Pengangguran Makin Tinggi, Manakah Peran Negara Sebagai Pemberi Solusi?

Oleh: Annisa


Sudah lama kualami 

Hidup tiada pegangan

Pengangguran... Ya Allah.. Ya Allah

Tiap hari susah makan 

Anak istri bertangisan… Ya Allah


Lirik lagu ciptaan sang lengendaris dangdut H. Rhoma Irama yang berjudul “Pengangguran” seolah mewakili kondisi rakyat saat ini, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang semakin hari semakin melarat. Begitu malang nasib para pengangguran, mereka disekolahkan oleh orang tua mereka dengan harapan kelak bisa membawa perubahan ekonomi dalam keluarga, namun alih-alih membawa perubahan justru mereka semakin hari semakin sengsara dan semakin banyak jumlahnya.


Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat masih ada sebanyak 7,99 juta pengangguran per Februari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 5,45 persen dari sebanyak 146,62 juta orang angkatan kerja. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Edy Mahmud, mengatakan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2023 ini turun dari data Agustus 2022 yang sebanyak 8,42 juta orang atau 5,86 persen.


"Dari 7,99 juta atau 5,45 persen yang menganggur, ini turun. Jadi pertumbuhan ekonomi memberikan dampak positif ke tingkat pengangguran terbuka ini," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (5/5) (cnnindonesia, 05/05/2023).


Meski mengalami penurunan, akan tetapi kondisi ini bertolak belakang dengan angka pengangguran yang masih berada di level buruk. Mirisnya lagi yang menduduki peringkat tertinggi dari kasus pengangguran ini ialah dari tamatan SMK dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 9,6%. Ini karena kompetensi lulusan SMK dianggap masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri (Kumparan, 06/05/2023). Padahal, masalahnya, selama ini lulusan pendidikan SMK sering digadang-gadang siap terjun ke dunia kerja.



Tentu tidak bisa dimungkiri bahwa munculnya masalah sebagai musibah yaitu dengan tingginya angka pengangguran anak muda menunjukkan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini seakan mematahkan klaim pemerintah sendiri yang pernah mengatakan bahwa ekonomi Indonesia telah pulih.



Meski tingkat pengangguran memang berhasil turun tipis dari 8,75 juta menjadi 8,4 juta orang, tetap saja hal itu tidak mengubah fakta bahwa kondisi ekonomi Indonesia belum membaik. Terkhusus generasi kita, yaitu lulusan SMK dididik hanya untuk memenuhi selera pasar. Tujuan pendidikan pun bergeser dengan rancangan pendidikan yang salah. Bukannya mencerdasarkan generasi mereka malah dijadikan "Mesin penggerak ekonomi" bagi korporasi.



Maka tidak heran melihat lautan manusia ketika lowongan pekerjaan terkhusus lowongan pekerjaan bidang perusahaan dibuka, banyak sekali dari mereka yang berebutan dan berdesak-desakan mengantri memenuhi ruangan lobi untuk diinterviu. Mirisnya lagi, banyak dari mereka yang harus pulang dengan kecewa padahal sudah susah payah mempersiapkan persyaratan-persyaratannya agar lengkap dan memenuhi kriteria pekerja.


Walhasil, sulitnya mencari pekerjaan ditengah kebutuhan yang makin mahal menyebabkan munculnya tindak kriminal. Masyarakat akan berpikir untuk mencari uang dengan singkat serta menghalalkan berbagai macam cara. Maka lahirlah ketaknyamanan dan rasa tidak aman karena selalu dibayangi kejahatan. Aktivitas penipuan, penjambretan, pencurian, perampokan, penganiayaan, hingga pembunuhan bisa saja terjadi setiap hari.


Begitulah potret nasib pemuda dalam sistem Kapitalisme. Padahal, menciptakan lapangan kerja adalah tugas negara, bukan tugas individu rakyatnya. Dalam sistem Kapitalisme, rakyat dituntut bekerja tanpa harus menggantungkan nasibnya pada negara. Kalaulah negara membantu, itu hanya sebatas bantuan minimalis.


Berbeda dengan cara Islam mengatasi pengangguran, karena Islam memiliki cara tersendiri dalam menuntaskan akar persoalan pengangguran dan turunannya. 


Pertama, pendidikan terjangkau, bahkan gratis untuk semua. Dengan begitu, rakyat dapat mengenyam pendidikan sesuai keinginan mereka tanpa terbebani dengan biaya pendidikan. Selain itu, mereka diberi pemahaman tentang wajibnya bekerja bagi laki-laki.


Kedua, jika individu malas bekerja, cacat, atau tidak memiliki keahlian, maka negara berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Termasuk, negara akan mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain.


Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar radiallaahu‘anhu ketika mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid pada saat orang-orang sibuk bekerja bahwa mereka sedang bertawakal. Saat itu beliau berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Khalifah Umar radiallaahu ‘anhu mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.


Ketiga, kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki. Kaum perempuan tidak wajib bekerja. Fungsi utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya (ummu warabatul bayt). Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Dengan kebijakan ini, lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki—kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh perempuan.


Dalam pandangan Islam, peran negara sangat menonjol karena kepemimpinan itu akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhaanahu Wata’aala.

Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post