Maraknya Pengangguran Menunjukkan Gagalnya Negara Menyejahterakan Rakyat

Oleh: Siti Khaerunnisa


Pengangguran menjadi problem yang banyak terjadi di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia, pengangguran masih menjadi masalah besar yang hingga kini belum terselesaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat statistika (BPS) per Februari 2023 sebanyak 7,99 juta orang masih menganggur di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 5,45% dari total 146,62 juta orang angkatan kerja (cnnindonesia.com, 05/05/2023). 

Jika data ini dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu pada Februari 2022 jumlah pengangguran pada tahun ini menurun sekitar 410 ribu orang, dari sebelumnya sebanyak 8,40 juta orang menjadi 7,99 juta orang. Meskipun pengangguran terus turun, tetapi tingkatnya masih di atas level sebelum pandemi atau pada Februari 2020 sebesar 4,94%. Jumlah penduduk yang menganggur saat itu sebanyak 6,93 juta orang (katadata.co.id, 05/05/2023). 

Dari data yang dikeluarkan oleh BPS ini angka pengangguran terbanyak berasal dari lulusan sekolah menengah kejuruan atau SMK yaitu sebesar 9,60% sedangkan pada tingkat di bawahnya berasal dari lulusan sekolah menengah atas atau SMA sebanyak 7,69%. Angka pengangguran di tingkat lulusan lulusan SMK tergolong banyak. Padahal, selama ini lulusan pendidikan SMK sering digadang-gadang siap terjun ke dunia kerja. Hal ini menggambarkan adanya kesalahan rancangan pendidikan dalam kaitannya dengan program pembangunan. 

Maraknya pengangguran menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jumlah angkatan kerja. Kondisi ini sekaligus menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya.

Dalam sistem yang digunakan saat ini, pemerintah mengandalkan swasta dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Pemerintah hanya sebagai regulator dalam memudahkan masuknya investasi kepada pihak swasta sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Kemudian pemerintah menyerahkan penyerapan tenaga kerja melalui mekanisme pasar. Penyerahan kepada pihak swasta untuk menyediakan lapangan pekerjaan serta jalannya suatu perusahaan bergantung pada investasi yang masuk, membuat lapangan pekerjaan menjadi tidak stabil. Karena dari pihak swasta sendiri akan lebih fokus pada profit yang didapatkan perusahaannya, bukan untuk kesejahteraan pekerja. Sehingga tak jarang terjadi PHK besar-besaran, dengan alasan mengefisiensikan pengeluaran. Hal ini bahkan semakin meningkatkan jumlah pengangguran, alih-alih membuka lapangan kerja baru. 

Jika jumlah pengangguran terus meningkat dan tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan dampak negatif. Misalnya, kondisi ekonomi yang tidak stabil, semakin tingginya angka kemiskinan, sehingga turunnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan seperti gizi, pendidikan dan kesehatan. Apalagi segala kebutuhan itu didapatkan jika memiliki materi. Selain itu, tingginya angka pengangguran akan berdampak juga pada peningkatan angka kriminalitas. Pengangguran juga akan mengakibatkan produktivitas negara tidak optimal sebab sebagian penduduk yang produktif tidak diberdayakan. Hal ini didukung dengan pendidikan layak yang tidak didapatkan merata di seluruh wilayah sehingga mencetak lulusan yang tidak mempunyai pengetahuan dan skill yang mendukung dalam dunia kerja. 

Berbeda dengan kehidupan yang diatur dalam sistem Islam. Dalam Islam, peran pemerintah seharusnya adalah sebagai eksekutor, bukan sekadar regulator. Dalam hal penyelesaian masalah pengangguran, pemerintah harus turun tangan langsung menyediakan lapangan kerja bukan sekadar membuat regulasi atau mempertemukan angkatan kerja dengan pengusaha. 

Negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk warganya. Yang tidak memiliki modal, diberi modal usaha. Yang tidak punya keterampilan, diberi pelatihan agar ia mampu bekerja. Yang memiliki keahlian, akan terserap pada sektor usaha riil, seperti pertanian, industri berat, pertambangan, dll. Dalam Islam, tidak ada istilah orang menganggur. Kewajiban mencari nafkah pun hanya dibebankan kepada laki-laki, bukan perempuan.

Dalam sistem Islam, pendidikan juga diberikan gratis hingga perguruan tinggi. Selain itu, sistem pendidikan dalam Islam dirancang menghasilkan lulusan yang dapat dimanfaatkan keahliannya. Hal ini karena pendidikan yang ditempuh akan memberi bekal berupa skill dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalani hidup dengan baik. 

Berbeda dengan sistem saat ini yang memandang kesejahteraan masyarakat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi diukur dari peningkatan jumlah produk domestik bruto (PDB) yang detailnya bisa dihitung dari pertumbuhan lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran. Jika PDB terhitung makin meningkat, berarti negara dianggap makin kaya dan kesejahteraan masyarakat pun makin meningkat. Dalam Islam, kesejahteraan dipandang akan terwujud jika negara langsung memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhannya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanannya. 

Penerapan Islam dalam pengelolaan berbagai kebutuhan hidup rakyat menjadikan negara mampu menyejahterakan rakyatnya. Hal ini ditunjukkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab (13—23 H/634—644 M) misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99—102 H/818—820 M) meskipun masa pemerintahannya cukup singkat (hanya tiga tahun), umat Islam mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. 

Sejarah membuktikan, penerapan sistem Islam selama belasan abad mampu mewujudkan kesejahteraan ditingkat individu. Masalah pengangguran akan terurai dengan solusi Islam secara fundamental dan menyeluruh. 

Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post