Sàngat miris, kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) kini marak di sejumlah daerah. Seperti Karhutla yang terjadi di kawasan Bromo, akibat sepasang kekasih yang melakukan foto prewedding dengan menyalakan flare. Total lahan yang terbakar diperkirakan 500 hektare. Terjadi juga Karhutla di Desa Nurabelen, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Jumat (25/8) yang dipicu akibat adanya praktik pembersihan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran itu telah melahap lahan seluas 40 hektar. Pantau Gambut memiliki beberapa catatan pada kejadian karhutla yang terjadi selama Agustus 2023, setidaknya 271 area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terbakar. KHG yang terbakar tersebar pada 89 kabupaten/kota pada 19 provinsi di Indonesia, dimana Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah menjadi dua daerah dengan kebakaran paling intens.
Titik Karhutla yang terjadi di provinsi Kalimantan, khususnya berada di titik Kalimantan Barat dengan intensitas titik api sedang hingga tinggi. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ully Artha Siagian menyampaikan kejadian karhutla di Kalimantan yang terus terulang karena pemerintah tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA). Ully menjelaskan, salah urusnya negara tersebut mengkibatkan tidak adanya perlindungan yang ketat terhadap wilayah-wilayah yang penting dan rentan. Salah satunya lahan gambut dan hutan. Lahan gambut dan hutan di Kalimantan sudah banyak dibebani dengan perizinan, baik perizinan monokultur sawit, pertambangan, dan izin di sektor kehutanan lainnya. Ada 900 perusahaan yang beroperasi di lahan gambut dan hutan.
Faktor pembakaran ada yang terjadi karena tidak disengaja dan yang disengaja. Faktor yang disengaja, banyak dilakukan perusahaan dengan melakukan pembakaran hutan untuk land clearing (pembukaan lahan). Dengan Land clearing ini, biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah. Faktor sengaja lainnya, membakar untuk mengajukan asuransi. Karena setiap konsesi memiliki asuransi, kemudian sengaja dibakar agar bisa mengakses asuransi. Jadilah pembakaran hutan dan lahan semakin meluas. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan jumlah titik api hingga Selasa (5/9) sudah "naik tinggi" menjadi 3.788 atau hampir empat kali lipat apabila dibandingkan dengan data tahun lalu sebanyak 979 titik.
Kabut asap imbas karhutla yang meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu, menyebabkan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga meningkat, bahkan sampai mengganggu negara tetangga. Pegiat lingkungan khawatir situasinya “dapat memburuk” mengingat musim kemarau yang kering –akibat fenomena El Nino—masih akan berlangsung hingga Oktober. El Nino memang berpengaruh, namun melihat berulangnya kasus selama beberapa tahun, menunjukkan mitigasi belum berjalan baik, optimal dan antisipasif. MItigasi bencana adalah segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pembangunan secara fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Wikipedia). Selain itu, pemerintah harus segera menindak tegas korporasi yang menyebabkan karhutla.
Keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam negara Islam, mengingat larangan untuk membawa kemadharatan bagi setiap insan. Islam mewajibkan negara menjadi pelindung bagi rakyat akan berbagai bahaya yang mengancam, dianataranya melalui kebijakan yang komprehensif, solutif, dan efektif.
Dalam Islam, tidak ada masalah yang tidak memiliki solusinya, termasuk karhutla. Karhutla bisa teratasi dengan tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kafah. Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya akan menggunakan prinsip berikut.
Pertama, tidak ada kebebasan mutlak dalam Islam. Setiap individu wajib terikat syariat Islam. Individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih dahulu bisa menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem. Negara akan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa menjaga alam dan ekosistem adalah kewajiban bagi setiap muslim. Selain itu, negara akan melakukan pengontrolan dan pengawasan setiap aktivitas yang bertujuan untuk memanfaatkan hutan, baik secara individu maupun kelompok. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera. Kedua, hutan merupakan kepemilikan umum yang mana pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, maupun asing. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya. Ketiga, negara boleh memproteksi hutan sebagai kawasan konversi dengan menetapkannya sebagai hima. Hal ini dapat dilakukan jika eksplorasi hutan menimbulkan potensi bahaya dan bencana ekologis bagi masyarakat. Negara boleh melakukan konservasi hutan dalam upaya melindungi hak-hak ekologi dan SDA yang asli. Dengan ketiga prinsip ini, tidak akan ada eksploitasi hutan secara ugal-ugalan. Ketika sistem Khilafah diterapkan, negara dapat menjalankan fungsinya yakni mengurusi seluruh urusan rakyat.