Sinyal Keburukan

Ilustrasi foto google.com

Aku selalu awas saat berada di desa itu. Aku menjaga baik-baik barang yang kumiliki. Setiap kali sebelum tidur, aku selalu memastikan kalau jendela dan pintu telah terkunci rapat-rapat. Setelah itu, aku akan mengemas benda berhargaku ke dalam tas selempang, entah jam tangan, laptop, kamera, ponsel, dan lainnya. Aku lalu mengaitkan talinya ke badanku, agar aku tersadar dan terjaga kalau ada yang mencoba mengambilnya. Hanya dengan begitu, aku bisa tertidur.

Berada di desa yang sunyi itu, benar-benar membuatku khawatir akan aksi pencurian. Kupikir, warga desa sangat berhasrat memiliki barang elektronik yang canggih. Kehidupan yang jauh dari kemajuan teknologi, tentu membuat mereka menganggap barang semacam itu sebagai barang mewah. Sinyal operator seluler di desa itu memang hanya bisa didapatkan pada ketinggian tertentu, dan sinyal internet sama sekali tak ada, tetapi mereka tetap akan bernafsu memiliki gadget untuk memuaskan rasa penasaran mereka, ataupun untuk mereka pamerkan di sana-sini. Atau bisa jadi, nafsu mereka memiliki gadget dipicu oleh pengetahuan mereka bahwa sinyal seluler akan menguat di desa mereka setelah proyek kerja kami selesai, sehingga mereka sekadar mencuri dan menyimpan barang elektronik untuk mereka memanfaatkan di kemudian hari.

Tetapi tentu, sikap curigaku tidak kutunjukkan kepada Salim, sang kepala dusun. Apalagi, aku dan teman-temanku menginap di rumahnya selama kami bekerja melakukan survei lokasi pembangunan tower jaringan seluler. Aku tentu tidak ingin kalau ia merasa tersinggung karena aku mencurigai integritas warga desa. Namun gelagatku yang begitu protektif, akhirnya dikeluhkan Hilman, kerabat kerjaku. Ia meminta agar berhenti berprasangka buruk terhadap warga desa.

"Aku merasa kalau orang-orang di desa lebih patut dipercaya daripada orang-orang di kota. Orang di desa hidup bersahaja, sehingga mereka tidak terdesak keadaan lingkungan untuk mencuri. Misalnya, tidak mungkin anak yang cukup bahagia dengan bermain permainan tradisonal di desa ini, tertarik mencuri ponselmu untuk bermain gim daring," tanggapnya, setelah memprotes tingkahku. "Jadi kukira, mereka gandrung pada perangkat teknologi hanya karena mereka penasaran, tanpa ada intensi untuk mencuri."

"Tetapi kupikir, justru karena kesederhanaan hidup itu, mereka akan melihat gadget sebagai barang mewah yang bisa membuat mereka gelap mata dan mencuri. Apalagi, mereka pasti sudah punya bayangan kalau tower jaringan di sini akan berdiri, sehingga mereka akan bisa bermain dengan gadget curian mereka suatu saat nanti," tanggapku, tak mau kalah.

Ia lantas mendengkus, seperti meremehkan pendapatku. Biarpun begitu, tetapi di desa, norma sosial masih hidup dengan baik. Nilai-nilai kemasyarakatan akan membuat warga tidak berani untuk mencuri. Mereka masih punya rasa malu dan tanggung jawab untuk menjaga nama baiknya sekeluarga." 

Akhirnya, karena malas memperpanjang perdebatan, aku memungkaskan saja, "Ya sudah. Terserah kau saja. Asalkan, jangan menyesal kalau barang-barangmu hilang tercuri."

Adu pendapat pun selesai dengan pandangan kami yang berbeda dalam menilai integritas warga desa. 

Meski berbeda pandangan, selama kami di desa itu, kami tetap kompak untuk membangun hubungan yang baik dengan para warga. Kami senantiasa turut dalam kegiatan mereka, semisal menghadiri acara adat dan keagamaan, atau sekadar ikut bermain sepak bola di sore hari. Dan pada setiap momen tersebut, kami pun harus rela meladeni ketertarikan mereka dalam mencoba-coba penggunaan barang elektronik kami. Mereka  akan minta difoto atau divideo, atau minta diputarkan tayangan film atau dendangan lagu. 

Setiap kali berada di tengah kerumunan warga tersebut, aku tetap pada sikapku untuk menjaga-jaga keadaan gadgetku. Bukan saja karena aku khawatir kalau gadgetku hilang dicuri, tetapi juga khawatir kalau gadgetku rusak atas sikap mereka yang norak dan celamitan. Kalau tak awas-awas, kupikir, kejadian buruk semacam itu pasti menimpaku.  

