Oleh: Ummu Haura
Aktivis Dakwah
“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung
maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri”
(HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Hadits Nabi Muhammad SAW di atas harus menjadi
pengingat bagi para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk tidak membiarkan
ekonomi ribawi tumbuh subur. Tak hanya menjerat masyarakat, kegiatan ekonomi
ini perbuatan yang diharamkan Allah dan pelakunya telah melakukan dosa besar.
Sayangnya, dalam sistem sekularisme yang meminggirkan
ajaran agama untuk mengatur kehidupan manusia, hadits tersebut malah diabaikan.
Kaum Muslim dan penguasanya malah menerapkan perekonomian yang berbasis riba.
Kartu kredit, kredit tanpa agunan, dan yang terbaru adalah pinjaman online
(pinjol).
Aktivitas ribawi ini sangat mudah penerapannya. Hanya
mengandalkan pendaftaran via HP dan tak lama sejumlah uang yang dibutuhkan akan
segera masuk ke dalam rekening peminjam. Pada Mei 2023 tercatat pinjaman online
mencapai nilai yang fantastis yaitu Rp51,46 triliun. Pinjaman online
seakan menjadi angin segar bagi masyarakat yang kepepet kebutuhan hidup, akan
tetapi ada segudang persoalan di balik melonjaknya pinjol.
Persoalan itu antara lain, terungkapnya data pribadi
peminjam ke seluruh nomor kontak yang ada di HP peminjam, ancaman dari pihak
pinjol, hingga kasus bunuh diri karena tak sanggup melunasi utang pinjol.
Individu masyarakat yang mudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif, ingin
selalu mengikuti tren kekinian atau hidup bermewah-mewahan dengan barang-barang ternama, cenderung menggunakan
pinjol untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. Mereka tak lagi memikirkan
resiko apalagi dosa.
Maka dari itu, peran negara sangat dibutuhkan agar
masyarakat yang hidup di dalam pengurusannya bisa terhindar dari berbagai risiko
akibat pinjol dan juga dosa besar. Belum lagi mengundang azab Allah karena
aktivitas ribawi dibiarkan oleh negara. Lihat saja, betapa banyaknya kerusakan
dan bencana alam yang saat ini menimpa masyarakat Indonesia.
Kaum Muslim sebagai mayoritas penduduk di Indonesia
seharusnya menerapkan aturan Islam dalam kehidupannya bukan aturan selain dari
Islam. Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah tidak akan membiarkan
aktivitas ribawi tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Hal
inilah yang harus segera disadari kaum Muslim dan para ulama serta penguasanya.
Penguasa negeri Muslim jangan mau didikte oleh negara kafir penjajah untuk
mengikuti sistem kufur buatan mereka. Penguasa Muslim harus percaya diri
menggunakan aturan Islam dan bukti taatnya ia kepada Allah SWT.
Yang harus diingat penguasa bahwa, mereka akan dihisab
oleh Allah atas kebijakan-kebijakan yang diterapkannya dalam mengatur urusan
masyarakat. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR al-Bukhari dan Muslim).[]