(Pegiat Literasi Banjarnegara)
Berita kebakaran hutan bukan menjadi berita aneh lagi. Ini untuk yang ke sekian kalinya negara kita mengalami kebakaran hutan. Faktor alam semisal iklim, sering kali dikatakan sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan. Tidak dimungkiri, adanya pembukaan lahan perkebunan juga diduga kuat turut menyumbang adanya kebakaran hutan.
Dilansir dari online kompas (27/07/23), sepanjang tahun 2023 terdapat 8 kejadian kebakaran hutan dan 108 kebakaran lahan di Kalimantan Selatan. Sedangkan di Palangka Raya, telah terjadi 148 kali kebakaran hutan dan lahan yang tersebar di berbagai daerah (online palangkaraya., 20/08/23).
Sementara itu, pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi atau pun perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. (Online kompas, 20/08/23). Dari 22 gugatan terhadap perusahaan tersebut, sebanyak 14 gugatan di antaranya telah berkekuatan hukum tetap.
Menakar Masalah
Kebakaran hutan yang murni dipicu oleh alam tentu tidak bisa dielakkan. Namun kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan campur tangan manusia, misalnya untuk pembukaan lahan, maka ini yang bisa dikendalikan. Supaya kejadian itu tidak lagi terulang.
Melihat pengelolaan hutan di Indonesia, maka ada yang menyalahi syariat Islam. Misalnya adanya pemberian hak pengelolaan hutan kepada segelintir orang untuk mengolah hutan dalam luasan yang besar untuk bisnis pribadi. Keuntungan bisnis pribadi jelas akan masuk ke kantong sendiri. Padahal hutan itu termasuk dari salah satu aset milik rakyat yang hasil pengelolaannya seharusnya kembali ke kas negara, dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Membuka lahan dengan cara membakar hutan merupakan tindakan yang berbahaya dan melanggar hukum. Meskipun dalam Undang-Undang di Indonesia juga diatur mengenai mekanisme pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun persyaratan pembakaran harus dipenuhi, dan harus ada kajian dari pihak berwenang apakah pembakaran itu dibolehkan atau tidak. Sementara hari ini, prosedur tersebut tidak dijalankan dengan benar, terbukti dengan adanya kasus yang dimejahijaukan.
Kapitalisme yang diterapkan hari ini telah memupuk kerakusan manusia untuk memperoleh harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang praktis, mudah dan tidak mengeluarkan banyak biaya. Memang demikianlah watak kapitalis. Sehingga wajar, dalam membuka lahan pertanian atau perkebunan, ada oknum yang memilih jalan pintas dengan melakukan pembakaran. Dia tidak peduli bahwa hal itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain, tidak peduli halal haram.
Dari salah pengelolaan ini, seharusnya dapat diambil pelajaran, bahwa sebuah aturan itu memang harus ada dan dijalankan dengan benar. Tidak sekedar menjadi aturan yang dibuat untuk dilanggar. Sebagaimana yang sering terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Ketegasan dan keadilan dalam pelaksanaan hukum menjadi hal yang sangat penting. Agar hukum dapat memberikan efek jera bagi pelaku, maupun bagi orang lain yang belum melakukan kesalahan, sehingga takut melakukan kesalahan yang sama.
Hutan Adalah Milik Rakyat
Segala aset yang merupakan milik rakyat maka tidak diperbolehkan untuk dikelola secara mandiri (pihak swasta), baik swasta lokal apalagi asing. Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pun sudah dikatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam itu harus dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Ke mana aturan ini? Kenapa tidak ditegakkan?
Sedangkan dalam Islam sendiri jelas, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara; air, api dan padang rumput.” Pengertian padang rumput di sini adalah termasuk hutan. Maka menjadi jelas kedudukannya, bahwa hutan adalah milik rakyat, yang wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Rasulullah Saw. pun menegaskan bahwa kita tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sementara, aktivitas membakar hutan untuk pembukaan lahan adalah salah satu aktivitas yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain, sehingga tidak boleh dilakukan. Jika ada oknum yang melanggar ketentuan ini, maka harus ditindak oleh aparat penegak hukum. Sanksi dalam Islam untuk kasus ini berupa ta’zir, artinya kadar hukumannya diserahkan kepada hakim, sesuai berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan.
Jika aturan-aturan ini disosialisasikan kepada khalayak, sistem sanksi diterapkan dengan tegas tanpa tebang pilih tanpa suap, maka kasus kebakaran hutan akan bisa diminimalisir, tidak lagi karena faktor kerakusan manusia, tetapi tinggal karena faktor alamiah saja.
Namun, seluruh rangkaian aturan tersebut tidak mungkin dapat diterapkan dengan mulus dalam sistem kapitalis saat ini. Sistem seperti itu hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam yang menyeluruh, yang menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah Sang Pencipta alam raya.
Wallahu a’lam