Beberapa bulan mendatang negeri ini akan kembali melaksanakan pesta semarak demokrasi. Lagu lama ini terus saja diputar setiap periode lima tahun sekali, janji manis wakil rakyat yang hanya ilusi merupakan hidangan yang wajib ada dalam sistem rusak ini. Bagaimana tidak, wakil rakyat yang katanya berjuang untuk kesejahteraan masyarakat negeri, nyatanya malah berpihak kepada oligarki, bahkan mirisnya lagi bacaleg mantan napi korupsi pun jadi asalkan cuan bisa dikantongi karena politik transaksional yang berbasis bisnis untung dan rugi, Inilah wajah demokrasi.
Melalui Indonesian Corruption Watch (ICW) ditemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 ditingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan. "Surat pernyataan bermaterai bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana," demikian bunyi Pasal 240 Ayat (2) huruf c UU Pemilu.
Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hak untuk dipilih, ujar Idham, sedianya telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih. Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebolehan mantan napi korupsi mendaftarkan diri menjadi caleg, menimbulkan pertanyaan yang menggelitik, apakah dari sekian banyaknya jumlah rakyat di negeri ini, yakni 250 juta jiwa tidak ada lagi yang layak untuk mengemban amanah? atau adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg yang disokong oligarki? mengingat untuk menjadi calon legislatif membutuhkan modal yang sangat besar, sebagaimana pernyataan seorang tokoh politik besar yang mengatakan butuh Rp.40 miliar untuk jadi anggota DPR dari Jakarta, wow fantastis bukan?
Selain itu, kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran akan risiko terjadinya korupsi secara berulang bukan? Karena korupsi dianggap Tak Lagi Jadi Kejahatan Luar Biasa. Walaupun dalam hal ini KPK sedang gencar-gencarnya melakukan Roudshow bus KPK ke pelosok negeri dengan tema “ Jelajah Negeri Bangun Antikorupsi” namun tetap saja upaya tersebut jauh panggang dari api mengingat sistem hukum yang diberlakukan di negeri ini tidak memberikan efek jera pada pelaku korupsi tersebut. Hukuman yang didapatkan hanya berupa kurungan penjara beberapa tahun saja, belum lagi potongan remisi hari raya, tahun baru atau hari kemerdekaan, bahkan mirisnya lagi, kasus korupsi besar bebas langgeng berkeliaran tanpa kurungan, tak heran memang dalam sistem demokrasi muncul istilah hukum bisa dibeli.
Inilah demokrasi, sebuah sistem yang rusak karena aturan yang diterapkan hanya berasal dari akal manusia yang memiliki sifat lemah dan terbatas. aturan dibuat oleh tangan-tangan manusia yang jumawa dan enggan diatur oleh sang pencipta, sehingga aturan yang dibuat syarat akan kepentingan, membuat hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, adanya peluang tawar menawar hukum, pelemahan konstitusi, intervensi kekuasaan serta royalnya penguasa dalam memberikan remisi kepada pelaku korupsi serta pemberian legitimasi hukum kepada napi korupsi menjadi bacaleg pada pemilu. Inilah kenyataan Sebuah kecacatan yang berasal dari penerapan sistem demokrasi. Sistem yang menganut berbagai kebebasan dibalik payung HAM, sehingga bebas melakukan apa saja dan dilindungi yakni: bebas berpendapat, bebas berprilaku, bebas dalam hal kepemilikan, dengan standar operasionalnya adalah materi dan asas manfaat/politik kepentingan menjadi prioritas bagi para penguasa dengan kata lain demokrasi memberi banyak peluang bagi pejabat untuk memperkaya diri.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang bersumber dari wahyu sang pencipta manusia, aturan-Nya sempurna dan paripurna mengatur semua sendi kehidupan mulai dari bangun tidur, bangun rumah tangga bahkan bangun Negara. Yakni aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang terbukti sepanjang sejarah kehidupan manusia selama 13 abad berdiri kokoh dengan kegemilangannya mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang mengemban amanah besar dengan hanya taat kepada syariat islam. karena tugas menjadi seorang pemimpin ataupun wakil rakyat merupakan perkara yang berat pertanggungjawabannya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala kelak di yaumil akhir.
Sistem islam juga mampu mencetak SDM berkualitas yakni taat, kuat, amanah, dan mumpuni dalam bidangnya melalui penerapan pendidikan tsaqofah islam yang akan membentuk generasi yang berkepribadian islam, karena merekalah yang akan menjaga islam dengan melanjutkan kepemimpinan dan membangun peradaban unggul dan gemilang. Islam telah menunjukkan sejumlah cara untuk mencegah dan mengatasi korupsi, melalui sistem penggajian yang layak, pengawasan terhadap harta, serta larangan menerima suap dan hadiah. sebagaimana hadist dari sahabat Abu Hurairah r.a ia mengatakan” Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Selanjutnya, memberikan sanksi yang tegas. Sebagaimana diketahui bahwa hukum islam sangat tegas dan menjerakan sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. karena Korupsi adalah tindak kejahatan karena perbuatan khianat dan pelakunya disebut khaa’in, termasuk menggelapkan harta yang dipercayakan kepada seseorang. Sanksi bagi pelakunya adalah takzir, yaitu: sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksi mulai dari yang ringan berupa nasehat, penjara, denda, cambuk hingga hukuman tegas yakni hukuman mati. Karena sejatinya sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa).
Selanjutnya, Negara akan diberi wewenang menunjuk wakil rakyat di daerah maupun provinsi. Adapun, wakil rakyat dalam sistem Islam direpresentasikan oleh majelis umat bukan lembaga legislatif sebagaimana dalam sistem politik demokrasi. Mereka merupakan wakil rakyat dalam konteks syura (memberi masukkan) kepada pemerintahan untuk melakukan muhasabah, dan syakwa( komplain) dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar agar pemerintahan tetap berjalan sesuai syariat Islam. Wallaahu a’lam bishowaf…