> Islam Melindungi Kepemilikan Lahan - NusantaraNews

Latest News

Islam Melindungi Kepemilikan Lahan


Wiwik Afrah 
(Aktivis Muslimah)


Bentrok antara aparat dan warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7-9-2023) menuai banyak kritikan. Pasalnya, aksi memaksa masuk ke kawasan pemukiman itu menyebabkan sejumlah warga terluka dan diamankan, hingga pelajar yang dilarikan ke Rumah Sakit karena terkena gas air mata.


Berdasarkan informasi dari Fraksi Rakyat Indonesia, pecahnya bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP dipicu oleh warga yang tidak setuju dengan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan mereka.


Pasalnya, 10.000 warga Pulau Rempang-Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua, terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka huni turun-temurun sejak 1834. “Ruang hidup mereka diincar pebisnis rakus yang didukung rezim Jokowi yang pro investasi, meski membuat rakyatnya sendiri mati,” ucap Fraksi Rakyat Indonesia.


Mereka menuturkan bahwa PT Makmur Elok Graha (MEG) diberikan konsesi 17.000 hektare sampai 2080 karena dianggap mampu menanam investasi Rp381 triliun. PT MEG merupakan anak perusahaan Artha Graha, yang sahamnya dimiliki oleh Tomy Winata.


Konsesi itu diberikan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam selama 80 tahun untuk dijadikan kawasan bisnis Rempang Eco City di Pulau Rempang-Galang. Hebatnya lagi, tambahnya demi investasi itu bahkan KLHK rela melepaskan 7.560 hektare kawasan hutan yang penting bagi kelestarian ekosistem untuk dijadikan proyek tersebut.


Pengamat kebijakan publik Dr.Riyan, M.Ag menilai, bentrok yang terjadi di Rempang merupakan cermin kezaliman penguasa. “Secara mikro, lagi-lagi ini cermin kezaliman. Ia melanjutkan, pembangunan seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan segelintir oligarki. 


Secara analisis makronya, peristiwa Rempang sebenarnya mencerminkan kegagalan dari kapitalisme dalam mensejahterakan rakyat. Ketika modal itu seolah-olah berkuasa, janji investasi 381 triliun tadi itu begitu membutakan mata bahwa di sana itu ada warga yang lebih dahulu yang sudah jelas-jelas mereka itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pulau Rempang.


Alih-alih warga dibantu agar sejahtera, justru malah mau direlokasi. Bahasanya relokasi tapi bahasa lebih tegasnya digusur. Ini mencerminkan apa yang disebut dengan dominasi kapitalis yang berarti cermin dari negara korporatokrasi, negara menjadikan instrumen kepentingan bisnis dan keputusan politik mengabdi kepada pemilik modal. 


Apa yang disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, beberapa waktu setelah KTT ASEAN, Cina juga akan masuk di Pulau Rempang. Ini menegaskan bahwa kapitalisnya itu dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ini semua jelas cermin kehidupan materialistik, kesenjangan dan dehumanisasi. Kehancuran dan kerusakan bukan saja dari sisi berfikir, tetapi juga merusak lingkungan hidup, tandasnya”


Konflik Rempang menambah panjang deretan persoalan lahan di Tanah Air. Komisi Ombudsman menyebutkan laporan masyarakat tentang agraria mencapai 1.612 laporan sepanjang 2021.  Pada tahun 2022, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu membeberkan jumlah tanah sengketa yang terdaftar sudah hampir 90 juta bidang tanah, sementara yang berkonflik mencapai 8.000 kasus.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi ada 2.710 konflik agraria di seluruh Indonesia dan tidak ada solusi nyata untuk itu. Dalam kasus Rempang, Pemerintah berdalih warga tidak mempunyai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Karena itu Pemerintah mengklaim kebijakan di Rempang adalah pengosongan, bukan penggusuran.


Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto  menyebutkan warga Rempang tidak punya sertifikat lahan. Dengan alasan itulah,  sejak tahun 2001 Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.


