![]() |
By: Farihan_almajriti |
Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak kunjung selesai selama bertahun-tahun dan menjadi hal krusial yang akhir-akhir ini masih hangat dibicarakan. Bahkan diangkat dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo beberapa bulan lalu. Bagaimana tidak, persoalannya menyangkut perdagangan manusia, dan korbannya tidak hanya berasal dari Indonesia saja. Sekarang modusnya tidak lagi menarget Warga Negara Indonesia yang berniat menjadi TKI saja, tetapi modusnya sudah merambah kedalam lingkungan pendidikan. Contohnya kasus TPPO di salah satu Politeknik di Sumatra Barat yang oknumnya melakukan TPPO dengan iming-iming mahasiswa melakukan magang di luar negeri.
Tapi pada kenyataannya bukan semanis madu yang dialami. Sungguh keji. Bahkan Anis Hidayah selaku Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa tindak pidana perdagangan orang dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun yang lalu, dengan menyasar pelajar tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Mahasiswa yang memiliki program magang (Kompas,08/07/2023). Sudah berlangsung selama ini? Kok bisa? Ditambah lagi adanya praktik saling melindungi (backing) oleh beberapa pihak yang membekingi pelaku semakin mempengaruhi tumbuh suburnya TPPO, mirislah keadaan negeri ini.
Peristiwa yang sudah berlangsung selama ini jelas-jelas menampar dunia pendidikan kita. Jenis payung hukum seperti apa yang menaungi kita sehingga kejadian seperti ini masih saja berulang selama belasan tahun? Setidak tegas itukah payung hukum kita sehingga praktik semacam ini terus berulang bahkan disebut modus lama?
Mengutip dari laman web kedubes US, dikatakan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), walaupun sedang membuat upaya yang signifikan untuk memenuhinya. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional karena masih memuat syarat pembuktian kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan kejahatan perdagangan seks anak (USAssembely).
Magang pada pelajar-Mahasiswa ternyata rawan menjadi celah TPPO. Magang seharusnya menjadi jalan pembelajaran secara langsung bagi mahasiswa atau siswa. Magang jelas berbeda dengan bekerja. Sayangnya, magang disalahgunakan akibat kerakusan oknum. Pelajar-pelajar Indonesia direkrut keluar negeri untuk pekerjaan magang yang seolah-olah resmi dan dieksploitasi dalam kerja paksa di luar negeri. Bahkan, tahun-tahun sebelumya ada laporan bahwa sejumlah universitas “pencari laba” di Taiwan secara agresif merekrut orang Indonesia dan kemudian menempatkan mereka kedalam kondisi kerja yang mengeksploitasi dengan iming-iming peluang meraih pendidikan. Tapi yang kita lihat dari berita-berita yang muncul, hal-hal memprihatinkan yang mereka dapat. Mulai dari kerja 14 jam selama semiggu tanpa libur hingga hak untuk beribadah pun direnggut.
Perlu diwaspadai juga praktek PKL. Dimana, siswa didik seharusnya belajar langsung namun faktanya banyak dipekerjakan dan tanpa gaji karena dianggap sedang magang. Ada peluang dieksploetasi orang lain untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Korupsi endemik oleh oknum dikalangan aparat pemerintah yang terkadang berkolusi dengan oknum tertentu yang memfasilitasi praktik-praktik ilegal ini juga menambah kontribusi pada kerentanan perdagangan orang dalam lingkungan pendidikan, industri perjalanan, perekrutan tenaga kerja, dll.
Inilah akibat daripada penerapan kurikulum pendidikan yang kian sekuler (memisahkan agama dengan kehidupan), menjadikan para pelajar dan pengajarnya disibukkan untuk mendulang materi. Bahkan, orientasi pendidikan saat ini telah berubah menjadi sekadar ajang mengejar gelar dan skil dengan mengikuti program magang misalnya. Padahal didalangi oleh niat-niat kapitalistik. Spirit pendidikan saat ini seolah-olah memotivasi pelajar mengenyam pendidikan untuk setelahnya bisa bekerja mencari uang setelah lulus sekolah/kuliah.
Selain itu, potensi Pelajar/Mahasiswa dijadikan aset bagi pemberdayaan ekonomi negara. Padahal, potensi pelajar tidak hanya sebagai aset ekonomi, tetapi pelajar bisa berdaya diberbagai bidang untuk kemaslahatan umat. Menyibukkan Pelajar/Mahasiswa dalam mengejar materi semakin menumpulkan kekritisan Pelajar/Mahasiswa terhadap problem hakiki negara dan peran amar makruf mengoreksi penguasa dan kebobrokan sistem sekuler-kapitalisme saat ini. Semua ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang dulunya pernah menjadi arah kiblat pendidikan barat saat ini yaitu sistem pendidikan dalam sistem Islam.
Islam dengan sistem pendidikannya, memiliki target besar mencetak generasi yang berkepribadian islam (syahksiyah islamiah). Bukan mencetak generasi buruh/pekerja. Tsaqofah Islam dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengenyam pendidikan dijadikan sebagai bekal untuk memberi solusi bagi problematika kehidupan umat, bukan sekedar meraih gelar sarjana. Selain itu, pelajar juga mendapat pemahaman mengenai hakekat bekerja menurut Islam yang disertai dengan seluruh keahlian maupun pelatihan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Bekerja adalah salah satu jalan mencari nafkah. Dan perlu diketahui hukum asal bekerja adalah wajib bagi laki-laki dan bagi perempuan adalah dibolehkan (mubah). Islam juga mengatur tentang kontrak kerja (Ijarah) sehingga majikan dan pekerja terhindar dari akad zalim yang justru bisa mengeksploitasi pekerja (Muslimahnews, 12/07/2023).
Dari sistem pendidikan Islam inilah akan dilahirkan banyak pakar yang tidak hanya ahli dibidangnya melainkan juga fasih agama dan paham cara menyelesaikan permasalahan dunia. Islam menjadi sistem pendidikan terbaik sehingga mampu menyiapkan SDM yang berkualitas. Demikian pula dalam menyediakan pendidikan praktis guna menguatkan pembelajaran.
Wallahu a'lam.