hari? ditambah lagi warga harus kehilangan mata pencaharian dan lainnya.


Sungguh kedzoliman penguasa negeri ini sudah akut bagaikan kanker stadium tinggi. Mengingat jejak digital tak dapat dihilangkan, kampanye pilpres 2019 lalu di Batam, ia sempat menjanjikan sertifikat kepada warga Kampung Tua di pulau rempang, dimana selama ini status tanahnya masih tumpang tindih. “jadi saya ingin sampaikan dua hal, yang pertama pembuatan sertifikat untuk kampung tua. Siapa yang setuju kampung tua disertifikasi? Yang kedua akan kami lakukan maksimal tiga bulan akan kami selesaikan (terbit sertifikat)” Ungkap jokowi saat melakukan orasi politik di kompleks stadon Temenggung Abdul Jamal, Kota Batam (6/4/2019). 


Apakah janji manis demokrasi tersebut terealisasi? Tentu saja tidak, hingga saat ini sertifikat warga tak kunjung terbit, yang ada warga di usir dari kampung mereka untuk kepentingan oligarki. Inilah realita kedzoliman penguasa di sistem kapitalisme demokrasi, meskipun personel telah dipulangkan, namun hal tersebut tentu tidak mengurungkan niatnya untuk membatalkan proyek ini, mengingat target penyelesaian permasalahan di Rempang (konflik agraria) tersebut dapat diselesaikan diawal tahun 2024, selama tiga bulan kedepan dilakukan pendekatan persuasif oleh petugas relokasi dan militer berdasarkan intruksi menteri segala bidang tersebut.


Kedzoliman penguasa tersebut memicu berbagai organisasi kemasyarakatan, mahasiswa, organisasi islam dan lainnya dari berbagai daerah, baik perhimpunan masyarakat melayu sendiri diberbagai daerah maupun dari perhimpunan suku daerah lainnya  bereaksi dan menyatakan dukungan terhadap warga rempang. Melihat kondisi ini sepertinya sebagian besar rakyat mulai sadar akan ketakutan serta mimpi buruk negeri ini yang katanya dikuasai oleh orang-orang yang pancasilais, NKRI harga mati, namun kenyataanya menjual kekayaan sumber daya alam negeri. Jika dibiarkan tentu saja rezim ini akan semakin leluasa dengan tentakel-tentakelnya mencengkram negeri, seperti yang kita lihat selanjutnya proyek Air bagis yang ada di Sumatera Barat menyusul selanjutnya sepanjang pesisir pantai selatan sumatera bisa jadi akan dikuasai asing dan aseng.


Hal ini tidak bisa dipungkiri melihat arah pembangunan Negara ini yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui investasi (asing dan aseng), bahkan UU ciptaker yang telah dilegalisasi pemerintah beberapa waktu lalu semakin memudahkan penggunaan lahan untuk proyek strategis nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur. Aturan tersebut memberikan keistimewaan umum untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. hal ini saja rakyat yang dirugikan selain kehilangan tempat tinggal juga kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Beginilah ketidakadilan penguasa di sistem kapitalisme demokrasi,  Sikap penguasa Ini membuktikan bahwa penguasa di negeri ini telah menunjukan jati dirinya secara hakiki yakni hanya sebagai regulator yang hanya berpihak kepada kepentingan korporasi. Sistem kapitaliasme hanya menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki sebab pembangunan yang berlangsung lebih berpihak kepada oligarki, bukan melayani rakyat. 


Berbeda halnya dengan pembangunan dalam islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai wujud tanggung jawab Negara sebagai raa’in (pengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam: “ Imam atau khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari). Dalam hal ini khalifah hadir sebagai penanggung jawab segala urusan rakyatnya melalui penerapan syariat islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Karena fungsi dari pelaksaan hukum syariat adalah untuk mencegah dan mengantisipasi munculnya masalah dan konflik ditengah kehidupan manusia dan juga menyelesaikan berbagai masalah dengan adil.


Pembangunan dalam islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, lahan-lahan yang digunakan untuk pembangunan pun dikembalikan pada status lahan yang mengikuti konsep pengaturan tanah dalam islam. islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’alla. Ada tiga jenis kepemilikan tanah yakni: pertama, tanah milik individu (tanah pertanian atau lading perkebunan yang diperoleh dari bekerja keras, warisan maupun hibah), kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum, yaitu tanah yang didalamnya terdapat harta milik umum (tanah hutan, tambang dan berbagai infrastruktur umum) dan haram diprivatisasi oleh korporasi sebab akan menghalangi akses bagi oranglain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang memicu terjadinya konflik. ketiga, tanah milik Negara yakni tanah yang tidak berpemilik atau tanah yang diatasnya terdapat bangunan milik Negara, tanah ini wajib dikelola oleh Negara sepenuhnya. Karena kepemilikan didalam islam harus sejalan dengan pengelolaannya, jika ditemukan tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya maka siapapun boleh memiliki tanah tersebut selama ia mau mengelolanya, namun jika ditemukan tanah milik seseorang yang tidak digarap selama tiga tahun berturut-turut maka tanah tersebut akan hilang status kepemilikannya dan menjadi milik Negara.


Pengaturan seperti ini akan melindungi seseorang atas tanahnya sekalipun tidak memiliki surat-surat tanah sebab kepemilikan itu sudah ditunjukan dengan pengelolaan atas tanah tersebut. Adapun jika Negara ingin membangun di atas tanah milik warga, maka Negara harus mendapat izin dari warga yang bersangkutan jika warga menolak, maka Negara tidak boleh memaksakan. Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam khilafah yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.Wallahu A’lam bishowab….

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.