Ada indikasi Pemerintah menggunakan cara domein verklaring, yakni “negaraisasi” lahan. Artinya, lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan secara otomatis beralih menjadi milik negara. Lalu Negara berwenang untuk mengelola lahan itu, termasuk  menyerahkan lahan tersebut kepada pihak lain. Domein verklaring adalah konsep kolonialis Belanda untuk menguasai lahan milik pribumi yang tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan.


Kekhawatiran ini disampaikan sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM, saat mengkritisi RUU Pertanahan pada tahun 2019. Dengan adanya UU Cipta Kerja juga banyak pihak yang mengkhawatirkan warga akan mudah kehilangan hak kepemilikan lahan.


Pasalnya, dalam UU Cipta Kerja (Pasal 103 ayat 2) disebutkan: “Untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan.”


Kepemilikan lahan oleh warga juga terancam oleh maraknya penggandaan sertifikat kepemilikan lahan. Banyak warga berkonflik karena sertifikat lahan ternyata dimiliki lebih dari satu orang. Ironinya, kejahatan penggandaan sertifikat lahan ini dilakukan mafia tanah yang justru kerap melibatkan oknum pejabat Badan Pertanahan Negara. Islam Melindungi Kepemilikan Lahan.


Syariah Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. 


Islam juga membolehkan Negara Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw  misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Syariah  Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tak bertuan, yang tidak ada pemiliknya.


Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad). Beliau juga bersabda: Siapa saja yang lebih dulu sampai pada sebidang tanah, sementara belum ada seorang Muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani).


Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Nabi saw. Bersabda: (Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani). 


Namun demikian syariah Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut.


Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh Negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.


Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan). Imam Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwâl meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin al-Harits al-Mazani.


Sebelumnya lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah saw. Namun, Khalifah Umar ra. melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau memerintahkan agar Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola.


Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan, tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh Negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat.


Hendaknya penguasa mengambil contoh peristiwa di zaman Khalifah Umar bin Khattab saat salah satu walinya (Amru bin Ash) menggusur tanah seorang Yahudi untuk pembangunan masjid. Ketika warga Yahudi itu tidak mau digusur, ia mengadu kepada Khalifah Umar yang kemudian diberikan tulang yang digaris untuk diberikan kepada Amru bin Ash. Saat Amru bin Ash menerima tulang itu ia lalu membatalkan proyek masjid. 


Perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah SWT telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain.


Allah SWT berfirman: Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 188).


 Ayat di ini secara tegas mengancam siapa saja yang ingin menguasai harta orang lain, termasuk lahan orang lain, dengan cara menyuap penguasa. Suatu hal yang dipandang lumrah hari ini. Tidak jarang orang-orang kaya, termasuk pengusaha, menyuap pejabat agar dapat menguasai lahan sekalipun dengan cara merampas lahan tersebut dari orang lain. Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada hari akhir.


Beliau bersabda: Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepada dirinya (HR Muttafaq ‘alayh).


Pembangunan-pembangunan yang pemerintah Islam lakukan pada masa kejayaan Islam berpijak pada prinsip yang kukuh bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Inilah spirit yang dapat kita jejaki pada berbagai bangunan peninggalan peradaban Islam. Keindahan bangunan serta fungsinya merupakan mahakarya yang tidak hanya lahir dari penguasaan terhadap ilmu arsitek, tetapi juga spirit Islam yang begitu dalam.


Jika hari ini negara berfokus membangun proyek strategis nasional dengan label kota wisata, eco-city, green city, atau apa pun itu, pada masa peradaban Islam pun sudah ada kota-kota megah yang ramah lingkungan dan rakyat merasakan kemaslahatan pembangunan tersebut. Melalui pendanaan baitulmal, proyek pembangunan berjalan secara mandiri.


Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai’, ganimah, kharaj, dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara berupa usyur, khumus, rikaz, dan tambang. Jika kas baitulmal kosong, negara dapat memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah).


Negara tidak boleh membuka celah masuknya investasi di sektor yang terkategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum sepenuhnya diatur oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. Implikasi politiknya, hentikan proyek nasional Rempang, meski sudah menjadi Proyek Strategis Nasional, penting untuk di evaluasi dan gunakan Islam dalam menyejahterakan rakyat. 

Wallahu ‘alam biss-howab

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.