Pegiat Literasi
Siang itu Afung berkeluh kesah. Sejak pagi hingga siang hari tak satu pun penumpang mampir di beranda gadgetnya. Matanya sudah hampir lelah karena pandangannya hampir tak pernah bergeser dari telepon selulernya. Kadang berbaring, duduk, atau sesekali berjalan mondar-mandir di pinggir trotoar, Afung terus saja menatap layar sebesar genggaman tangan itu.
Kondisi tersebut bukan pertama kali Afung alami karena sepinya pelanggan. Ia pernah mengalami situasi terburuk ketika Covid-19 melanda negeri ini. Pada saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemprov DKI melarang keras ojol beroperasi, Afung hanya bisa mengantongi uang sekitar Rp50.000 atau rata-rata Rp1 juta sebulan, itu pun dari pelanggan yang memesan makanan.
Menurut penuturan Afung, penghasilan menjadi driver ojol sangatlah tidak sepadan mengingat pengeluaran untuk perawatan motor, bensin serta kuota internet ditanggung sendiri. Sementara penghasilan yang diperoleh Afung jauh dari kata cukup bahkan terkadang hanya dapat nol rupiah. Pada 19 Mei 2023 misalnya, ia mendapat dua pesanan mengantar penumpang ke SMP Negeri 248 Jakarta dan ke daerah Pademangan dengan mengantongi Rp52.100. Kemudian di tanggal 23 Mei 2023, Afung hanya mendapat satu pesanan mengantar penumpang ke daerah Pademangan Timur sebesar Rp10.800. Jika dirata-rata penghasilan perharinya adalah Rp50.000, maka sebulan hanya dapat Rp1,5 juta. (Bbcnews, 26/07/2023)
Ojol Menjerit, Kapitalisme Kian Menggigit
Sejak diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini, kondisi masyarakat memang kian terpuruk. Bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia persoalan yang dihadapi rakyat makin variatif. Persoalan gizi buruk, stunting, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, dan beragam kezaliman tak pernah luput dari pemberitaan media. Pun persoalan yang terjadi antara perusahaan platform digital dengan pengemudi online atau kurirnya menimbulkan ketimpangan yang cukup besar. Para pengemudi ojol dengan perusahaan platform digital hanyalah hubungan kemitraan yang lebih cenderung menguntungkan pihak perusahaan, sedangkan driver ojolnya dieksploitasi tanpa gaji.
Atas ketimpangan tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan pun berusaha menyusun Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. Permen ini diharapkan akan menjadi standar baku untuk menyusun perjanjian kerja atau kontrak antara platform dengan pengemudi.
Namun yang perlu dicermati, apakah Permen tersebut akan efektif saat diterbitkan? Pasalnya, peraturan apa pun yang dikeluarkan pemerintah tak pernah bisa benar-benar menjadi solusi jika pokok persoalannya tidak diatasi. Berapa banyak aturan serupa dibuat tapi tak menuntaskan persoalan buruh atau pekerja. Pokok persoalan ini tentu saja berada pada sistem yang diterapkan oleh negara yakni kapitalisme sekuler bukan aturan-aturan baru yang dibuat sesuai kebutuhan.
Kapitalisme sekuler ketika diberlakukan dalam kontrak kerja, yang terjadi adalah perampasan hak pekerja. Waktu, pikiran dan tenaga mereka kerap dieksploitasi secara tidak manusiawi. Bahkan upahnya pun jauh dari kata layak jika dikaitkan dengan tenaga yang dikeluarkan. Padahal, hubungan pekerja dan majikan (perusahaan) adalah hubungan simbiosis mutualisme. Sama-sama saling membutuhkan, sama-sama memiliki hak dan kewajiban/tanggung jawab yang harus dijalankan. Akan tetapi di mata kapitalisme, pekerja adalah mesin industri untuk mencetak rupiah. Mereka cukup diberi upah sekadar bisa makan dan bisa bekerja.
Negara yang harusnya hadir sebagai penengah dalam masalah antara pekerja dan pengusaha, dalam sistem kapitalisme justru hanya jadi regulator dan fasilitator pengusaha. Salah satu bukti keberpihakannya adalah pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Dengan disahkannya undang-undang ini, perusahaan bisa membuat pekerja dikontrak seumur hidup (sesuai Pasal 61A), atau buruh akan kehilangan kepastian kerja, ekonominya akan semakin goyah karena upah semakin rendah sementara beban kerja akan bertambah, bahkan nilai tawar buruh terhadap perusahaan dan pemerintah akan merosot. Oleh karena itu, masalah ojol dan kaum buruh adalah masalah bangsa ini ketika ada dalam naungan kapitalisme. Selamanya akan mengalami kesulitan dan kesempitan hidup jika sistem yang diterapkan bukan sistem sahih yang berasal dari syariat.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
"Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS Taha: 124)
Kembali Pada Sistem Islam, Kembalinya Hak Pekerja
Dalam pandangan Islam, seorang pekerja atau seorang muslim yang berada di bawah tanggungan seseorang harus diperlakukan secara bermartabat. Dipenuhi kebutuhannya dan tidak memberinya tugas melebihi batas kemampuannya. Ketika terjadi kontrak kerja, Islam melarang seorang pemberi kerja untuk menunda-nunda dalam memberi upah hingga pekerjaan itu selesai dilakukannya.
Rasulullah bersabda:
"Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan memberikan hak pekerja sesuai arahan Islam, sejatinya pemberi kerja telah melakukan hal terpuji yang disukai Allah dan rasulNya.
Untuk itulah mengapa Islam sangat menjunjung tinggi dibuatnya akad yang jelas dan tidak melanggar syarak.
Akad (perjanjian) adalah salah satu hal terpenting dalam sistem perekonomian Islam. Setiap orang wajib menunaikan apa yang telah disepakati dalam akad baik yang berkaitan dengan pekerjaan, upah, waktu kerja, dan sebagainya. Akad merupakan suatu ketetapan yang dibuat dalam rangka mengatur secara praktis hubungan kontrak kerja (ajir dan mustajir) yang meliputi etika serta hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya:
“Seorang muslim itu terikat oleh syarat-syarat perjanjiannya, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari Abu Amir Al Aqli)
Selain itu, negara juga akan terus menjaga ketakwaan individu melalui berbagai kegiatan dan lembaga pendidikan agar transaksi yang terjalin antara pekerja dan pemberi kerja (ajir dan mustajir) terwujud keterbukaan sehingga tidak ada sikap yang bertentangan dengan syariat Islam seperti spekulatif, ribawi atau mengandung penipuan (QS Al-Baqarah ayat 278 dan QS Al-Maidah ayat 1).
Jika proses muamalah (transaksi) antara ajir dan mustajir tersebut melanggar ketentuan syariat, maka negara akan memberlakukan sanksi tegas jika arahan dan edukasi tidak berjalan sesuai harapan. Sanksinya disesuaikan dengan kadar kesalahannya. Baik berupa pembatalan kontrak kerja, denda, atau takzir. Inilah peran hakiki negara dalam aktivitas kehidupan umat yakni memastikan serta mewujudkan hukum syarak benar-benar diterapkan
Wallahu a'lam bisshawwab.