Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Hubungan bilateral Korea Selatan dan Indonesia sudah terjalin kurang lebih 50 tahun. Sebagai tuan rumah ASEAN dan Ketua MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia), Indonesia tentu sangat bangga dengan kunjungan ini.
Ditambah dengan adanya kunjungan dari rombongan National Student Committee of the Democratic Party of Korea (Minjudang) atau Pemuda Partai Demokratik Korea yang dipimpin oleh So-Young selaku ketua delegasi, pada 27 Juni 2023. Kegiatan dari organisasi sayap pemuda asal Korea Selatan ini juga dijembatani oleh Indonesia Youth Diplomacy (IYD).
Dalam kunjungannya, Minjudang telah bertemu organisasi sayap pemuda partai di Indonesia, seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Banteng Muda Indonesia (BMI) untuk membahas signifikansi dan peran pemuda yang dapat dilakukan di Korea Selatan dan Indonesia. (dpr.go.id, 03/07/2023).
Selain itu, rombongan Minjudang bertemu dengan Angela Tanoesoedibjo Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) yang juga Wakil Ketua Umum Partai Perindo Bidang Ekonomi Digital dan Kreatif. Angela berharap, dengan kehadiran dan pertemuan dengan rekan-rekan muda dari Minjudang dapat menjadi motor penggerak Korea Selatan dan Indonesia, terkhusus dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. (Okezone.com, 30/06/2023).
Lagi-lagi alasan ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif dan lagi-lagi solusinya seperti itu. Hanya jadi pembebek dan penikmat remah-remah berbagai kunjungan tokoh dan selebritis lokal, asing, dan aseng, yang dikemas dengan berbagai kegiatan menarik, mulai dari sekedar kunjungan diplomasi, berbagai konser musik, dan event hiburan serta olahraga. Tempatnya pun bukan hanya di kota-kota besar, tapi sudah merambah ke berbagai daerah.
Belum lama berselang di Sumedang, masih dalam rangka rangkaian kegiatan hari jadi Sumedang, pemerintah daerah kabupaten Sumedang bekerjasama dengan salah satu stasiun televisi swasta Indonesia menyelenggarakan Event Karnaval SCTV Sumedang bertajuk "Suka Menari dan Berdendang" yang digelar dua hari, pada 10-11 Juni 2023. Tidak dipungkiri, event ini menyita perhatian sebagian masyarakat Sumedang, bahkan disebut-sebut sebagai roda penggerak ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif. (sumedangkab.go.id, 12/06/2023).
Dan nanti beberapa bulan ke depan akan ada pula konser musik grup band luar negeri yang penjualan tiketnya sempat menjadi tranding topik yang penomenal dan kontroversi karena dukungannya terhadap perilaku menyimpang bahkan ada anggotanya yang disinyalir sebagai pelaku perilaku tersebut.
Memang, jika dibandingkan dengan hari-hari biasa, nampaknya omzet yg didapat dari berbagai kegiatan tersebut cukup tinggi. Hal ini dikarenakan adanya tokoh yang diidolakan sehingga mampu menarik lebih banyak pengunjung baik dari dalam maupun luar kota. Tentu ini berpengaruh juga pada sektor pariwisata. Setidaknya untuk hari itu.
Namun ada hal miris yang dialami oleh pelaku ekonomi kreatif nun jauh di pelosok sana. Mereka mengeluh bahwa omzetnya menurun karena dagangannya sepi pembeli dibanding hari-hari biasanya. Mungkin karena aktivitas jual belinya jadi terpusat di tempat-tempat kegiatan tersebut berlangsung. Hal senada juga dirasakan oleh para pelaku ekonomi kreatif yang letaknya hanya berjarak satu Kilometer dari tempat tersebut.
Dan dalam kenyataannya, tidak semua pelaku ekonomi kreatif yang berjualan di acara-acara tersebut omzetnya naik. Memang betul pelaku ekonomi ramai, tapi ada sebagian yang mengeluh pemasukannya tidak sesuai dengan apa yang diperkirakan. Karena yang terlihat itu hanya sebagian saja, seperti makanan dan minuman. Tetapi pelaku ekonomi kreatif yang lain semisal produk kerajinan dan pakaian sama saja, karena tidak semua yang datang niatnya berbelanja. Kebanyakan mereka ke sana hanya butuh hiburan saja, kepo dengan artis/tokoh pujaannya. Hal ini menunjukkan bahwa semua kegiatan tersebut tidak menjamin mampu mendongkrak ekonomi kreatif. Kalaupun iya, itu hanya sebagian saja. Tidak menyeluruh untuk semua pelaku ekonomi yang ada di masyarakat.
Lagipula pelaku ekonomi kreatif yang bisa berjualan di tempat seperti itu juga terbatas, tidak sembarang pelaku ekonomi kreatif pastinya. Jadi uang tetap berputar di kalangan tertentu saja, terutama yang bergabung dengan wadah pengusaha, seperti Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indoneaia), Persikindo (Perkumpulan Srikandi Kreatif Indonesia), dll. Sementara pelaku ekonomi kreatif lainnya tidak. Apalagi masyarakat umum, tugasnya hanya mengeluarkan uang untuk berbelanja saja. Itu pun bagi yang punya, kalau tidak? Apa bisa meningkatkan indeks kebahagiaan? Kebahagiaan seperti apa?
