(Entrepreneur)
Hubungan "kemitraan" antara pengemudi ojek online daring dengan perusahaan aplikasi sudah waktunya ditertibkan oleh pemerintah, karena tenaga mereka dieksploitasi, sedangkan penghasilan mereka semakin mengenaskan, kata ahli hukum perburuhan UGM.
Dari sejumlah pengemudi ojol, yang ditemui BBC News Indonesia 26/07/2023, mengatakan dalam sehari mereka memperoleh antara Rp10.000 sampai Rp100.000. Bahkan ada kalanya nol rupiah. Itulah sebabnya, dari 1.000 pengendara ojol dan kurir yang diteliti mahasiswa doktoral London School of Economic (LSE), Muhammad Yorga Permana, sebanyak 66% menyatakan ingin berhenti dan jika ada kesempatan beralih jadi pekerja kantoran.
Namun demikian perusahaan aplikasi Gojek mengeklaim pihaknya senantiasa mematuhi regulasi pemerintah dan berupaya meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudinya sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dihadapkan pada persoalan itu, Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. Tapi sejauh ini tak kunjung dibuatkannya peraturan.
Soal potongan biaya aplikasi hampir dikeluhkan semua pengemudi ojek daring. Hitungan mereka, potongan untuk aplikasi kira-kira 20%. Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, bahkan menyebut perusahaan ada aplikator yang menerapkan potongan hingga 30%.
Padahal kalau merujuk pada keputusan Kementerian Perhubungan pada September 2022, pemotongan biaya sewa penggunaan aplikasi sebesar 15% dari sebelumnya mencapai 20%.
"Enggak adil [potongan 20%]. Tadi penumpang bayar Rp24.000, saya cuma terima Rp16.000," ucap pengemudi daring.
Akan tetapi, tak hanya perkara potongan untuk aplikasi yang bikin kesal mereka.
Meski status antara pengemudi dan perusahaan aplikasi adalah 'mitra' namun kenyataan sebaliknya.
Contohnya saya pak Mamat pengemudi Gojek bercerita mereka hampir tak punya peluang untuk membela diri jika dikomplain oleh penumpang.
"Penumpang raja banget dah, mesti banyakin sabar..." keluhnya.
Mamat punya pengalaman tak enak soal ini. Suatu hari dia mengaku terpancing emosi oleh penumpang yang memakinya dengan kata kasar. Dia balik mendamprat dengan ucapan serupa. Tidak disangka, penumpang itu menulis komplain ketika mengakhiri pesanan, ucap Mamat dan tidak lama kemudian akunnya di-suspend atau dibekukan selama tiga hari.
Kejadian berikutnya, bapak dua anak ini bercerita tak sengaja menekan tanda 'pick up' tanpa melakukan penjemputan pelanggan. Gara-gara ketidaksengajaan tersebut, lagi-lagi akunnya kena penangguhan selama lima hari.
Terakhir, Mamat mengatakan terpaksa menerobos lampu merah karena diminta buru-buru oleh penumpangnya.
"Pas selesai pemesanan akun saya di-suspend seminggu. Sejak itu saya banyakin sabar aja," ucapnya.
Dari semua kejadian itu, Mamat mengaku tak diberi kesempatan untuk menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya. Sebagai mitra yang posisinya setara seharusnya perusahaan aplikasi mengkonfirmasi terlebih dahulu peristiwa yang dikomplain penumpang ke pengemudi sebelum menjatuhkan sanksi. Sebab tidak semua pengemudi melanggar aturan, ada kalanya klaim dia penumpang yang meminta mereka melakukan hal itu.
Dan meskipun berstatus mitra, pengemudi rupanya dituntut harus bekerja keras menjaga rating dan perfoma.
Sementara performa adalah prosentase yang menunjukkan kinerja pengemudi bagus atau tidak dilihat dari jumlah pesanan yang berhasil diselesaikan.
Kemitraan Eksploitatif
Bukan hanya perusahaan yang dianggap membuat pengemudi ojol menderita, pemerintah pun dianggap demikian. Pasalnya, Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan No. 12/2019 pasal 15 yang menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi merupakan hubungan kemitraan. Sedangkan menurut Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Pujiati, kenyataannya hubungan yang terjadi adalah hubungan kerja (Tempo, 1-8-2023).
Tampaknya, status “kemitraan” sedang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi pengemudi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari tidak menyangkal hubungan kemitraan antara perusahaan platform digital dan pengemudi ojol ataupun kurirnya, cenderung eksploitatif. Menurutnya, hal demikian terjadi karena perjanjian hubungan kemitraan dibuat sepihak.
Sistem ekonomi kapitalisme memang mengandalkan perusahaan untuk bisa menciptakan lapangan kerja bagi rakyat. Pemerintah tidak akan segan menggelontorkan dana untuk perusahaan sebagai bentuk stimulus ekonomi hanya agar perusahaan bisa bertahan dalam situasi krisis. Sebaliknya, subsidi pada rakyat miskin yang dianggap tindakan yang tidak produktif.
Sementara itu, mayoritas tenaga kerja Indonesia dari sektor informal, bahkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga saat ini masih didominasi oleh kelas usaha mikro. Dari sekitar 64,2 juta UMKM, 99 persennya adalah pelaku usaha mikro. Artinya, pekerjaan di Indonesia didominasi oleh pelaku usaha yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan cenderung kurang.
Oleh karena itu, alih-alih mengubah nasib para pekerja ojol, perubahan regulasi diduga kuat akan selalu mengarah pada terpenuhinya keinginan perusahaan. Inilah buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan seluruh urusan pada swasta, termasuk penyediaan lapangan pekerjaan. Sistem ini pun masih menjadikan pajak sebagai tumpuan berjalannya negara.
Lantas, apakah dengan diubahnya regulasi akan berdampak signifikan terhadap nasib ojol? bagaimana pandangan Islam terkait yang demikian?
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki pandangan khas terkait ketenagakerjaan. Islam memiliki pengaturan akad kerja yang manusiawi dan terbebas dari eksploitasi. Misalnya Islam memiliki konsep upah sepadan, yaitu besaran upah bagi satu jenis pekerjaan.
Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral yang mengatur seluruh urusan rakyatnya, termasuk di dalamnya penciptaan lapangan kerja. Pemerintah tidak bertumpu pada swasta. Lapangan pekerjaan akan terbuka lebar dalam sistem ekonomi Islam sebab kebijakan pemerintah pro rakyat.
Dalam Islam tidak akan ada kebijakan yang mempermudah TKA masuk di tengah tingginya pengangguran dalam negeri. Begitu pun kegiatan eksplorasi SDA yang dikelola pemerintah, akan sangat menyerap tenaga kerja.
Pemberian upah bisa dengan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja dalam waktu tertentu. Itulah bagian integral dari sistem Islam yang diterapkan dalam Institusi khilafah Islam.
Inilah yang akan menciptakan produktivitas tinggi dan pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian suatu negara. Begitu pun kemitraan atau syirkah, jika dijalankan sesuai syariat, akan mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Wallahu'alam bishsawab