Perang Pemikiran di Balik Perang Tiket Coldplay


Oleh: Andi Annisa Nur Dzakiyyah, S.Pd (Tenaga Pengajar, Aktivis Dakwah)

Ir. Soekarno pernah berkata “Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.” Demikianlah kutipan yang mungkin sudah masyhur di telinga para pemuda. Tapi, kutipan ini sepertinya mulai bergeser orientasinya. Awalnya untuk mengguncang dunia, kini untuk mengguncang GBK. Ya. Setelah sebelumnya euforia pemuda menggema saat menonton konser Blackpink, kini Stadiun Utama GBK akan kembali terguncang dengan rencana konser Coldplay yang akan diadakan pada tanggal 15 November 2023 mendatang.

Konser yang terbilang waktu gelarnya masih jauh ke depan ini telah berhasil mengorek antusiasme pemuda sekalipun harga tiketnya terkategori fantastis. Harga tiket termurah sebesar Rp 800.000, sedangkan yang termahal seharga Rp 11.000.000. Upaya yang dilakukan masyarakat untuk membeli tiket ini pun beragam ada yang menabung, menjual barang berharga, hingga menggunakan jasa pinjaman online (pinjol). 

Berburu tiket Coldplay sejatinya adalah bentuk kesia-siaan dan tindak pemborosan dalam membelanjakan harta. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya empat hal… Tentang hartanya dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya…” (H.R. Tirmidzi)

Selain kontroversi mahalnya tiket konser tersebut, ada pula hal miris lainnya. Tak lain adalah perihal fakta bahwasanya Band Coldplay merupakan pendukung kampanye LGBT. Ini jelas dibuktikan dari sikap Chris Martin yang sering mengibarkan bendera LGBT saat konser seperti ketika tampil di Singapura. Penolakan sontak disuarakan oleh MUI dan PA 212. 

Sikap Coldplay yang kerapkali terang-terangan mendukung LGBT memang seharusnya ditolak. Sebab, secara tidak langsung kita akan terkategori mendukung mereka mengampanyekan LGBT, jika ikut larut menikmati konser tersebut. Tak boleh ada tempat bagi kaum yang dilaknat oleh Allah atau ikut mendukung dan mengampanyekan penyimpangan LGBT ini.

Sekalipun jika ada kesepakatan dalam konser tersebut tak akan ada unsur pengampanyean atau penggunaan atribut LGBT, tak elok rasanya jika seorang muslim turut hadir dalam konser ini. Entah karena latah, mengidolakan Coldplay, atau sekadar rindu merasakan oase pertunjukan setelah dua tahun diterpa badai pandemi, menonton konser adalah haram ketika terjadi ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa uzur syari). 

Konser Coldplay Mendongkrak Perekonomian?

Ketika PA 212 menolak Coldplay karena pengampanyean LGBTnya, berbeda dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Penampilan band asal Inggris ini menurut Sandiaga memiliki potensi mendongkrak sektor ekonomi kreatif atau peluang usaha.

Bahkan ada hal yang miris ketika ada pejabat yang malah ikut-ikutan berburu tiket dan merogoh kocek dalam-dalam. Seolah mata dan hatinya teralihkan dari tingginya angka kemiskinan di negeri ini. Padahal menurut Bank Dunia, terdapat sebanyak 110 juta jiwa atau 40% penduduk Indonesia yang terkategori miskin (CNBC Indonesia, 11-5-2023). Bukankah sebaiknya mereka sedikit berempati ketimbang latah flexing dengan mengejar tiket mahal? Negara mungkin dapat memenuhi kesenangan rakyat yang berpenghasilan menengah ke atas, namun apa kabar dengan rakyat miskin? Masih adarakyat kurang mampu yang mungkin kesenangan mereka masih seputar hari ini bisa makan meski dengan sesuap nasi saja.

Bahkan konser ini didukung hanya dengan alasan demi mendongkrak sektor ekonomi. Nyatanya, sektor UMKM hanya mendapat remah-remah keuntungan saja. Yang paling diuntungkan tentu saja para korporat terutama dalam bidang perhotelan, promotor, restoran, penerbangan, dan lain-lain. Welcome to capitalism system! Ya. Sistem kapitalisme adalah yang meniscayakan hadirnya negara yang menjadikan rakyat sebagai tameng dan alasan klise untuk menguntungkan para kaum kapitalis.

Perang Tiket atau Perang Pemikiran?

Demi menonton konser, kita bekerja keras, merogoh kocek dalam-dalam, bahkan sampai rela berhutang demi mempertebal kantong para korporasi. Kita sebenarnya bukan sedang meraih kebahagiaan, tapi meraih tekanan hidup. Bayangkan! Konser hanya beberapa jam saja, tapi apa yang terjadi sebelum dan setelah konser? Sebelum konser kita rela berhutang. Setelah konser, kembalilah kita pusing bagaimana memikirkan pelunasan hutang. Ibarat kata, “bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian.”

Tanpa sadar, umat Islam menjadi korban dari perang pemikiran yang dilancarkan melalui 8F, salah satunya adalah Fun. Hingga akhirnya, budaya Barat bukan lagi milik Amerika, tapi sudah menjadi budaya yang yang menyebar ke seluruh dunia. Termasuk budaya Barat yakni hedonisme yang menjangkiti kaum muslim. Mereka menganggap bahwa kesenangan hidup serta kenikmatan materi menjadi standar kebahagiaan atau kepuasan mereka. Mereka menjelma menjadi kaum konsumtif demi memperoleh kesenangan hidup. Sehingga, meskipun tak mampu, mereka rela berhutang atau menjual barang berharga. Bilapun ekonomi memadai, mereka malah memboroskan hartanya demi mengenyangkan perut kaum korporat. Kesuksesan perang pemikiran ini sukses menjadikan umat Islam mengalami kemunduran berpikir bahkan tak tahu jati diri mereka seperti apa, termasuk pemuda muslim. Sehingga berkumpulnya pemuda kini bukan lagi untuk mengguncang dunia, tapi untuk mengguncang konser maksiyat. Dan di sini, kapitalismelah yang menjadi ideologi yang melandasi lancarnya perang pemikiran meluncur ke para pemuda muslim saat ini.

Tujuan dan Kesenangan Hidup Sejati Seorang Mukmin

Kesenangan dan kebahagiaan sejati seorang mukmin, bukanlah dengan melakukan hal-hal yang tak berfaedah dan mendatangkan maksiat, tetapi dengan meraih rida Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya. dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (Q.S. Al-Mu’minun: 1-3).

Dari sini jelaslah bahwa tolak ukur bahagia seorang mukmin adalah dengan meninggalkan perkara yang sia-sia dan meningkatkan kualitas penghambaan kepada Allah SWT. Jika kita sedikit membuka mata, sebenarnya jalan untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki dan rida Allah SWT mudah. Di luar sana, banyak tiket kajian yang berseliweran. Harganya pun sangat murah. Bahkan, digambarkan oleh Rasulullah SAW, menghadiri majelis ilmu yang membahas Islam ibarat hadir dalam sebuah taman surga. Sisa kita yang memilih, mau hadir di taman surga atau hadir di konser maksiat? 

Wallahu a’lam bish-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post