Oleh Annisa Al Maghfirah
(Pegiat Literasi)
TPPO ( Tindak Pidana Perdagangan Orang) di Indonesia terkuak lagi. Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap 12 tersangka sindikat TPPO jaringan internasional.
Sindikat ini menjual organ ginjal ke Kamboja. 122 korban telah terjerat. Dua orang dari sindikat ini, merupakan anggota polisi dan petugas imigrasi. Ironis, aparat yang seharusnya pelindung masyarakat, malah terlibat hal jahat. Mereka bahkan turut membantu merintangi penyidikan sejak markas sindikat ini terungkap di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Juni 2023 (kompas, 20/7/2023).
Perdagangan organ tubuh ini jelas meresahkan, apalagi melibatkan aparat. Kombes Hengki menjelaskan, oknum anggota Korps Bhayangkara itu berinisial Aipda M, dan oknum petugas imigrasi berinisial HA. Diinformasikan, Aipda M menerima Rp612 juta untuk membantu para tersangka agar tidak terlacak oleh aparat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menegaskan Aipda M dipastikan menjalani proses pidana.
Fenomena perdagangan ginjal internasional melalui media sosial ini sebenarnya bukan hal baru. Januari 2023 lalu, kasus ini sudah mulai terendus. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan telah memutus akses tujuh laman dan lima grup media sosial terkait jual beli organ tubuh. Namun sayang hal tersebut belum bisa memutus kejahatan ini.
Penjualan organ tubuh manusia meskipun dilakukan untuk tujuan transplantasi medis jelas melanggar aturan. Selain berbahaya dan bisa mengancam jiwa pendonor, proses yang ilegal tidak dibenarkan dalam dunia medis. Apalagi motif dari korban dan pelaku adalah demi mendapatkan cuan.
Tidak heran jika Antropolog Nancy Scheper-Hughes dalam jurnal medis "The Lancet" menunjukkan bahwa jual beli organ menjadi bagian dari pariwisata transplantasi di negara-negara miskin, yang berkembang karena faktor ekonomi.
Bahkan perdagangan organ tubuh menjadi bisnis menggiurkan bagi sindikat-sindikat yang terlibat. Tak ayal, menyeret oknum aparat dan imigrasi dalam bisnis yang menggiurkan ini.
Fenomena perdagangan organ jelas merupakan wujud eksploitasi terhadap kemiskinan. Warga miskin diberi harapan palsu terpenuhinya kebutuhan dasar padahal sangat mungkin nyawanya tengah terancam.
Jurang kesenjangan luar biasa yang diciptakan kapitalisme dan motif meraih keuntungan instan dengan menghalalkan segala cara telah menggiring manusia pada dehumanisasi peradaban.
Islam Menjaga Nyawa
Dalam tinjauan fikih, memang terdapat kebolehan menjual organ tubuh pada saat masih hidup yang dilakukan oleh pemilik organ. Tapi selama bukan pada objek-objek vital yang bisa menyebabkan kematian. Sebab, seseorang memiliki hak atas tubuhnya. Sehingga ia memiliki hak untuk mendonor namun dengan cara yang dibenarkan syariat dan aman secara medis.
Kendati demikian, kecil sekali kemungkinan hal itu menjadi pilihan yang diambil apalagi menjadi bisnis, jika dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab sistem ekonomi Islam mampu menjamin distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat yang diperoleh dari kekayaan SDA, dari baitul maal, zakat dan sebagainya.
Dalam Islam, melukai orang lain dengan lisan saja sudah termasuk perbuatan tercela, apalagi sampai melukai tubuh seseorang dan menjual organnya demi cuan. Padahal belum tentu yang didonor sembuh atau pas dengan pendonor, dan bisa juga pendonor akan merasakan akibat dari mendonor organ tubuh yang pentingnya. Ini adalah perbuatan zalim baik untuk diri sendiri selaku pendonor, juga zalim kepada sesama manusia selaku yang membisniskan jual beli organ ini.
Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (TQS Al-Ahzab : 58).
Kita perlu regulasi yang tepat supaya kasus penjualan organ ini bisa diselesaikan secara tuntas. Berharap pada sistem yang saat ini diterapkan tentu ibarat menunggu hujan di musim kemarau. Maka perlu sistem alternatif yang bisa memberikan solusi secara sempurna dan paripurna.
Wallahu a'lam bishawab