> PDI-P Sebut Food Estate Kejahatan Lingkungan, Benarkah? - NusantaraNews

Latest News

PDI-P Sebut Food Estate Kejahatan Lingkungan, Benarkah?


Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


Proyek Food Estate atau lumbung pangan adalah Program Strategis Nasional 2020-2024. Program pemerintah yang digagas Presiden Joko Widodo, sejak awal periode kedua kepemimpinannya. Program ini mengacu pada Perpres Nomor 108 Tahun 2022, di bawah kendali Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Telah diketahui bersama tujuan proyek ini untuk mencegah krisis pangan. Mengingat   hampir seluruh negara saat ini menghadapi krisis pangan yang berdampak pada kenaikan harga bahan pangan, ungkap presiden. 


Sedianya, proyek lumbung pangan untuk cadangan strategis maupun nantinya jika melimpah untuk ekspor. Ternyata proyek lumbung pangan yang digadang-gadang di berbagai tempat, di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, yang jumlahnya seluas 165.000 hektare mengalami kegagalan. Tentu saja hal ini menuai kritikan dari berbagai kalangan.


Terutama kritikan yang datangnya dari Sekjen PDI-P, Hasto Kristyanto yang menyebut:  "Proyek Food Estate (lumbung pangan) sebagai kejahatan lingkungan." Kritikan tersebut membuat Presiden Jokowi angkat suara saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-78 MPR RI. Presiden Jokowi menjelaskan bahwa membangun food estate (lumbung pangan) tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Keberhasilan itu baru tampak hasilnya setelah tanam keenam dan ketujuh. Jadi, sebelum itu ada yang berhasil, ada juga yang belum berhasil. Hal ini yang harusnya dikoreksi, diperbaiki, dan dievaluasi. Oleh karena itu, program ini terus berjalan lantaran ketidakstabilan pangan global dalam rangka mengantisipasi krisis pangan. (CNBCIndonesia, 18/8/2023)


Sebelumnya, Sekjen PDIP, Hasto Kristyanto menyampaikan kritikan ketika berada di Ciawi Bogor, (15/8/2023). Pada saat menjawab soal dana hasil kejahatan lingkungan yang mengalir ke partai politik seperti yang diungkapkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hasto mendorong untuk menelusuri dan membuka data tersebut.


Selanjutnya, Hasto menyatakan terdapat kepentingan pribadi dalam implementasi program lumbung pangan. Hasto menyinggung soal PT Agro Industri Nasional (Agrinasi) sebagai pelaksana program tersebut. Menurutnya program ini diisi oleh orang yang berhubungan dengan Prabowo selaku penanggung jawab proyek Food Estate.


Jika kita mencermati apa yang dikatakan oleh politikus PDI-P, merupakan cerminan implementasi sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini meniscayakan para pemilik modal (pengusaha) dapat menguasai hajat kebutuhan rakyat. Pasalnya, dalam sistem kapitalis dengan politiknya demokrasi bisa menjadikan pengusaha sebagai penguasa di negeri ini. Mengapa? Karena telah diketahui bersama bahwa saat pemilu itulah merupakan pintu masuk terjadinya KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Berawal dari biaya politik sangat mahal, yang hanya bisa diikuti oleh kandidat berduit saja (pengusaha). Wajar, jika terpilih jadi penguasa sekaligus berprofesi sebagai pengusaha,  tentunya yang dipikirkan hanya uang dan keuntungan.


Ironisnya, sistem demokrasi membolehkan manusia membuat aturan sendiri, sehingga mudah membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Atau bisa juga para pengusaha memanfaatkan relasi mereka yang ada di jajaran pemerintahan. Wajar, jika negara yang menganut sistem demokrasi kapitalis akan dikuasai oleh pengusaha atau para pemilik modal. Akibatnya rezim tidak berkutik di bawah kendali para pemilik modal (korporasi).


