![]() |
Penulis: Luwy Sartika |
Kirab PEMILU 2024 tinggal sebentar lagi. Upacara pemilihan calon pemimpin negara ini adalah momen yang ditunggu-tunggu para calon, pun partai-partai yang turut andil mengusung calonnya. Berbagai upaya kampanye mulai ramai terlihat, poster-poster berjejer memenuhi sepanjang jalanan umum. Pendekatan pun gencar dilakukan kepada rakyat demi mendapatkan simpati dan perhatian. Saat itu, rakyat seakan berada pada posisi yang paling istimewa yang kerap diberikan hadiah secara cuma-cuma oleh para calon. Tak hanya rakyat, kepala desa juga menjadi pihak yang memegang andil besar terhadap mulusnya kampanye. Apalagi, jika calon memiliki hubungan koneksi yang baik dengan kepala desa. Maka wajar jika jabatan kepala desa merupakan posisi yang banyak diminati.
Belum lama ini Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyuarakan agar pemerintah pusat mengalokasikan 10% APBN untuk desa atau sekitar Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun (katadata.co.id, 08/04/23). Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022, dimana rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp907,1 juta. Selain menuntut kenaikan anggaran desa, para kepala desa juga meminta agar pemerintah memperpanjang masa jabatan kepala desa yang semula satu periode adalah 6 tahun menjadi 9 tahun. Tuntutan ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berkaitan dengan alokasi dana desa, Badan Legislasi (Baleg) DPR menetapkan alokasi dana desa sebesar Rp2 miliar masuk ke dalam draf revisi Undang-Undang tentang desa tersebut. Namun, anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuanga (PDIP), Johan Budi Sapto Pribowo menolak dan mendorong dana desa sebesar 15% dari dana transfer daerah. Alasannya, karena banyak desa yang tentunya membutuhkan anggaran lebih dari Rp2 miliar untuk pembangunanya (news.republika.co.id, 27/06/23).
Pemberian dana desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Selain itu, juga bertujuan meningkatkan pelayanan publik di desa, mamajukan perekonomian desa, mengentaskan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa. Namun, apa jadinya jika dana desa yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan desa berikut masyarakat desa malah dikorupsi oleh para penyelenggara kekuasaan di desa?
Kasus korupsi dana desa menurut pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) berada pada kisaran angka 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum pada 2022. Dari 155 kasus korupsi desa pada 2022, secara rinci 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sementara 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Akibatnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp381 miliar (katadata.co.id 08/04/23).
Adapun terkait perpanjanngan masa jabatan kepala desa, pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto menyebut revisi Undang-Undang tersebut dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Sehingga, potensi terbentuknya politik dinasti bisa saja terjadi. Mengingat, setelah masa jabatan kepala desa telah habis akan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama (rejogja.republika.co.id, 01/07/23).
Adalah hal yang lumrah dalam politik demokrasi, ketika seseorang menempati kursi kekuasaan kemudian melakukan penggelapan dana atau korupsi terhadap apa yang sebenarnya adalah amanah untuknya. Politik demokrasi adalah politik berbiaya mahal sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya ataupun yang ingin menduduki tampuk kekuasaan haruslah merogoh kantong lebih dalam. Hal ini memungkinkan para penguasa akhirnya banyak yang menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha yang bermodal besar dan siap mendanai setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama masa kampanye. Alhasil, ketika sudah berada dalam posisi menjabat, upaya balik modal pun dilakukan sedangkan jika melihat nominal gaji yang diperoleh tidaklah sebanding dengan dana yang dikeluarkan selama masa pencalonan. Dari sinilah tindak korupsi dana desa rawan dilakukan. Sebab, itu adalah jalan yang paling cepat dan menjanjikan jika ingin segera balik modal.
Dalam Demokrasi-Kapitalisme, yang akan naik ke kursi pemerintahan adalah mereka yang memililki suara paling dominan. Oleh sebab itu, tak jarang pemimpin yang berkuasa malah bukan yang memang mampu memegang amanah melainkan pihak-pihak yang hanya dipilih berdasarkan banyaknya suara saat pencoblosan tanpa mempertimbangkan kelayakannya dalam menjalankan amanah. Belum lagi upaya balas jasa kepada pengusaha yang sudah memberi modal saat masa kampanye tentu masih harus diselesaikan, alhasil kepala pemerintah pun akan menurunkan kebijakan-kebijakan yang akan mempermulus pekerjaan para pengusaha ini ketika akan melakukan suatu proyek di wilayah yang diwenangkan kepada kepala tadi. Dari sini maka terbentuklah suatu hubungan kerjasama multi-pihak yang melibatkan pengusaha, penguasa, partai-partai juga pihak individu masyarakat yang menjadi bagian untuk menjadi tim sukses kampanye.
Oleh karena itu, korupsi tidak akan mampu diberantas selama sistem yang dianut negara masih dalam lingkup sistem Demokrasi Kapitalisme. Untuk mencapai kesejahteraan Negara, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Di antaranya adalah, pertama, aspek ketakwaan individu yang menjadi pemegang kekuasaan. Karena, dengan tertanamnya sikap takwa dalam diri seorang pemimpin maka ia akan menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah sebuah amanah yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat sehingga ia akan berhati-hati dan tidak akan melakukan penyelewengan kekuasaan hanya demi kepentingannya sendiri.
Ke-dua, perlu adanya suatu badan pengawas keuangan yang akan mengawasi harta kekayaan pejabat yang bersangkutan. Sehingga, ketika terjadi penambahan harta yang tidak wajar bisa segera untuk diproses dan dilakukan tindakan pengusutan. Ketiga, gaji yang diberikan kepada mereka haruslah sesuai dengan jasa yang telah diberikan dan mencukupi kebutuhan mereka. Sehingga, tidak ada yang namanya korupsi terhadap anggaran milik umum. Ke-empat, haruslah ada sanksi yang mampu memberi efek jera kepada pelaku korupsi. Disamping untuk memberi efek jera bagi pelaku dan masyarakat yang menyaksikan hukumannya, juga mampu menjadi penghapus dosa atas perbuatannya yang salah. Sehingga kelak di akhirat tidak perlu dibalas lagi.
Solusi yang telah disebutkan tersebut adalah berasal dari Islam. Sebab, hanya Islam yang mampu memimpin dunia dengan rasa keadilan yang dirasakan oleh semua individu tanpa kecuali. Dalam Islam, selain solusi yang solutif juga aturan yang diterapkan sangat mempermudah semua orang. Biaya hidup diberikan dengan murah seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan dipastikan akan mudah dijangkau oleh semua pihak. Selain itu, kebutuhan kolektif seperti pendidikan, keamanan, kesehatan dan lainnya akan disediakan secara gratis. Semua itu hanya akan terwujud apabila sistem Islam dalam naungan Khilafah yang mengatur kehidupan manusia. Islam adalah satu-satunya agama yang di dalamnya tercakup aturan hidup manusia yang berasal dari Tuhan yaitu Allah Subhaanahuu wata’aala. Dapat dipastikan, tidak akan membuat seseorang merasa terzholimi. Sudah saatnya kita kembali pada aturan yang berasal dari Tuhan dan meninggalkan sistem kufur Kapitalisme.
Wallaahu a’lam.