Oleh Ummu Syifa
Pemerhati Perempuan dan Generasi
Anak adalah aset sebuah bangsa yang tidak ternilai harganya. Perubahan tata dunia dan masa depan peradaban ada dalam genggaman mereka. Namun, pemenuhan hak, pengurusan kebutuhan, dan pengayoman terhadap kemaslahatan mereka sering terabaikan.
Saat ini tengah dilakukan berbagai upaya untuk menyiapkan dan melindungi hak-hak anak. Pemerintah pun telah mengeluarkan penghargaan-penghargaan kepada para pemimpin daerah atau para pihak yang telah berhasil mewujudkan kota layak anak sebagai indikator tercapainya pemenuhan hak anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga telah memberi penghargaan kepada 360 kabupaten/kota Layak Anak pada tahun 2023 sebagai bentuk apresiasi kepada para gubernur, bupati, wali kota, dan jajarannya yang telah dianggap berhasil mewujudkan wilayah yang layak anak. (m.antaranews.com, 23/07/2023).
Namun, jika dilihat dan diamati dengan seksama, sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini meletakkan permasalahan pemenuhan hak anak bukan sepenuhnya kewajiban dan tanggung jawab negara, yang mutlak atau darurat untuk dipenuhi. Hal itu, hanya sebatas himbauan dan mengapresiasi bagi pihak yang telah menunaikan pemenuhan hak anak di daerahnya. Jika itu kewajiban, maka negara akan memastikan dengan seluruh potensi dan modal untuk mewujudkannya, serta akan menindak siapapun yang mengabaikannya.
Adapun, ketika kita melihat indikator kota layak anak, ternyata belum mampu untuk menjamin bahwa anak-anak yang berada di wilayah tersebut terpenuhi hak-haknya secara keseluruhan. Kita bisa melihat banyak kasus kelaparan pada anak, gizi buruk, dan angka stunting tinggi. Banyak anak-anak yang putus sekolah karena tidak punya biaya, tidak meratanya infrastruktur di daerah seperti sarana kehidupan dan sarana pendidikan yang minim fasilitas, masih banyak anak bergelantungan menyeberang jembatan hanya untuk bisa bersekolah. Kekerasan pada anak pun kian meningkat dari mulai kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, sampai kepada kasus perdagangan anak.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencampakkan kapitalisme sekuler yang terbukti gagal dalam mewujudkan hak-hak anak dan perlindungannya.
Berbeda dengan Islam. Di dalam Islam, anak betul- betul dipenuhi hak-hak nya. Seperti dalam hal sandang, pangan dan papan. Negara memperhatikan kebutuhan anak melalui mekanisme jalur penafkahan. Seorang anak nafkahnya ditanggung oleh ayahnya, kerabatnya, tetangganya, jika tidak mampu maka akan diambil alih oleh negara.
Selain itu anak akan dilindungi eksistensinya dengan hadhanah ibu-ibu mereka yang senantiasa ada untuk merawat, mendidik, membersamai mereka dalam adab, ilmu dan akhlak. Kemudian negara akan mewujudkan suasana kehidupan yang aman dan nyaman bagi warganya termasuk dalam hal keamanan anak-anak. Dengan begitu, anak akan terjaga dari segala bentuk kekerasan dan bahaya dari luar.
Adapun sarana pendidikan dan fasilitas yang mendukung ke arah kemudahan menuntut ilmu dan teknologi akan dikembangkan seperti biaya pendidikan gratis, mendukung berbagai penelitian dan riset serta mudahnya inovasi dalam teknologi dan industri. Kita bisa melihat, keberhasilan seorang Muhammad Al-Fatih yang mampu menaklukkan Konstantinopel saat usianya masih muda belia, adalah hasil dari kesuksesan sebuah peradaban yang mampu melindungi hak-hak anak dan menjadikan anak sebagai para pemimpin peradaban. Penakluk dunia demi kemuliaan Islam.
Sudah saatnya kita kembali kepada Islam. Hanya Islam, yang terbukti mampu mewujudkan hak-hak anak dan kelayakan kehidupannya. Penerapan Islam secara kafah akan mampu melahirkan generasi muda yang berkepribadian Islam menjadi para pemimpin, pejuang Islam yang dia hanya akan hidup dengan kemuliaan Islam
Wallahu 'alam bishshawab