Walaupun sudah diingatkan dari hasil kajian akademis dan aktivis lingungan dengan menunjukkan ketidaklayakan dan adanya kerusakan lingkungan. Juga keluhan para petani yang menjadi korban kegagalan program lumbung pangan tersebut. Namun, semua itu tidak dihiraukan oleh rezim. Padahal kegagalan dan kegagalan berkali-kali telah terbukti, yakni banyaknya kerusakan- kerusakan berupa kekeringan, kebakaran, banjir, longsor, rusaknya infrastruktur, dan lainnya.  Sebagaimana tudingan Hasto, bahwa proyek Food Estate hanya berimbas pada penebangan hutan. Semua itu akibat kebijakan yang disalahgunakan, hutan-hutan ditebang habis. Itu merupakan bentuk kejahatan terhadap lingkungan. Alhasil, semua itu terjadi karena rezim  bertumpu pada sistem kapitalis-sekuler yang rusak dari akarnya.


Sangat berbeda dengan sistem Islam (Khilafah), yakni pemerintahan yang didasari oleh akidah Islam. Akidah inilah yang mendorong terwujudnya ketakwaan seseorang. Merasa diawasi Allah dan meyakini adanya hisab di akhirat kelak. Oleh sebab itu, seorang pemimpin (khalifah) dalam mengurus rakyatnya akan menerapkan syariat Islam secara kafah. Termasuk dalam memenuhi kebutuhan warganya untuk ketahanan pangan. Sehingga semua kebijakan yang diberlakukan tidak akan lepas dari aturan Allah dan Rasul-Nya.


Terkait ketahanan pangan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pertama, lingkungan sebagai penyedia bahan pangan. Kedua, manusia sebagai konsumen. Oleh sebab itu langkah yang dilakukan oleh khilafah terkait dua unsur tersebut, yakni:

1. Optimalisasi produksi dengan mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Dalam hal ini, penting adanya peran berbagai ilmu terapan dan teknologi, untuk mencari lahan yang sesuai dengan benih tanaman tertentu, penyediaan benih, pupuk, obat-obatan, teknik irigasi, hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.


2. Gaya hidup harus sesuai syariat Islam. Sebab, Islam melarang berlebih-lebihan sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-A'raf ayat 31:

"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."


3. Khilafah akan menghitung luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Dengan perhitungan yang akurat terkait perkembangan jumlah penduduk dengan luasan tanah, maka kebutuhan pangannya akan tercukupi. Bahkan tidak takan bergantung pada impor dari negara lain.


4. Khilafah akan tegas mengatur status kepemilikan. Dalam Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Yang boleh dimiliki individu, seperti lahan pertanian. Adapun milik umum, jika di dalamnya mengandung tambang dengan jumlah yang besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti, rel kereta, jalan, dan lainnya. Sedangkan milik negara adalah tanah yang tidak ada pemiliknya atau tanah mati, tanah yang diterlantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dan lainnya.


Berdasarkan konsep kepemilikan ini, Khilafah tidak akan memberikan tanah status umum dan negara kepada individu maupun swasta. Sehingga tidak akan terjadi kasus seperti yang dituduhkan Sekjen PDI-P Hasto Kristyanto kepada salah satu menteri sekaligus pengusaha.


Dalam konsep Islam Khilafah juga akan memberlakukan dengan tegas terhadap tanah yang diterlantarkan selama tiga tahun berturut-turut oleh pemiliknya maka akan disita oleh Khilafah untuk diberikan kepada warga negaranya yang membutuhkan agar dikelola. Namun, juga ada lahan yang di konservasi untuk dimanfaatkan menjaga keseimbangan ekosistem. 


Semua hal tersebut, telah diatur oleh ekonomi Islam. Termasuk mewajibkan Khilafah menjamin kebutuhan pokok setiap individu, dan tidak boleh penyediaan kebutuhan pokok diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab, meski produksi melimpah tetap saja rakyat akan kesulitan mendapatkan pangan tersebut karena dikuasai para pemilik modal.


Begitulah sistem Islam akan memberikan perhatian penuh dan bersungguh-sungguh untuk mememuhi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya. Hal ini hanya bisa di wujudkan dalam institusi Khilafah.


Wallahu 'alam bissawab.

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.