Jika dianalisis secara rasional, adanya kegiatan-kegiatan seperti itu hanya pengalihan konsumsi dan titik kumpul orang-orang. Ketika di hari lain mereka makan dan minum atau sekedar kumpul di rumah atau tempat lain, di hari tersebut mereka melakukan semua itu di sana. Atau yang biasanya belanja di pasar atau warung dekat rumah, hari itu belanjanya di sana. Jadi tidak ada pertambahan konsumsi yang signifikan. Terkecuali ada wisatawan asing, memang ada aliran dana masuk baik ke kas daerah maupun pelaku ekonomi di sana. Tapi ini kan tidak, kalaupun ada jumlahnya tidak banyak.
Belum lagi kebahayaan lain dari efek kegiatan tersebut, semisal kerja sama pemuda Korea dan Indonesia. Budaya Korea dengan Korean Wave/Hallyu nya jelas tidak bebas nilai. Impor budaya Korea sama dengan impor nilai-nilai liberalisme dan HAM. Ini jelas sangat berbahaya bagi bangsa dan negara, terutama bagi generasi.
seharusnya pemerintah Indonesia berhitung dengan cermat dampak positif dan negatif saat menjalin hubungan bilateral. Bagi Korea, hallyu merupakan instrumen politik luar negeri, diplomasi soft power yang menjadikan pembangunan industri pariwisata modern sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru, sementara K-Pop sebagai pusat industrinya. Dampak negatif industri K-Pop berupa pengaruh nilai-nilai liberalisme, promosi kehidupan seks bebas, sikap permisif, konsumtif dan hedonis.
Apa yang sudah dipersiapkan Indonesia untuk membendung serangan budaya dan gempuran ekspor K-Pop dari Korsel? Bukankah Indonesia katanya memiliki seribu budaya, mengapa pemerintah justru membuka kran impor budaya asing? Tidakkah cinta dan bangga dengan budaya bangsa sendiri sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius? Lalu apa artinya NKRI harga mati kalau naluri warga negaranya dibikin mati?
Kondisi seperti ini menunjukkan lemahnya kekuatan diplomasi bilateral Indonesia, lebih-lebih diplomasi multilateral maupun global. Pemerintah lemah dalam mempertahankan jati diri dan prinsip bernegara, berdasarkan agama (ketuhanan). Pemerintah Indonesia hanya mengekor apa-apa yang berbau globalisasi. Dari masalah ini saja sudah ketahuan bahwa pengambil kebijakan negeri ini adalah para pemodal, partai politik, dan oligarki. Bukan politisi hakiki dan bukan negarawan sejati.
Lihat saja, bagaimana pemerintah saat ini. Di satu sisi pemerintah menggenjot UMKM, sebagai antisipasi terhadap resesi. Karena pemerintah beranggapan bahwa, modal UMKM kecil tinggal digerakkan untuk meminjam modal ke Bank maka UMKM bisa berjalan kembali. Tapi di sisi lain perhatian dan dukungan terutama dalam bantuan dana justru jauh lebih besar kepada perusahaan sekularitas bermasalah. Seharusnya jika memang benar perhatian terhadap UMKM dan berharap banyak darinya, maka yang harus mendapatkan perhatian ekstra adalah semua UMKM.
Meski memang meskipun sebesar apapun perhatian pemerintah, tidak akan berefek besar terhadap kebangkitan ekonomi suatu wilayah, lebih jauhnya suatu bangsa. Karena diakui atau tidak, itu hanyalah remah-remah pendapatan negara.
Sumber pendapatan terbesar adalah dengan mengelola SDA semaksimal mungkin tanpa penyerahan campur tangan kepengurusan kepada pihak swasta, asing, atau aseng. Juga pemberdayaan SDM semaksimal mungkin dengan pembekalan ilmu dan pelatihan yang juga maksimal sehingga tidak perlu mendatangkan pekerja asing. Bukan dilatih untuk menjadi artis K-Pop atau band minus akhlak apalagi sekedar menjadi pengagumnya.
Bukankah Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim dan dipimpin oleh muslim? Seharusnya Indonesia memakai sistem pemerintahan Islam termasuk dalam menjalin hubungan dengan negara lain, maka politik yang dipakai adalah politik luar negeri Islam.
Karena dalam politik luar negeri Islam, kerja sama dengan negara lain haruslah memberikan kemaslahan bagi warga negara. Tidak boleh sedikitpun memberikan celah peluang bahaya bagi kepentingan dalam negeri, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan keamanan. Dengan pengelolaan SDA dan SDM yang benar, serta dengan sistem pemerintahan yang juga benar, maka kebahagiaan hakiki dapat diraih yaitu berkah di dunia juga selamat di akhirat.
Wallahu'alam bishshawab.