> Bakal CALEG Bekas Napi Korupsi, Pantaskah? - NusantaraNews

Latest News

Bakal CALEG Bekas Napi Korupsi, Pantaskah?


Oleh: Sarinah

 (Komunitas Literasi Islam Bungo)


Indonesia Corruption Watch (ICW)  menemukan setidaknya ada 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (CALEG) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU) pada 18 Agustus 2023. Bakal caleg  mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum ( PEMILU)  2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),  dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mereka berasal dari berbagai partai politik.


Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang menutupi hal tersebut, karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Padahal ketiadaan pengumuman status  terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk memberikan masukan  terhadap DCS secara maksimal. Terlebih informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg, juga tidak disampaikan dalam laman KPU.


kondisi saat ini berbeda dengan yang terjadi di pemilu 2019. KPU pada saat itu, justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi. Artinya, langkah penyelenggaraan pemilu saat ini merupakan suatu kemunduran dan tidak memiliki komitmen anti korupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel.


Kebolehan mantan napi korupsi mendaftarkan diri menjadi caleg, disatu sisi seolah menunjukkan tidak ada lagi rakyat yang layak memgemban amanah, disisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacalek tersebut. mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar.


Kriteria pemimpin dalam sistem ini hanya bertumpu pada popularitas dan kekayaan, karakter amanah dan kepribadian islam tidak menjadi perhatian. Alhasil, orang baik tanpa dukungan modal tidak mungkin dapat mencalonkan diri. inilah realitas sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Namun kondisi ini sesuatu yang wajarterjadi, dalam negar yang menerapkan sistem sekuler --- demokrasi.


Pasalnya penerapan sistem sekuler, memisahkan antara agama dan kehidupan telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah melainkan untuk meraih keuntungan materi melalui keadaan dan kekuasaanya. Selain itu kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran resiko terjadinya korupsi secara berulang, mengingat sistem hukum yang diberlkaukan di Indonesia tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.


Hukuman yang didapatkan hanya berupa penjara dan msih sangat memungkinkan mendapatkan remisi pada hari raya, tahun baru, atau hari kemerdekaan. Tidak heran muncul istilah " hukum bisa dibeli. " inilah gambaran sistem sanksi dalam sistem kapitalisme demokrasi, hal ini juga menegaskan bahwa sistem demokrasi---kapitalisme sangat ramah terdahdap koruptor dan memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi dimata publik.


Berbeda dengan sistem islam yang menjadikan aturan Allah satu-satunya sumber hukum dan kebijakan khilafah .syariat islam kaffah mencegah munculnya individu yang gemar melakukan kemaksiatan. Islam akan banyak mencetak SDM berkualitas melalui penerapan pendidikan yang bertujuan membantu generasi berkepribadian islam, sebab merekalah yang akan melanjutkan kepemimpinan islam dan membangun peradaban unggul dan gemilang. 


Islam telah menunjukkan sejumlah cara untuk mencegah, hingga mengatasi kasus korupsi. Mekanisme inilah yang akan diterapkan oleh khilafah melalui sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah. Perhitungan kekayaan pengawasan masyarakat, hingga sanksi yang tegas. Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum islam sangat tegas dan menjerakan sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat , apalagi dalam sistem sanksi berfungsi zawajir (pencegahan) dan jawabir ( penebus dosa).


Terkait kriteria pemimpin dalam banyak kitab fiqih siasah(politik) termasuk kitab Al-Ahkam as-sultaniyyah krya Imam Al- Mawardi yang amat terkenal telah dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin, kriteria umum pemimpin/ kepala negara dalam islam adalah (1) muslim (2) laki-laki (3) Baligh (4) berakal (5) merdeka( bukan budak atau berada dalam  kekuasaan pihak lain) (6) adil ( bukan orang fasik atau ahli maksiat) (7) mampu ( punya kpasitas untuk memimpin) ketujuh kriteria tersebut dilihat dengan syarat in' iqad (pengangkatan). Ketujuh syarat ini tentu didasarkan pada dalil Al-quran dan as-sunnah.


Kepala negara yang terpilih memiliki mekanisme yang ditetapkan. Negara akan diberi wewenang menunjuk kepala daerah baik wali maupun amil. Khalifah yang terpilih, tentu akan memiliki figur yang bertaqwa, amanah dan kapabel.


Adapu. wali rakyat dalam khilafah direprentasikan oleh majelis umat bukan lembaga legislatif sbagaimana dalam sistem politik demokrasi.


Maka mereka merupakan wakil rakyat dalam konteks syurga ( memberi masukkan) kepada pemerintahan melakukan muhasabah, dan syakwa( komplain). krena itu majelis umat berdiri dari pria, wanita, muslim, dan non muslim. Artinya siapa saja yang mengemban kewarga negaraan khilafah, berhak dipilih menjadi anggota majelis umat.


Dasar pertama pemilihan majelis umat adalah harus mewakili masyarakat secara representatif, dan yang kedua adalah memiliki kelompok secara representatif. Sehingga pemimpin ideal dambaan umat hanya lahir dari sistem yang baik yang mampu melahirkan sosok tersebut yaitu khilafah islamiyyah.

Allahu a'lam bishawwab

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.