> Gas Melon Langka: Distribusi Tidak Tepat atau Dikuasai Sindikat? - NusantaraNews

Latest News

Gas Melon Langka: Distribusi Tidak Tepat atau Dikuasai Sindikat?


Merli Ummu Khila

Pemerhati Kebijakan Publik


Kelangkaan LPG 3 kg kembali terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah-daerah tersebut adalah Magetan, Banyuwangi, dan beberapa wilayah di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, kelangkaan terjadi karena efek hari libur Idul Adha dan Tahun Baru Hijriah. Pertamina juga mengklaim sudah menyalurkan sesuai dengan kuota yang diberikan pemerintah, hanya saja distribusi LPG bersubsidi ini tidak tepat sasaran karena kuotanya diperuntukkan bagi rakyat miskin. (Tempo.com, 27/07/2023)


Gas Langka, Apa Penyebabnya?


Kelangkaan LPG 3kg ini bukan hanya disebabkan oleh permintaan pasar yang tinggi, tapi ada ketidakberesan dalam distribusi hingga ke konsumen. Sindikat pengoplos gas bak jamur di musim hujan. Pemberantasannya bak mati satu tumbuh seribu. Tabung gas 3kg bersubsidi di pindahkan ke tabung 12 kg dan 50 kg nonsubsidi. Dengan cara ini sindikat pengoplos bisa mengeruk keuntungan berlipat.


Kasus ini terjadi di seluruh wilayah dan berlangsung bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian. Ancaman kurungan penjara sepertinya tidak membuat pelaku ciut atau pun jera. Buktinya kasus penangkapan terus saja terjadi. Keuntungan yang menggiurkan serta lemahnya pengawasan dalam pendistribusian ke konsumen semakin menambah maraknya sindikat pengoplos gas ini.


Selain itu, kuota yang disiapkan oleh pemerintah untuk LPG bersubsidi hanya untuk rakyat miskin itu menjadi ambigu di masyarakat. Di kondisi yang serba sulit seperti ini, tentu saja masyarakat akan memilih membeli gas bersubsidi. Claim bahwa saya stok yang disediakan sudah sesuai kuota itu hanya berdasarkan data tanpa melihat fakta pendistribusian di lapangan yang lemah pengawasan.


Sindikat Pengoplos Bertebaran


Penyediaan gas LPG bersubsidi dan nonsubsidi membuka peluang orang bertindak curang. Pendistribusian yang tidak diawasi secara ketat, membuat pelaku tergiur dengan margin yang besar. Bayangkan saja, Gas 3 kilogram bersubsidi dengan harga Rp 20 ribu. Jika di oplos ke tabung 12 kg, maka dengan modal 4 tabung harga Rp 120 ribu, dijual kembali dengan harga tabung 12 kg nonsubsidi kisaran Rp 180 ribuan. Maka keuntungannya sudah 40% dari modal.


Selain itu, para pengoplos tidak perlu menyediakan peralatan canggih, cukup sebuah gudang, dan ini tentunya memudahkan mereka berpindah-pindah untuk menghindari kecurigaan aparat. Meskipun banyak yang tertangkap, tapi banyak juga yang masih bertebaran melakukan kecurangan dengan leluasa. Kalaupun tertangkap, penjara tidak membuat pelaku jera.


Sistem Ekonomi Yang Gagal


Jika menilik dari upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat tidak lepas dari sistem yang diadopsi yaitu kapitalisme liberal. Semua kebijakan ekonomi diserahkan kepada pelaku pasar. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator antara pengusaha dan rakyat. Negara tidak mempunyai otoritas mengatur kebijakan ekonomi.


Ketersediaan elpiji merupakan kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Jika dalam penyediaannya saja dibatasi dengan kuota yaitu khusus masyarakat miskin, kemudian ketika tidak terdistribusi dengan tepat seolah tutup mata. Jangankan untuk menjamin kebutuhan gas seluruh masyarakat, memberikan subsidi saja masih hitung-hitungan. Disini jelas terlihat akar masalahnya adalah negara tidak hadir sebagai pelayan rakyat, namun seperti penjual dan rakyat sebagai pembeli.


Cara pandang pemerintah seperti ini merupakan hasil dari penerapan asas kapitalisme. Di dalam kapitalisme, negara tidak diberikan peran dalam mengatur perekonomian. Hal yang paling penting yaitu kepemilikan yang tidak diatur, semua orang bebas memiliki sesuatu bahkan termasuk kekayaan alam. Inilah yang menyebabkan hampir semua kekayaan alam dikuasai oleh asing dan swasta.


Kepemilikan Dalam Perspektif Islam


LPG (liquefied petroleum gas) atau gas bumi yang dicairkan dengan komponen utama propana (C3H8) dan butana (C4H10). Bahan baku elpiji ini merupakan gas alam yang merupakan kepemilikan umum harus dikelola oleh negara. Hal ini berdasarkan hukum syariat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud). Artinya semua kekayaan alam termasuk gas alam tidak boleh dikuasai individu maupun swasta.


Selain itu, corak kepemimpinan dalam Islam tentu sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan kapitalisme. Islam menjamin semua kebutuhan dasar rakyat baik muslim maupun non-muslim, kaya atau miskin, semua mendapatkan hak yang sama. Kebutuhan ini dijamin secara langsung dan tidak langsung. 


Pendistribusian air, listrik dan gas kepada rakyat dengan harga yang murah, dan keuntungan dari pengelolaan energi ini dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk lain berupa jaminan akan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan yang dijamin secara langsung.


Hal ini sangat mungkin terjadi jika saja kita mau kembali pada kehidupan Islam. Menerapkan sistem bernegara yang dulu pernah menguasai duapertiga bumi. Sistem ini bernama Khilafah. Peradaban yang pernah menjadi mercusuar dunia selama 1300 tahun lamanya dan terbukti mensejahterakan rakyat. Sehingga tidak berlebihan jika seorang sejarawan Barat Will Durant (1885-1981), mengatakan: Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari China, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol.


Wallahu a'lam bishshawab

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.