Remisi, Ketidakseriusan Memberi Efek Jera

Oleh: Kharimah El-Khuluq

Fantastis, Sebanyak 6.746 napi memperoleh pengurangan masa hukuman pada saat Idul Fitri 1441 Hijriah. Dari jumlah itu, 44 napi langsung bebas karena telah selesai menjalani masa hukumannya. Adapun 6.690 napi lainnya, masih harus menyelesaikan sisa masa hukumannya warga binaan biasa dan golongan anak binaan. Besaran remisi yang diberikan antara 15 hari hingga dua bulan. Adapun penerima remisi terbanyak kasus Tindak Pidana Umum dengan jumlah 4.655 orang, kedua kasus narkotika dengan jumlah 1.988 orang (merdekacom, 23/04/2023).

Narapidana atau Napi kasus korupsi proyek KTP elektronik atau korupsi e-KTP Setya Novanto bersama 207 napi lainnya mendapatkan remisi khusus Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah, Sabtu, 22 April 2023. Mantan Ketua DPR RI itu mendapatkan remisi hari raya selama satu bulan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung (tempo.co, 23/04/2023).

Perbuatan kejahatan atau tindak pidana sudah seyogianya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya. Namun mirisnya, tindak pidana yang dilakukan oleh para napi malah diapresiasikan dengan memberikan remisi. Ketika diberlakukan remisi ini seolah menggelar karpet merah bagi oknum untuk melakukan kejahatan lagi. Sebab, mereka akan berpikir bahwa hukum tidak akan memberatkan mereka melainkan meringankan segala bentuk kejahatan yang mereka lakukan.

Ketika penegakan hukum yang tidak tegas dan tidak memberikan efek jera maka jangan harap kejahatan akan teratasi. Sebaliknya, kejahatan akan semakin subur dan akan muncul kejahatan dengan berbagai macam variasi. Karena, hukum yang telah memberikan ruang bagi pelaku untuk melakukan kejahatan.

Bentuk pelonggaran terhadap sanksi yang diberikan kepada napi merupakan implementasi dari sumber hukum yang cacat. Sumber hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri yakni yang terangkum dalam UU. Ketika standar sanksi ditetapkan dengan standar buatan manusia maka di dalamnya akan ada berbagai macam asas kepentingan dan sewaktu-waktu bisa diubah. Akan seperti itulah jalannya penegakan hukum ketika suara manusia diagungkan sedangkan suara Tuhan (syariat Islam) diabaikan. Bentuk pengabaian terhadap syariat Islam inilah disebut dengan sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan.

Oleh karena itu, agar segala macam bentuk kejahatan bisa dituntaskan dalam negeri ini maka perlu adanya penerapan sistem sanksi Islam (uqubat). Sistem sanksi Islam tidak main-main dalam memberikan hukuman terhadap pelaku kejahatan. Apabila melakukan kejahatan berupa membunuh maka akan diterapkan hukum qishash (membunuh si pembunuh), mencuri dipotong tangan, dll. Namun, sanksi itu dilaksanakan oleh khalifah atau orang yang mewakilinya. Diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum jinayat dan mukhalafat. Sanksi di dunia bagi pelaku kejahatan atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapus sanksinya di akhirat.

Hal itu karena, uqubat atau sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah dari kejahatan/kemaksiyatan) dan jawabir (penebus dosa). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindak pelanggaran, misalkannya ketika ada seseorang yang berzina dan sudah menikah dalam sistem sanksi Islam dijatuhi hukuman rajam yang dilakukan di tempat umum. Sehingga orang yang menyaksikan akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kemaksiyatan yang sama karena takut akan hukuman yang serupa. Keberadaan uqubat sebagai jawabir, yaitu uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara di dunia. (Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam).

Maka dari itu, agar sistem sanksi Islam bisa dilaksanakan maka butuh sebuah negara yang menegakan aturan Islam secara paripurna. Negara yang menerapkan segala aturan Islam secara komprehensif hanya dikenal dengan nama Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahualam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post