Tetapi akhirnya, satu peristiwa membuat persepsiku berbalik terhadap keamanahan warga desa. Pada satu sore, selepas mandi di sungai, aku sampai di rumah Salim dan baru menyadari kalau jam tanganku raib entah di mana. Namun beberapa lama kemudian, menjelang malam, dua orang anak yang tampak masih duduk di bangku sekolah dasar, datang ke penginapanku itu dan menyerahkan jam tanganku. Mereka mengaku menemukannya di tengah jalan menuju sungai, di antara dedaunan, dan mereka yakin saja kalau itu adalah punyaku. 

Sejak saat itu, aku mulai meredakan kecurigaanku yang berlebihan terhadap warga desa. Aku mulai membenarkan kalau persepsi Hilman tentang kejujuran mereka, jauh lebih tepat dibandingkan persepsiku. Karena itu, aku jadi lebih menjaga kalau-kalau barangku hilang karena keteledoranku ketimbang hilang karena tercuri. Dengan begitu, aku pun bisa membaur lepas dengan warga, hingga aku merasakan nikmatnya interaksi sosial yang tulus. 

Hingga akhirnya, survei lokasi yang kami lakukan selesai, dan kami kembali ke kota tanpa pernah kecurian. Pembangunan tower jaringan seluler itu lalu terus berjalan di bawah fokus kerja divisi yang lain. Sampai kemudian, setahun yang lalu, tower itu berhasil berdiri kokoh dan berfungsi dengan baik. Para warga pun bisa menggunakan ponsel mereka untuk berkomunikasi ataupun berselancar di internet. 

Untuk maksud menjaga silaturahim, dua bulan lalu, selepas lebaran haji, aku pun menghubungi Salim, sang kepala dusun. Aku mengontaknya dengan panggilan video, dan kami berkomunikasi dengan lancar. Aku pun bisa membaca raut senang di wajahnya atas kemantapan jaringan seluler di kampungnya, sebagaimana yang dahulu ia idam-idamkan. Ia mengaku tak repot-repot lagi mendaki bukit demi berkomunikasi dengan sanak keluarganya. Ia juga tak kesusahan lagi mencari informasi yang ia butuhkan dengan adanya internet, terutama soal-soal pertanian. 

Tetapi lepas dari perihal yang membahagiakan itu, ia pun mengungkapkan kalau kemantapan jaringan seluler di kampungnya, juga menimbulkan dampak negatif. Ia menilai kalau penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, perlahan merenggangkan ikatan sosial. Para warga dari semua kalangan usia mulai keranjingan menatap layar ponsel, hingga mereka malas berinteraksi. Yang tampak jelas adalah para pemuda yang lebih memilih bermain gim di ponselnya masing-masing ketimbang bermain sepak bola bersama-sama di lapangan desa. 

Dan akhirnya, hari ini, untuk maksud bernostalgia, aku bertandang ke rumah Hilman di tengah kepulangannya dari pulau seberang setelah kami pisah penempatan kerja. Kami lantas mengulas-ulas kenangan kami saat menunaikan tugas di desa Salim, termasuk persepsi kami yang berbeda dalam memandang integritas warga desa. Kami kemudian membincangkan perihal perubahan yang terjadi di sana berdasarkan penuturan Salim yang kusampaikan kepadanya. Hingga akhirnya, lewat internet, kami mencari-cari informasi terbaru perihal perubahan tersebut.

Detik demi detik kemudian, kami pun menelusuri kabar satu per satu. Kami lantas memukan dan membincangkan beberapa kabar yang menggembirakan. Namun di sela-sela itu, kamu juga tak bisa menanampikkan kabar buruk yang menyesakkan perasaan. Di antaranya adalah kabar tentang perkelahian warga karena ejek-ejekan di media sosial, pencurian oleh seorang remaja demi membeli kuota internet, hingga pemerkosaan anak oleh dua orang dewasa. 

"Ternyata, perkembangan teknologi yang kita bawa ke desa tersebut, malah memicu banyak dampak negatif," tanggap Hilman, tampak kecewa.

Aku pun mengangguk dengan rasa prihatin. Begitulah kenyataannya."

Tiba-tiba, aku tertarik lagi mengobrol dengan Salim. Aku pun menghubunginya lewat panggilan video Whatsapp, tetapi tidak terjawab. Aku lantas mengontaknya dengan panggilan telepon, tetapi tidak tersambung.

Merasa aneh, aku pun membuka aplikasi Facebook yang merupakan aplikasi yang ia gunakan secara aktif. Aku bermaksud mengirimkan pesan kepadanya. Seperti sebelumnya, ia pasti akan membalas pesanku.

Namun tiba-tiba, di laman akun Facebook-nya, aku menemukan unggahan status seorang putranya yang menandai akunnya. Unggahan tersebut berisi informasi yang mengejutkanku: Ponsel milik ayahku, telah hilang di bawah kolong rumah kami semalam. Kalau ada yang mengontak nomornya dan tak mendapatkan respons, harap mengerti.

Kini, aku menyadari dan memahami kalau integritas warga desa itu, baru benar-benar memburuk setelah terjamah perkembangan teknologi.***


Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).

Post a Comment

Previous Post Next Post