Mengentaskan Kemiskinan PR Besar Bagi Negara


Oleh :Hj.Padliyati Siregar ST

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, 40% masyarakat Indonesia seketika jatuh miskin bila penghitungan garis kemiskinan memanfaatkan ukuran yang direkomendasikan bank dunia. Ukuran itu adalah angka paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP)

Dalam laporan bertajuk 'Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security', Bank Dunia merekomendasikan acuan garis kemiskinan disesuaikan dengan global, yaitu sebesar US$ 3,2 PPP per hari. Sebab, Indonesia telah mampu menekan angka kemiskinan ekstrem dengan penghitungan US$ 1,9 PPP per hari.

"Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speechnya ketika anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan anda adalah US$ 1,9, anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40% kita semua menjadi miskin," kata Sri Mulyani dalam acara World Bank's Indonesia Poverty Assessment di Jakarta, dikutip Selasa (10/5/2023).

Pemerintah pun langsung merespons hal tersebut melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menkeu Sri mengatakan bahwa ukuran garis kemiskinan yang direkomendasikan Bank Dunia tidak serta-merta dapat digunakan Indonesia. Alasannya, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang berbeda-beda. Walhasil, pengeluaran masyarakat untuk hidup, berbeda satu sama lain dan tidak cocok jika mengukur dari sisi pendapatannya saja.

Chief Policy Working Group Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Elan Satriawan pun senada dengan Menkeu Sri. Menurut Elan, Indonesia memerlukan garis kemiskinan sendiri yang dapat mengidentifikasi profil masyarakatnya untuk mengukur kemiskinan yang lebih baik, dan konsisten, di lintas wilayah, baik provinsi, kabupaten, ataupun kota.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, indikator kesehatan perekonomian yang menunjukkan kesejahteraan memang sudah lumrah diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi. Para ahli sendiri mendefinisikan pertumbuhan ekonomi ini sebagai perkembangan kegiatan yang menyebabkan bertambahnya barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat sehingga kemakmuran masyarakat meningkat dalam jangka panjang.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diukur dari peningkatan jumlah produk domestik bruto (PDB) yang detailnya bisa dihitung dari pertumbuhan lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran. Jika PDB terhitung makin meningkat, berarti negara dianggap makin kaya dan kesejahteraan masyarakat pun makin meningkat.

Masalahnya, apakah faktanya demikian? Ketika ekonomi dikatakan tumbuh atau tingkat produksi naik, apakah mewakili rakyat secara keseluruhan? Misalnya, orang miskin berubah menjadi kaya, atau jangan-jangan justru orang kaya yang makin kaya?

Kenyataannya, yang sering terjadi adalah kian lebarnya gap antara si miskin dan si kaya. Ini karena yang terlibat dan diuntungkan dalam kegiatan produksi, termasuk investasi, hanyalah para pemodal alias orang-orang kaya yang jumlahnya hanya minoritas. Sedangkan sisanya yang mayoritas justru saling berebut remah-remahnya.

Dengan demikian, mengukur kesejahteraan dan kesuksesan pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi sejatinya merupakan sebuah penyesatan, bahkan kezaliman. Selain tidak mencerminkan pemerataan, penggunaan konsep ini juga bisa menutup kanibalisme yang dilakukan negara pemilik modal yang berdiri di balik proyek-proyek investasi atau produksi di negara miskin atau berkembang. Bisa jadi pertumbuhan ekonomi mereka tampak jauh lebih rendah, tetapi sejatinya cengkeraman alias penjajahan mereka terhadap negara miskin dan berkembang justru makin menguat.



Cara Islam Menyelesaikan Kemiskinan 

Kondisi perekonomian terus mengalami krisis. Kemiskinan dan kelaparan menghantui sebagian besar negara-negara di dunia. Begitu pun dampak turunannya, seperti kebodohan dan kriminalitas, akan terus menjamur seiring bercokolnya kepemimpinan ideologi Barat ini di dunia, termasuk negeri muslim. Kehidupan umat manusia menjadi peradaban sampah yang layak untuk dibuang. 

Akan tetapi, semua ini akan digantikan dengan kepemimpinan Islam yang telah Allah jamin ketinggiannya. Islam memandang persoalan kemiskinan sebagai persoalan manusia, bukan persoalan ekonomi atau lainnya. Walhasil, fokus penyelesaiannya adalah pada tersolusinya persoalan kemiskinan, individu per individu. Negara adalah pihak sentral yang akan menyelesaikannya.

Definisi “miskin” di dalam Islam adalah seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan, dan papan. Ukurannya tidak dipukul rata seperti halnya pengukuran garis kemiskinan saat ini. Islam memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki perbedaan.

Sebagai pihak sentral, negara akan melakukan berbagai langkah untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, menjamin pemenuhan kebutuhan primer dengan memastikan setiap laki-laki (yang mampu bekerja) tidak berstatus pengangguran. Artinya, penciptaan lapangan kerja adalah kewajiban negara, bukan swasta.

Jika laki-laki tersebut tidak sanggup bekerja; ataupun sanggup bekerja, tetapi tidak mampu menutupi kebutuhan primer diri dan keluarganya, baik karena cacat, sakit dll.; Islam mewajibkan kerabatnya untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Jika kerabatnya pun tidak ada sanggup, negaralah yang akan turun tangan langsung. 

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. Dan siapa saja yang meninggalkan kalla (orang lemah yang tidak memiliki anak dan tidak juga orang tua), ia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim).

Jadi, apabila kas Baitulmal kosong, kewajiban menafkahi warga miskin jatuh kepada kaum muslim secara kolektif. Dengan demikian, kemiskinan dan ketimpangan akan cepat terselesaikan.

Kedua, mengatur regulasi kepemilikan. Negara tidak akan membiarkan harta rakyat dikuasai asing sebab kepemilikan barang umum haram oleh swasta, apalagi asing. Aturan ini akan menghasilkan pemasukan negara yang melimpah dari pengelolaan SDA sebab negara sendirilah yang mengelolanya.

Ketiga, lapangan pekerjaan akan terbuka lebar sebab pengelolaan industri hulu oleh negara akan membuka lapangan kerja yang luas. Kebijakan yang independen akan memudahkan rakyat untuk bekerja tanpa takut dibanjiri TKA, misalnya. Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur, semata-mata untuk kemaslahatan umat dan keselamatan kerja, bukan sekadar menciptakan iklim investasi asing.

Khatimah
Oleh karenanya, paradigma ekonomi neoliberal yang direkomendasikan Bank Dunia, sejatinya hanya akan makin memperparah kondisi kemiskinan di tanah air. Sudah seharusnya umat muslim memperjuangkan hadirnya Islam dalam segala aspek kehidupan, termasuk pengentasan kemiskinan. Semua ini akan bisa terwujud jika Islam telah diterapkan dalam bingkai institusi negara, yakni Khilafah Islamiah.

Post a Comment

Previous Post Next Post