Oleh Hani Iskandar
Ibu Pemerhati Umat
Setelah berjuta-juta episode kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, menyeret banyak nama para pejabat yang berkuasa, baik pejabat pusat maupun pejabat daerah. Penyelesaian yang tak kunjung usai, membuat masalah korupsi terus berlarut-larut, vonis hukuman pun tarik ulur dan cenderung tumpul. Bahkan, seolah tak pernah belajar dari kesalahan, pelaku korupsi makin merajalela dan tak pernah jera dengan hukuman negara yang seadanya.
Makin miris dan terkaget-kaget publik dibuatnya setelah mengetahui deretan nama bakal calon legislatif yang terdaftar dalam pemilu. Bukan hanya nama-nama calon yang di luar prediksi, tetapi banyak pula mantan napi korupsi yang akan ikut serta dalam perhelatan akbar lima tahunan ini.
ICW (Indonesian Corruption Watch) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana kasus korupsi dalam daftar sementara bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 29 Agustus 2023. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Ia pun menyampaikan kekhawatiran jika nantinya para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil. (media online voaindonesia, 26/08/2023)
Memilih dan dipilih dalam pemilu adalah hal yang biasa dan lumrah terjadi. Hanya saja, perlu menjadi pelajaran bagi kita sebagai bangsa Indonesia untuk tak jatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Ketika salah memilih pemimpin, nasib rakyatlah yang menjadi taruhan. Logika kita sebagai warga negara dituntut untuk senantiasa sehat dan sadar, cerdas berpikir, dan bersikap konsisten pada prinsip yang kuat. Juga bahwasanya kita semua sepakat, pemimpin itu adalah mereka yang mampu/kapabel dalam memimpin, tepercaya karena rakyat menitipkan segala urusan kepadanya, mampu mendidik, mengarahkan, melayani dengan segenap hati, semata-mata karena menganggap bahwa apa yang dipimpinnya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan.
Kriteria pemimpin yang ideal pun, harus dipertegas. Memiliki jejak politik yang lurus, jujur, dan memihak rakyat. Namun faktanya, hal-hal demikian tak akan pernah ditemui di era kapitalisme saat ini.
Pasalnya, sistem kapitalis demokratis, tak mampu mewujudkan pemimpin-pemimpin yang amanah. Cengkeraman modal dalam sistem demokrasi memaksa para calon pemimpin untuk mengerahkan segala hartanya untuk menarik dukungan demi mendapatkan tampuk kepemimpinan.
Setelah kekuasaan di tangan, para penguasa akan berupaya untuk mendapatkan kembali harta yang dikorbankan semasa pesta demokrasi. Bukan rahasia lagi, korupsi akan berulang kembali karena menjadi salah satu jalan untuk merealisasikan hal ini.
Kini, menjelang pemilu 2024, kita dihadapkan pada fakta banyaknya eks terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Pertanyaannya, apakah kita rakyat mau memilih kembali dan dipimpin oleh yang demikian? Lalu mengapa para eks terpidana korupsi ini bisa lolos seleksi setelah jejak keburukannya di masa lalu? Apakah rakyat Indonesia mau dan rela dipimpin kembali oleh mereka? Sungguh ngeri, jika hal tersebut terjadi!
Di era sistem kapitalis demokrasi saat ini, di mana HAM menjadi salah satu yang diagungkan. Setiap orang siapa pun ia, tetap bisa melakukan hal yang ia anggap benar dan bermanfaat baginya, meski ia harus merugikan orang lain. Tak ada rasa empati, terlebih lagi rasa malu ketika melakukan hal tersebut. Seseorang yang pernah berbuat kesalahan apalagi ia pernah memimpin rakyat dan mengambil hak rakyat lewat korupsi, seharusnya bisa menjadi "warning" untuk tidak dipilih kembali.
Mengapa demikian? Karena dikhawatirkan pasti akan melakukan kesalahan yang merugikan rakyat kembali di kemudian hari. Semakin sengsara rakyat ketika hal itu terjadi, sementara hukum Indonesia belum bisa menjamin penegakan hukun terkait kasus korupsi, dan tak membawa efek jera pada pelaku yang sudah diberikan hukuman.
Islam memberikan gambaran jelas bagaimana sosok pemimpin yang seharusnya memimpin rakyat. Teladan utama kita Rasulullah saw. merupakan insan termulia yang menjadi role model paling tepat, manusia sempurna, multitalenta, suami terbaik, ayah terbaik, kakek terbaik, bahkan pemimpin umat terbaik di antara yang lainnya. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat Al-Ahzab: 21 yang artinya: “Sungguh pada (diri) Rasulullah saw. benar-benar ada suri teladan bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat serta yang banyak mengingat Allah."
Dalam hadis Rasulullah saw. riwayat Imam Al-Bukhari pun dijelaskan bahwasannya: “Seorang imam/pemimpin adalah pelayan (pengurus urusan umat), dan ia akan mempertanggungjawabkan atas yang dipimpinnya."
Jadi karakter pemimpin pasti akan memengaruhi rakyat yang dipimpinnya. Ketika ia seorang yang amanah, adil, jujur, maka insyaallah rakyat pun akan terbentuk menjadi rakyat yang amanah, adil, dan jujur pula. Antar pemimpin dan rakyat saling menyayangi, saling memuliakan, dan selalu saling menasihati dalam kebenaran, saling menjaga hak dan kewajiban sehingga tak ada pihak yang terzalimi karena semata demi ketaatan kepada Allah Swt. Sang Pemilik Alam.
Hukuman bagi pelaku korupsi pun jelas. Korupsi dianggap sebagai bagian dari perbuatan kriminal yang disamakan dengan perbuatan mencuri yang pelakunya pasti akan dihukumi sanksi yang tegas dan karena sudah berbuat zalim terhadap rakyat. Bentuk dan teknis hukumannya akan disesuaikan dengan syariat Islam dan dilaksanakan sesuai kebijakan khalifah. Hal yang pasti kasus korupsi tidak akan pernah terjadi, kalaupun sempat terjadi (karena kelalaian manusia) maka penyelesaiannya takkan berlarut-larut, akan cepat diatasi. Karena selain didukung sistem sanksi yang ampuh mencegah dan membuat jera, sistem Islam pun menjadikan keimanan individu dan kontrol sosial sebagai penguat dalam mencegah korupsi di kalangan para pejabat pemerintahan.
Wallahualam bissawab.